“Semua orang tahu, kok, lo yang memulai perdebatan. Sebelum lo muncul, nggak ada satu kali pun Joval debat sama orang di kantor. Teriak-teriak aja nggak pernah. Dia berubah sejak lo muncul. Bukan belain Joval, gue tahu wataknya,” jawab Enigma.
“Halah! Bilang aja lo belain Joval. Katanya sahabat, tapi lo cuma belain Joval. Nggak adil banget. Apa karena gue perempuan sendiri makanya kalian bersengkongkol?” tuduh Amini sinis.
“Ami, dengar, ya. Nggak ada yang gue bela di sini. Kalian sama di mata gue. Kalian sama-sama salah. Joval salah udah nanggepin debat, lo salah udah mulai duluan. Kalau gue bela Joval, gue nggak akan manggil dia. Gue pasti panggil lo doang.” Enigma masih mencoba sabar, menahan nada bicaranya agar tidak meninggi.
Amini berdecak kasar, lantas menarik senyum miring. “Oh, ya? Tapi rasanya lo memang belain Joval, tuh. Kesannya gue yang memulai semua.”
Kali ini Joval tidak bisa tinggal diam. Dia pun membuka mulutnya, bersiap menyuarakan apa yang dia pikirkan selama diam. “Kamu nggak bisa, ya, nggak menyalahkan aku? Kalau kamu masih marah atau benci karena kita cerai, kamu bisa bilang. Selama ini kamu hilang, nggak ada bahas apa-apa. Sekalinya muncul, kamu nyindir terus. Kamu bisa ngomong depan muka aku sekarang tentang hal-hal yang dirasa belum selesai. Benar kata Enigma, kamu nggak malu dijadiin bahan pembicaraan?”
Amini melirik ke samping, dengan sinis tentunya. “Nggak, tuh. Aku udah bilang sama kamu, aku nggak peduli jadi bahan omongan.”
“Kalau gitu kamu harus jaga nama baik kantor ini. Kalau aku ada salah setelah cerai, bilang aja.” Nada bicara Joval agak direndahkan, menahan kekesalan.
“Nggak. Aku nggak peduli.”
Jawaban Amini berhasil meningkatkan kekesalan Joval. Sementara itu, Ready, Enigma, dan Dalamm sudah menduga akan reaksi Amini.
“Kalau lo nggak bisa dibilangin, gue nggak akan segan coret nama lo dari Law Firm ini,” kata Enigma dengan berani.
Ready dan Dalamm melongo. Mereka senggol-senggolan bahu, tidak menyangka Enigma berani mengucapkan kalimat itu. Namun, mereka tidak berani melawan atau membela. Mereka memilih utuk menjadi penonton setia agar tidak menambah panas suasana.
“Lo ngancem gue?” Amini bangun dari tempat duduknya. “Ingat, ya, kantor ini nggak cuma punya lo berempat. Ada uang gue di sini. Kalau lo mau coret, lo harus ganti nama Law Firm-nya. Jangan lupa siapa yang punya ide bikin kantor Law Firm. Gue yang punya ide itu.”
Tak pakai basa-basi Amini langsung meninggalkan ruangan, meninggalkan semua yang ada di sana geleng-geleng kepala melihat kelakuannya.
“Hebat banget dulu lo betah sama Ami, Jov. Selama hidup bareng lo, apa dia begitu juga?” tanya Dalamm.
“Nggak, kok. Dia lebih sering kooperatif dan mau dengerin masukan orang,” jawab Joval. Dia tahu bahwa mantan istrinya memang kesulitan mengontrol emosi dan keras kepalanya tidak tanggung-tanggung. Hanya saja menikah saja semua itu melunak. Ya, sedikit.
“Lo, sih, En. Ngapain pakai acara bilang mau coret dia?” Ready menepuk keningnya tak habis pikir. Kalau Enigma tidak mengatakan hal semacam itu, bisa saja Amini lebih tenang. “Kalau dia nyuruh lo batal nikah sama sepupunya gimana? Mampus aja lo.”
“Dia nggak bisa campurin masalah Enigma sama sepupunya, dong. Beda jalur. Ini, ‘kan, kita lagi nasihatin,” sela Dalamm.
“Gue cuma mau gertak tapi responsnya kayak mau diputusin,” kata Enigma.
“Nanti biar gue yang ngomong sama Ami.” Joval bangun dari tempat duduknya. “Sori, ya, udah buat kalian resah sama masalah ini. Gue akan urus biar kantor kondusif lagi.”
“No problem, Jov. Kita cuma nggak pengin kalian berdua diomongin. Semua orang berubah sok tahu gara-gara gosip nggak jelas,” kata Dalamm.
Joval mengangguk pelan, mengerti akan hal itu. Dia justru berterima kasih semua sahabatnya memikirkannya dan Amini. Dia bergegas keluar dari ruangan, meninggalkan yang lain menuju ruangan Amini.
