Saat Identitas Sebagai English Debater Jadi Pilihan Diri, 8 Suka-Duka Ini Pasti Kamu Akrabi

Artikel ini terinspirasi oleh @ignatiaglory , pemenang hari ke-28 #30HariTerimaKasih Challenge dari Hipwee. Hayo, sudahkah kamu bersyukur hari ini?

Sebagian mahasiswa punya hobi jadi event organizer. Semua event kampus, dari konser genjreng-genjreng sampai seminar yang serius, dia pasti terlibat di dalamnya. Ada juga mahasiswa yang hobi ikut komunitas. Nggak cuma komunitas berdasarkan hobi, tapi juga yang selo macam komunitas nonton bioskop bareng sampai komunitas makan soto. Ini pilihan yang sah-sah saja. Cuma, kamu memilih melakukan sesuatu yang sedikit berbeda.

Advertisement

Apa yang kamu pilih mengharuskanmu akrab dengan latihan demi latihan yang gak jarang sampai larut malam. Nggak peduli lagi musim ujian, JOVED, IVED, dan FT mutlak harus diprioritaskan.

Nggak semua teman bisa ngerti dengan pilihanmu ini. Kadang juga kamu sendiri nggak sepenuhnya ngerti. Tapi seperti yang selalu dikatakan anak-anak satu timmu, dunia debate memang candu. Once a debater, always a debater.

1. Perkenalanmu pada parliamentary debate terjadi secara alami. Kamu nyaman berbahasa Inggris dan gak segan membuka diskusi

Bahkan mungkin kamu sudah debat dari SMA

Bahkan mungkin kamu sudah debat dari SMA via news.indonesiakreatif.net

Sejak dulu bahasa Inggris adalah kartu andalan kamu. Meskipun nilai mata pelajaran lain jeblok, nilai ulangan bahasa Inggrismu dipastikan aman — kalau gak mau dibilang lebih bagus dari semester sebelumnya.

Advertisement

Gak cuma itu. Salah satu kualitas yang jadi trademark-mu adalah kamu gak ragu berdiskusi macam-macam hal, dari yang berat sampai yang paling ringan. Dan kalau banyak orang cuma mau mendengar pendapat dari satu sisi, kamu menikmati mempelajari fenomena dari dua sisi (atau bahkan lebih!) yang berbeda. Dengan semua kualitas ini, bergabung dalam tim debat bahasa Inggris sekolah/kampusmu adalah keputusan yang gak aneh lagi.*

(*Tidak menutup kemungkinan bahwa kamu gabung cuma karena mau belajar bahasa Inggris, naksir kakak kelas, atau dipaksa guru)

2. Status sebagai debater bikin orang sering menganggapmu “tinggi”. Padahal dibanding banyak debater yang kamu kenal, kamu masih merasa bak remah-remah biskuit Khong Guan

Advertisement
Kapan turun Worlds?

Kapan turun Worlds? via www.youtube.com

“Eh coba deh kamu yang maju presentasi ke depan. ‘Kan kamu yang anak debat!”

Kata temanmu yang bukan debater. Hiks, kesannya kamu serba tahu dan serba bisa. Padahal seandainya dia tahu, nggak semua debater itu bagus kok, hahahah! Lagian, dibandingkan debater senior yang kamu kenal, kamu sering merasa belum jadi apa-apa. Bak butiran garam dan remah-remah biskuit Khong Guan.

Nggak semua debater bisa jadi best speaker, terutama yang masih SMA atau kuliah di semester-semester awal. Buat jadi debater yang punya nama, kamu masih harus melewati penggemblengan yang panjang masanya. Yah, meskipun harus diakui kamu suka dipuji, harusnya temanmu biasa aja sih. Kamu nggak jauh lebih pintar dari mereka yang bukan debater, kok. Cuma sedikit lebih pintar aja.

3. Break pertama kali ke octofinal adalah momen yang selalu kamu ingat. Begitu juga pertama kalinya rasa deg-degan memudar, dan kamu mulai nyaman bicara di depan banyak orang

A

Deg-degan memudar, dan kamu mulai nyaman via stkipgetsempena.ac.id

Sampai sekarang, kamu masih ingat euforia yang kamu rasakan saat pertama kalinya kamu lolos ke babak octofinal. Kamu mulai percaya, semua bisa dicapai asal kamu turun dengan persiapan yang matang.

Kamu pun selalu ingat rasanya pertama kali naik podium dan menyampaikan speech di depan umum. Kepalamu penuh dengan “What if I blank out?” “What if I look stupid?” dan pertanyaan-pertanyaan lain yang penuh rasa ragu.

Karenanya, momen di mana akhirnya kamu bisa mengalahkan keraguan dan menggantikannya dengan perasaan nyaman menjadi sakral. Kamu tetap bisa menyampaikan argumenmu dengan jelas dan tenang walau menjadi pusat perhatian. Selepas momen inilah kamu tahu, jerih latihanmu telah berbuah sesuatu. Nggak sia-sia segala perjuanganmu.

4. Latihan debat sering menyita waktumu. Kamu merasa seperti part-time mahasiswa dan full-time debater.

Full-time debater, part-time mahasiswa

Full-time debater, part-time mahasiswa via www.uksw.edu

“Gue jadi mahasiswa cuma part-time. Debatnya full-time.

