Tere Liye Berhenti Menerbitkan Buku Karena Ketidakadilan Pajak. Kalau Kayak Gini Siapa yang Keliru?

Nama Tere Liye sudah tidak asing lagi di kalangan masyarakat. Puluhan hasil karya tulisannya berupa novel telah berhasil mendapatkan hati di masyarakat selama beberapa tahun terakhir. Karya-karyanya yang begitu sederhana tapi menyimpan pesan mendalam membuat hampir semua kalangan menyukai novel-novelnya. Apalagi cerita-cerita ini dianggap dekat dengan kehidupan masyarakat. Gaya bahasa dan tulisannya pun mudah untuk dimengerti. Jadi wajar saja jika Tere Liye didapuk menjadi salah satu penulis best seller tanah air.

Advertisement

Namun sebuah berita sedih kemarin disampaikan oleh Tere Liye melalui fanspage Facebook-nya. Ia memilih untuk putus kontrak dengan dua penerbit yang selama ini menerbitkan bukunya. Dia memutuskan untuk menghentikan penerbitan karya tulisan miliknya.

Kemarin, Tere Liye secara mengejutkan memberikan pengumuman kalau dia tidak akan menerbitkan bukunya lagi

Tere Liye berhenti menerbitkan buku via www.facebook.com

Dalam sebuah pengumuman yang ia unggah kemarin melalui fanspage miliknya, Tere Liye menyatakan jika ia telah memutus kontrak dengan penerbit yang selama ini mencetak bukunya, yaitu Gramedia dan Republika. Artinya, 28 judul buku yang merupakan hasil karyanya selama ini tidak akan dicetak lagi. Dan buku-buku yang telah terlanjur dicetak dan dipasarkan akan dibiarkan habis secara alamiah hingga akhir tahun ini.

Keputusan ini tentu saja nggak sembarangan. Alasan di balik penghentian penerbitan hasil karyanya bukan lain karena persoalan pajak. Menurut Tere Liye, pajak yang dibebankan kepada profesi penulis sangat tidak adil. Ditambah dengan tidak pedulinya pemerintahan dalam menanggapi kasus ini. Namun bukan berarti ia juga berhenti berkarya. Tere menyatakan kalau buku-buku barunya akan disebar melalui media sosial dan internet. Jadi para penggemar tetap bisa menikmati hasil karyanya, hanya saja tidak dalam bentuk hard copy.

Advertisement

Sebelum mengambil keputusan ini, Tere Liye sempat menjelaskan persoalan pajak yang menjadi pokok permasalahan sehingga ia memilih untuk tak lagi menerbitkan buku

Tere Liye berhenti menerbitkan buku via www.facebook.com

Sebelum memberikan pengumuman ini, Tere Liye sempat membuat posting-an soal pajak di fanspage milikinya tersebut. Dalam posting-an itu, Tere memberikan ilustrasi soal pajak ini. Ia menyatakan kalau penulis adalah orang paling dermawan kepada negara. Pasalnya penulis merupakan penyumbang pajak terbesar di antara profesi lain seperti dokter, arsitek, pengusaha, bahkan artis. Misalnya 10 profesi yang dicontohkan tersebut memiliki pendapatan 1 miliar per tahun, profesi seperti  dokter (A), akuntan (B), arsitek (C), artis terkenal (H), motivator, diharuskan membayar pajak sebesar 95 juta rupiah. Sedangkan profesi pengusaha (UMKM) hanya dikenakan 10 juta rupiah. Lalu bagaimana dengan profesi penulis? Dari hitung-hitungan yang dijelaskan Tere, maka mereka yang memiliki profesi sebagai penulis diharuskan membayar pajak 245 juta rupiah.

Setelah menjadi perbincangan hangat, lembaga terkait akhirnya akan mengajak Tere Liye berdiskusi karena ia dianggap salah persepsi

Tere Liye berhenti menerbitkan buku via www.viva.co.id

Hanya butuh waktu semalam, persoalan yang dikemukakan Tere Liye di media sosial langsung mendapatkan atensi dari masyarakat terutama warganet. Mereka baru tahu kalau pajak yang harus dibayarkan penulis ternyata sangat besar. Dan nggak sedikit di antara mereka yang kecewa dengan kejadian ini. Meskipun nanti masih bisa menikmati karyanya melalui media online, tapi tetap saja masyarakat ingin menikmati karya-karyanya melalui hard copy alias berbentuk buku.

