Cowok yang Menutup Diri Ternyata Punya Alasan Ini. Kenali Emosi Mereka Yuk!

Banyak yang bilang kalau memahami perempuan adalah ujian yang lebih berat daripada menyelesaikan soal matematika. Makanya di internet banyak bertebaran memes soal cewek dan kata “terserah” andalannya yang sulit diartikan. Padahal, kalau diperhatikan kebanyakan perempuan cenderung lebih ekspresif dalam menunjukkan emosinya daripada para laki-laki.

Kami akan menangis saat sedih, marah saat merasa BT, dan tertawa saat senang. Sebaliknya, laki-laki justru lebih sering memendam emosi karena takut diberi label tertentu oleh masyarakat. Makanya, nggak jarang kebiasaan memendam emosi ini mungkin membuat kamu para perempuan sulit memahami mereka, yang akhirnya bisa mengakibatkan konflik dalam sebuah hubungan.

Ternyata memang ada sebuah sistem yang membuat para lelaki lebih susah mengekspresikan emosi mereka, lo. Alih-alih disebabkan faktor biologis, ternyata penyebab laki-laki sulit mengekspresikan emosi justru disebabkan hal yang mungkin nggak terpikirkan oleh kebanyakan orang. Kalau selama ini kamu merasa sulit memahami mereka, maka kamu mungkin perlu sebuah panduan yang akan berguna atau bahkan mungkin bisa membantu pasanganmu untuk bisa lebih mengekspresikan diri.

Kondisi emosi dan cara mengekspresikannya ternyata dipengaruhi oleh kehidupan masa kecil kita

Laki-laki dan perempuan sebenarnya sama secara fisiologis saat masih di dalam kandungan. Baru ketika janin memiliki hormon testosteron yang lebih banyak, maka ia akan berjenis kelamin laki-laki. Sedangkan, jika hormon testosteron lebih sedikit maka ia akan menjadi perempuan. Perbedaan gender masih belum terasa saat mereka masih bayi, tapi lingkungan yang memberikan ekspektasi-ekspektasi tertentu yang membuat keduanya berbeda.

Nggak boleh nangis/ Illustration by Hipwee

“Kamu kan laki-laki, harus jadi penerus keluarga. Jadi, harus kuat dong.”

“Kamu perempuan. Harus halus ya perilakunya. Pasti lebih sensitif ya?”

Jika tinggal di lingkungan yang masih sangat kaku, maka ada gender checklist yang berbeda untuk laki-laki dan perempuan.  Dari ekspektasi orang tua dan orang sekitar tersebut akhirnya struktur otak kita terpengaruh. Bahkan, apa yang kita dengar dari usia 0 sampai 7 tahun akan masuk ke alam bawah sadar kita.

Nah, pengalaman kita di masa perkembangan, jika diumpamakan, seperti kotak pandora yang baru akan terbuka saat kita bersama orang terdekat. Makanya, saat sudah dewasa dan memiliki pasangan, pasangan kita lah yang sering kali menjadi agen untuk men-trigger isu-isu yang kita miliki dengan sangat baik. Dengan kata lain, kalimat-kalimat seperti “Kamu kok cuek banget sih?” atau “Kamu tuh nggak peka!” atau bahkan “Kamu tuh bikin aku insecure!” sebenarnya merupakan refleksi dari isu yang ada dalam diri kita, bukan pasangan.

Sebelum mencoba memahami pasangan dan menuntut mereka supaya mau mengekspresikan diri, ada baiknya kenali dulu emosimu

Tahan dulu, SoHip. Sebelum berusaha untuk memahami pasangan dengan berjuta misterinya, akan lebih baik kalau kamu mengenal emosi yang kamu miliki terlebih dulu. Skill menamai emosi adalah salah satu hal penting yang harus dikuasai sebelum masuk ke suatu relasi. Uniknya, kita nggak cuma mampu merasakan satu emosi saja di suatu waktu, lo, tapi juga merasakan emosi campuran. Makin intens hubungan kita dengan seseorang, maka emosi yang dirasakan semakin bermacam-macam.

Kamu mungkin akan familiar dengan perasaan-perasaan “Aku BT, tapi kangen.” atau “Aku kesel banget, tapi juga sayang banget.”

Nggak apa-apa, perasaan tersebut ternyata memang wajar terjadi. Nggak apa-apa punya beragam perasaan ke pasangan dan nggak apa-apa pula memiliki beragam perasaan ke diri sendiri.

Kabar baiknya, kamu bisa mengendalikan emosi dalam diri sendiri lo. Meskipun memiliki pengalaman yang nggak terlalu baik di masa kecil terkait emosi, kamu bisa belajar melatihnya setiap hari. Kamu bisa mencoba mengawali latihan berikut ini dengan 5 sampai 10 menit sehari lalu jadi 30 sampai 40 menit sehari. Jika dilakukan secara konsisten selama 3 sampai 6 bulan, latihan ini akan membuatmu menjadi orang yang berbeda. Bahkan, dalam satu tahun, kamu akan memiliki kualitas relasi yang lebih bagus dengan pasangan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Mental Health Advocate | Child Psychologist | Adult & Parent-child Relationship Educator | Author's Book "Kamu Tak Harus Sempurna" & "Tak Ada Sekolah tuk Jadi Orang Tua"