Statement yang gak lebay sama sekali mengingat banyaknya waktumu yang tersita demi latihan debatmu. Saking seringnya kamu latihan, lama-lama circle of friends-mu jadi menyempit dan cuma melibatkan sesama anak debat aja. Kamu masih bisa main sama teman-temanmu yang lainnya sih, tapi nggak se-intens dan sesering sesi pertemuanmu dengan anak-anak debat di kampusmu.

Apalagi menjelang turun turnamen. Say goodbye ke tidur malam 8 jam, deh.

Kamu beruntung kalau motion yang kamu bahas ada hubungannya sama kuliah. Materi yang didapat dari latihan debat bisa diaplikasikan buat memperkaya esai atau jawaban ujian tulismu. Beda kasusnya kalau kamu anak Teknik atau Kedokteran. Selama nggak ada motion This House Believes That Tesla was Cooler than Edison, sih, debater yang juga mahasiswa eksakta harus mau belajar ekstra buat ngejaga IPK mereka.

5. Debat juga bikin kamu tahu rasanya punya banyak duit. Bukan gak mungkin, “gaji” pertamamu seumur hidup adalah dari jadi adju di event debat tertentu

Uaaang! :p

Uaaang! :p via kaskus.co.id

Salah satu hal yang paling menyenangkan dari parliamentary debate adalah uang dalam jumlah lumayan yang bisa kamu dapatkan sebagai adjudicator turnamen debat. Apalagi kalau kamu jadi chief adju di sebuah turnamen besar. Gak heran kalau uang yang kamu dapat ada di kisaran jutaan.

Karena dapat uang dari debat ini, sebagai mahasiswa kamu bisa hidup lumayan makmur. Kamu bisa bayar SPP pakai uang sendiri, bisa juga beli macam-macam buku atau baju lucu. Meskipun kamu nggak terjun ke dunia debat demi uang, tetap ada kepuasan sendiri tiap kamu dapat duit jajan tambahan dari debating. Gak banyak lho kegiatan mahasiswa yang bisa se-bonafid ini.

6. Kadang kamu lupa. Gak semua orang di luar sana bisa menerima bahasa campur-campur ala Cinta Laura

Hai Chincha!

Hai Chincha! via id.wikipedia.org

“Ih si (nama kamu) itu ngomongnya suka campur-campur bahasa Inggris gitu ya? Kenapa sih?” *nyinyir*

Nggak jarang orang lain menilaimu miring cuma gara-gara cara kamu bicara. Kadang kamu memang lupa, mencampur bahasa Inggris dan bahasa Indonesia bukan kebiasaan umum buat kebanyakan orang Indonesia. Padahal kamu dan teman-teman satu team sama sekali gak niat sok lho kalau ngomong satu sama lain dalam bahasa Inggris. Selain buat latihan, mendiskusikan motion dalam bahasa Inggris — atau paling gak bahasa campur-campur — memang lebih memudahkan daripada diskusi dalam bahasa Indonesia. ‘Kan debatnya pakai bahasa Inggris?

Lagian gaya ngomongmu sebenarnya gak sama kayak Cinta Laura. Mana pernah sih kamu bilang “Mana ujan, becek, ga ada ojek…” kayak dia?

7. Saat sahabat kuliah “pretel” satu per satu pascawisuda, kamu dan mantan teammate debat tetap bisa dekat walau udah berpisah lama

Teman. Selamanya.

Teman. Selamanya. via instagram.com

Adagium “teman untuk selamanya” nggak berlaku buat semua orang. Kamu sendiri beberapa kali kehilangan teman, terutama karena hubungan kalian merenggang pascwisuda dan tinggal berbeda kota. Namun anehnya, kamu dan teammate debatmu tetap bisa akrab sampai sekarang. Obrolan kalian tetap nyambung, bahkan walaupun sudah bertahun-tahun gak bertemu. Tampaknya adagium “teman selamanya” berlaku buatmu dan teman-teman debatmu.

Mungkin, obrolan kalian gak pernah mati karena kalian terbiasa mengobrol soal apa saja. Mungkin, kalian tetap merasa nyaman satu sama lain karena sudah tahu luar-dalam masing-masing setelah begitu sering menghadapi tekanan bersama. Mungkin kalian memang selalu punya inside jokes dan bahan untuk bernostalgia. Apapun alasannya — kalau boleh sentimental, ya — kamu beruntung sudah bertemu dan bisa mengenal mereka.

8. Semakin lama kamu juga semakin mengerti. Debat telah membentuk siapa dirimu dari berbagai penjuru serta sisi

Debat mempengaruhi masa depanmu.

Debat mempengaruhi masa depanmu. via instagram.com

Once a debater, always a debater. Bahkan ketika kamu sudah nggak lagi aktif turun turnamen, tetap ada bagian dirimu yang sepenuhnya berpikir layaknya debater. Buktinya? Kamu sering kesal sendiri menonton acara debat di TV yang seringnya berantakan dan minim mutu. Kamu pun terbiasa melihat masalah dari berbagai sisi, dan selalu hati-hati sebelum menyatakan ‘percaya’ pada suatu versi cerita.

Debat nggak hanya menentukan siapa teman dekatmu dan bagaimana kamu menghabiskan waktu. Bukan tak mungkin, debat juga akhirnya mempengaruhi karier profesionalmu, gaya bicaramu, opini-opini pribadimu, sampai bahkan… agamamu.

Mungkin sekarang kamu sudah nggak aktif di dunia parliamentary debate lagi.

Tapi, 8 suka-duka di atas pasti masih kamu ingat sampai saat ini. 🙂

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE