Oh, Ternyata Gini Rasanya Jadi Fans yang Klubnya Berhasil Juara Premier League. Penantian Terbayar Tuntas!

Fans Liverpool

27 April 2014.

Advertisement

Hari itu saya menangis sejadi-jadinya. Ketika Gerrard terpeleset pada laga melawan Chelsea, Liverpool juga terpeleset dari perebutan gelar juara Premier League. Usai laga, saya tidak mau keluar kamar kos seharian saking sedihnya (sama ada rasa malu juga sih karena Liverpool gagal juara). Sejak tahun 2004 saya jadi fans Liverpool, baru pada momen ini saya merasa sangat kecewa.

Piala FA, pernah.

Piala Liga, pernah.

Piala UEFA, pernah.

Champions League, pernah.

Cuma Premier League doang yang susah.

Saya benar-benar berharap pada ketajaman Gerrard, Suarez, dan Sturridge pada musim 2013/2014 kemarin. Eh, ndilalah kok ya kepleset. Duh makin patah hati! Tapi justru dari momen itu saya semakin jatuh cinta sama Liverpool. Mau dihujat “Looserpool” atau “next year is our year team”, bodo amat!

Advertisement

Ngefans Liverpool itu sama kayak naik roller coaster yang nggak ada ujungnya

Sudah lama saya jadi fans Liverpool via www.theanfieldwrap.com

Saya pernah dibikin bahagia yang rasa senangnya udah ngalahin pas nembak dan diterima sama gebetan. Salah satunya adalah saat Liverpool memenangkan Champions League 2005 silam. Kalau nggak salah waktu itu saya masih SD mau masuk SMP (Iya, maaf. Saya sudah setua itu). Dibela-belain begadang cuma demi nonton Liverpool main di final Champions League melawan tim yang waktu itu adalah favorit juara, AC Milan. Untuk jalannya pertandingan nggak perlu lah ya dijelasin di sini. Googling aja atau silakan search “Miracle of Istanbul” kalau mau tahu lebih dalam.

Pernah juga dibikin patah hati yang sedihnya lebih nyess dibanding saat dulu diputusin mantan. Contoh nyatanya adalah momen ketika Gerrard terpeleset saat melawan Chelsea. Sejujurnya, rasanya nyesek banget waktu itu. Bukan karena peluang juara Liverpool hilang, tapi karena melihat ekspresi sedih di muka seorang Steven Gerrard. Saat saya membaca buku biografi Gerrard yang berjudul “My Story” dan melihat film dokumenter “Make Us Dream”, saya jadi belajar bahwa hidup kadang bisa kejam.

Perjuangan sepenuh hati belum tentu membuahkan hasil kalau takdir belum ngasi approval.

Advertisement

Dari Liverpool juga saya belajar apa itu patah hati

Ketika Torres pergi via www.allsoccerplanet.com

Tapi dari sekian banyak momen yang bikin nyesek, ada satu momen yang nggak bisa saya lupakan. Waktu itu Liverpool sedang jaya-jayanya. Lantas tiba-tiba datang kabar striker andalan kami pindah ke klub rival. Torres dibeli Chelsea dengan nominal yang waktu itu memecahkan rekor transfer termahal Premier League. Nggak cuma saya, bahkan Liverpool sendiri heran Chelsea berani membeli Torres dengan harga selangit.

Sejujurnya waktu itu saya merasa insecure. Torres sudah mengemal 81 gol dalam 142 penampilannya di Liverpool. Persis waktu itu Liverpool cuma menyisakan David N’gog sebagai target man sebelum akhirnya membeli strikel lagi. Lha njuk piye terusan? Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap peran David N’gog, tapi ya gimana yaa…

Tapi dari situ juga saya belajar bahwa move on itu pasti!

Uang penjualan Torres bisa mendatangkan Luis Suarez (dan Andy Carroll, tapi yang ini nggak usah dibahas lah). Ya meski butuh waktu bagi Suarez untuk nyetel dengan style-nya Liverpool, Suarez terbukti bisa jadi pengganti sepadan untuk Torres. Meski ya pada akhirnya Suarez memilih untuk pergi, tapi paling tidak dia pindahnya ke Barca, bukan ke Arsenal tim gurem lainnya.

Toh setelah Suarez hengkang, uang hasil penjualannya bisa dipakai buat beli banyak pemain berkualitas. Dampaknya jauh lebih positif dari saat dulu Torres pergi. Sekarang Liverpool bisa bersaing di papan atas Premier League dan bahkan Champions League. Yeah ~

Sama halnya saat saya memutuskan untuk menikah, saat saya memilih jadi fans Liverpool saya udah tahu konsekuensinya. Sekarang, semua terbayar tuntas

Mo Salah~ via www.thenational.ae

Bro, Blackburn Rovers dan Leicester City aja pernah juara Premier League lho. Liverpool kapan????

Kalimat kayak gitu sudah sering saya dengar dari teman-teman dan saya baca di media sosial. Biarpun Liverpool sudah 2 kali juara Champions League pada 2005 dan 2019, netizen ini tetap saja meremehkan karena Liverpool belum pernah merasakan juara Premier League. Bagi fans-fans tim lain, Liverpool nggak bakal bisa disebut tim hebat sebelum bisa juara Premier League. Gelar juara Liga Champions, juara Piala Dunia Antarklub, dan Piasa Super Eropa, seakan nggak ada harganya. Sebagai fans Liverpool, saya tetap sering mendapat ejekan “Kapan coba terakhir kali Liverpool juara Premier Lague?” dari teman-teman lainnya.

26 Juni 2020

Tibalah kita pada hari penantian. Tanggal di atas jadi salah satu hari paling istimewa dalam hidup saya. Setelah menanti selama 30 tahun, klub kebanggaan kota Merseyside ini akhirnya bisa mengangkat trofi Premier League dan menggenapi torehan 19 kali juara Liga Inggris. Bagi saya pribadi, keberhasilan Liverpool juara Premier League benar-benar terasa istimewa. Penantian panjang atas semua ejekan dan cemoohan fans kardus klub lain akhirnya terbayar. Jürgen Klopp berhasil membawa Liverpool jadi juara Premier League setelah menanti sekian lama. Di hari ini, saya kembali meneteskan air mata. Namun kali ini rasanya berbeda, saya meneteskan air mata bahagia. Setelah sekian banyak bully dan ejekan yang saya terima, akhirnya saya bisa tersenyum bahagia karena Liverpool akhirnya juara Premier League. Terima kasih, Jürgen. Terima kasih, Hendo dan tim. Terima kasih, FSG. Terima kasih, Michael Edward. Terima kasih, Liverpool.

Tertanda,

Fans Liverpool

#HipweeJurnal adalah ruang dari para penulis Hipwee kesayanganmu untuk berbagi opini, pengalaman, serta kisah pribadinya yang seru dan mungkin kamu perlu tahu 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.

Editor

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.

CLOSE