***
Di puncak gedung teratas JARED Law Firm terdapat rooftop yang bisa digunakan untuk para pegawai bersantai. Tak cuma digunakan untuk pegawai, ada beberapa klien yang lebih suka berbincang di ruang terbuka agar bisa merokok atau lebih santai. Itulah kenapa rooftop di gedung kantor yang memiliki empat lantai dibuat semenarik mungkin agar klien mereka yang ingin berbincang di atas merasa nyaman—disediakan kursi, kanopi kaca, dan pot-pot bunga beraneka ragam.
Joval menjadi salah satu penikmat rooftop bersama sahabatnya yang lain. Dia biasa menemani Ready atau Dalamm yang ingin merokok atau sebatas mendengarkan curhat mengenai belasan gebetan yang didekati sahabat-sahabatnya.
“Gue nggak habis pikir reaksi Ami bakal segila itu.” Ready geleng-geleng kepala saat kaki merekaterus menaiki tangga sampai puncak tujuannya di atas sana. Dia ingin merokok di rooftop dan butuh usaha yang cukup melelahkan dengan naik tangga kalau mau bersantai di sana. Sebab, tidak ada lift sampai ke rooftop, hanya tersedia tangga dengan banyak anak tangga yang siap diinjak satu per satu.
Jika Ready tidak menyangka reaksi Amini akan sefrontal itu, maka Joval sudah menduga. Dia terbiasa melihat Amini penuh dengan emosi dan sering kali mengamuk. Joval bukan baru mengenal Amini satu atau dua hari. Joval mengenal Amini dengan baik—mungkin lebih dari Amini mengenal dirinya sendiri.
“Hebatnya, lo masih berusaha sabar setelah dia nyindir di depan pegawai lain,” tambah Ready.
“Mungkin dia masih marah sama semua hal yang terjadi dulu. Gue kesel, kok, cuma nggak bisa ditunjukin terang-terangan. Gue juga salah, nggak cuma dia aja,” ucap Joval.
Ready geleng-geleng kepala, bertepuk tangan pelan, bangga memiliki sahabat supersabar seperti Joval. Mana pasrahan pula. “Hebat, hebat. Betewe, gimana sama Muara? Lo belum nyatain perasaan juga? Keburu diserobot orang, lho!”
Tidak cuma Ready yang tahu soal perasaan Joval, tapi juga Dalamm dan Enigma. Hanya Amini saja yang tidak tahu. Mereka telah mengetahui perasaan Joval untuk Muara dari tiga tahun yang lalu. Namun, sampai detik ini tidak ada pergerakan yang jelas dari Joval.
Joval diam cukup lama sampai langkah mereka berakhir di anak tangga paling atas, tinggal membuka pintu. “Entahlah. Kejadian di kantor yang bikin heboh tanpa henti, gimana mau ungkapin perasaan? Belum lagi Amini muncul tiba-tiba bikin gue makin terjepit sama masalah ini.”
“Lo harus ambil tindakan biar Amini nggak mengacaukan semuanya.” Ready membuka pintu rooftop, melewatinya dan membiarkan pintu tertutup secara otomatis. “Kalau lo diam aja apalagi ngebiarin Amini nyindir lo habis-habisan, omongan mantan istri lo itu bisa dikira benar.”
Baru akan menanggapi, pandangan Joval terpaku pada dua orang yang ada di depan sana. Dia melihat Amal tengah mengambilkan sesuatu di pipi Muara, entah daun atau bulu mata. Rasa cemburu pun tak dapat dihindarkan. Dia sering melihat Muara berbincang dengan Amal bahkan terbilang sangat dekat. Waktu itu saja pulang sama Amal, tidak mau diantar olehnya.
Ready melirik Joval, menemukan binar-binar cemburu terselip dari tatap mata sahabatnya. Dengan jailnya dia menyenggol lengan Joval. “Ini yang gue maksud, Sob. Kalau lo nggak gercep, ada aja yang deketin Muara. Lo sendiri tahu, Muara itu udah macam primadona di antara pegawai sini. Dia pintar, cantik, ulet, dan rajin. Siapa yang nggak suka dengan tipe begitu? Kecuali gue, ya, soalnya udah lo cap sebagai gebetan lo.”
Joval tidak menanggapi Ready, memilih berdeham dengan keras agar pemandangan yang menguji rasa cemburunya tidak terlihat lagi. Dehamannya berhasil mengejutkan kedua orang itu hingga melihat ke arahnya. “Siang, Pak,” sapa Muara lebih dulu, diselipi senyum tipisnya. Amal pun menyapa setelahnya.
“Siang,” balas Joval jutek.