Advertisement

Dan setelah menjadi perbincangan di kalangan masyarakat pula lah akhirnya lembaga terkait bergerak dan angkat bicara. Dilansir dari laman cnnindonesia.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati meminta Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan (DJP Kemenkeu) dan menyelesaikan persoalan tersebut. Di sisi lain, DJP Kemenkeu, dilansir dari laman kumparan.com, menyatakan akan bertemu dengan Tere untuk membahas permasalahan ini. Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi, juga menyatakan kalau Tere salah persepsi soal pengihutangan pajak.

Ken menilai Tere Liye salah persepsi terkait besaran hitungan pajak penulis. Dia mencontohkan jika hasil penjualan buku sebesar Rp 100 juta, maka si penulis akan mendapatkan royalti sebesar 10% atau Rp 10 juta. Nah, Rp 10 juta tersebut yang akan dikenakan pajak penulis sebesar 15%. | www.kumparan.com

Cukup disayangkan, Dirjen Pajak baru bergerak setelah kasus ini viral. Padahal Tere Liye telah menghubungi lembaga terkait setahun terakhir namun tidak mendapat respons

Tere Liye berhenti menerbitkan buku via www.rosasusan.com

Entahlah apakah Tere Liye salah penghitungan soal pajak atau memang benar. Yang cukup disayangkan dari kejadian ini adalah, kenapa lembaga pemerintahan terkait baru bergerak soal ini setelah Tere Liye menyuarakan isi hatinya di media sosial. Kenapa harus menunggu persoalan ini viral terlebih dahulu baru lembaga terkait buka suara. Mungkin bisa dibayangkan, kalau Tere Liye tidak membuka permasalahan ini di depan publik, maka lembaga pemerintahan juga tidak akan menganggap ini adalah permasalahan penting.

Tere tentu saja tidak mengambil keputusan ini secara mendadak tanpa alasan. Ia menjelaskan bahwa selama setahun terakhir, ia telah menghubungi banyak lembaga resmi pemerintah. Namun lembaga-lembaga ini seakan tidak peduli dan tidak pernah merespons. Baru lah ketika permasalahan ini diangkat ke media sosial baru ada tanggapan dari pihak terkait. Sungguh disayangkan bukan?

Apakah pemerintah tahu permasalahan ini? Tahu. Saya sudah setahun terakhir menyurati banyak lembaga resmi pemerintah, termasuk Dirjen Pajak, Bekraf, meminta pertemuan, diskusi. Mengingat ini adalah nasib seluruh penulis di Indonesia. Literasi adalah hal penting dalam peradaban. Apa hasilnya? Kosong saja. Bahkan surat2 itu tiada yang membalas, dibiarkan begitu saja nampaknya. Atas progress yg sangat lambat tersebut, dan tiadanya kepedulian orang2 di atas sana, maka saya Tere Liye, memutuskan menghentikan menerbitkan buku di penerbit2, Gramedia Pustaka Utama dan Penerbit Republika, per 31 Juli 2017 lalu. | Tere Liye

Jika dilihat dari berita yang beredar saat ini, bisa jadi apa yang disangkakan oleh Tere Liye memang keliru. Karena pajak 245 juta yang ada di dalam analogi perhitungan Tere Liye memang agak tidak masuk akal. Namun, ini bukan berarti bahwa pemerintah (dalam hal ini lembaga yang terkait dengan pajak) benar. Wajar jika Tere Liye memiliki kesalahan perhitungan karena Tere Liye bukan ahli pajak dan setelah meminta kejelasan pun dia tidak mendapatkan jawaban. Andai saja pemerintah bisa lebih proaktif dalam mensosialisasikan masalah itung-itungan pajak ini, kesalahpahaman macam ini sangat bisa dihindari.

Jadi, ayok sama-sama mendekat. Yang wajib pajak harus mulai sadar dan aktif belajar, si penarik pajak juga harus mulai proaktif karena dengan sosialisasi yang cukup, Hipwee percaya bahwa pendapatan pajak akan naik. Karena, pada dasarnya orang Indonesia ini taat pajak kok. Tapi, karena nggak jelas sistem pengambilan pajak dan penggunaan uang pajak kita nantinya, makanya orang jadi “takut” bayar pajak. Usul saja sih, nampaknya pemerintah perlu banget mensosialisasikan sistem perpajakan dan alokasi dana pajak. Siapa tahu (semoga saja) pendapatan pajak kita meningkat sehingga pembangunan bisa lebih lancar. Aamiiin….

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pemerhati Tanda-Tanda Sesederhana Titik Dua Tutup Kurung

CLOSE