Ready menahan tawa, berpura-pura cool biar tidak ketahuan ingin menertawakan kecemburuan Joval yang amat jelas. “Pagi juga, Muara dan Amal. Kalian berdua aja, nih? Lagi pacaran, ya?” balasnya jahil.
Muara dan Amal saling melempar pandang. Mereka buru-buru menggeleng.
“Nggak, Pak. Kami lagi bahas kasus,” jawab Muara.
“Oh, gitu. Kasusnya siapa, nih? Kasus perasaan kalian?” Lagi, Ready sengaja memanasi Joval.
“Bukan, Pak, bukan. Kami beneran nggak ada apa-apa.” Muara menggeleng berulang kali, berusaha meyakinkan. “Kami lagi bahas kasus Bu Sasya. Ada beberapa hal yang kurang saya pahami.”
“Wanprestasi, ya? Saya paham. Kamu bisa nanya saya,” kata Ready, masih terus memanasi sampai dia mendengar reaksi Joval. Tak ada tiga detik setelah ucapannya dilontarkan, ada gebukan kencang mendarat di punggungnya. Joval pelakunya. Hal ini meningkatkan kejahilan Ready.
“Udah selesai, Pak. Kami udah kelar bahasnya,” sambung Amal.
“Lain kali kalau kamu bingung tanya saya aja, Muara. Saya bisa jelasin panjang lebar. Soal apa pun saya paham, kok. Mau kamu tanya tentang pasal pembunuhan berencana, KDRT, pokoknya saya tahu.” Ready menarik senyum lebar, sambil sesekali melirik Joval dari ekor matanya.
“Baik, Pak.” Muara menyenggol lengan Amal bermaksud mengajaknya pergi. “Kalau begitu saya pamit, ya, Pak. Permisi Pak Joval dan Pak Ready.”
Muara bergegas pergi, lalu disusul Amal dari belakang setelah ikut pamit. Sebenarnya, mereka berdua bukan membahas kasus, melainkan rencana lain untukmenyatukan Joval dan Amini. Berhubung orang yang dibicarakan muncul, mereka tidak bisa lagi membahas di tempat yang sama. Mereka pun memilih untukmeninggalkan rooftop.
Sepeninggal Muara, ada suara tawa kencang yang lolos dari mulut Ready. Sementara itu, Joval tidak bisa mengatakan apa-apa karena terlanjur cemburu.
“Ini lucu banget. Lo diam kecut gitu kayak nggak dikasih jajan sama emak.” Ready memegangi perutnya yang sakit. Lumayan juga dapat hiburan sebelum merokok. “Tapi kalau dipikir-pikir mereka berdua cocok, sih. Amal nggak jelek-jelek amat. Cocok buat Muara. Kelihatan lebih gentle dari lo juga.”
“Diam aja, deh.” Joval memelototi galak. Suara decakan muncul di akhir kalimat, menandakan kekesalan yang sempat tertahan sejak Ready memanasi tanpa henti.
“Iya, iya, cukup. Tapi kocak, sih.”
“Berisik lo.”
“Buset … galak banget, Om. Santai, Om, santai.” Ready mengendalikan dirinya sampai tawa tidak keluar lagi. Dia mengambil bungkus rokok dari dalam saku celana dan menyalakannya. “Eh, iya, itu kasus Sasya bukannya penulis yang waktu itu datang ke kantor, ya? Yang sahabatnya Muara bukan, sih?”
Joval mengangguk.
“Pantes, ya, lo bersedia bantu tanpa dibayar. Mana ada lawyer sebaik lo. Kalaupun ada, jarang banget. Apalagi kalau sampai berhasil dibawa ke pengadilan. Lo rela buang waktu secara cuma-cuma untuk kasus yang nggak seberapa.”
“Bukan cuma karena dia sahabat Muara aja, kok. Gue kasihan sama Sasya itu. Royaltinya udah nggak dibayarin selama dua tahun. Itu kan hak dia, tapi nggak dapat. Biarpun nggak seberapa, dia tetap harus dapatin haknya sebagai seorang penulis. Makanya gue mau bantu,” jelas Joval.
“Oke, itu alasan lain. Tapi alasan pertama karena dia sahabatnya Muara, ‘kan? Ngaku lo.”
Joval menggaruk tengkuk lehernya malu-malu. “Ya, iya, sih.”
Ready tertawa pelan. “Ini namanya privilege sebagai sahabatnya Muara. Karena lo naksir Muara, lo rela bantuin biarpun sahabatnya nggak bisa bayar mahal. Lo kasih gratis karena nggak mau sahabatnya itu rugi. Secara otomatis lo ngebantu memang karena Muara, di samping rasa kasihan itu.”
“Iya, deh, terserah apa kata lo aja.” Joval menyerah. Ready memang paling bisa meledeknya habis-habisan sampai sulit menangkis dengan kalimat apa. Dan kebetulan kata-kata Ready benar jadi tidak ada alasan untuknya mengelak.
***