Surat Cinta dari Seorang Pengagum Rahasia

Surat cinta pengagum rahasia

Untukmu yang selama ini hanya bisa kukagumi dari jauh,

Apa kabarmu sekarang?

Advertisement

Ah, aneh sekali aku ini. Sebenarnya kenapa pula aku harus repot bertanya? Toh sejujurnya aku sudah tahu kabar beritamu. Setiap pagi, setelah ibadah dan bebersih badan — membaca lini masa dan kicauanmu di media sosial jadi kebiasaan yang tak pernah kulewatkan. Kalau saja kau menemukan tulisan ini dan tahu bahwa kata-kata yang sedang kau baca adalah tentangmu kujamin kau hanya akan terkekeh pelan mengetahui betapa picisannya aku.

Rasanya aku tak keberatan kalau harus kehabisan roti tawar hingga tak bisa sarapan. Selama masih bisa mengetahui kabarmu, lapar sepertinya masih bisa kutahan.

Tapi untuk hari ini, aku ingin kau tahu sesuatu. Aku tak peduli jika kau bilang aku pecundang. Kau juga boleh menganggapku orang yang tak punya keberanian. Saat kalimat pengakuan hanya bisa kuucapkan dengan terbata, izinkan tulisan ini jadi perantaranya.

Advertisement

Singkatnya perkenalan tak kusangka bisa membuatku jatuh begitu dalam

Apakah kau masih ingat pagi itu? Perkenalan singkat karena kau hanya tanya siapa namaku. Lalu kau melontarkan guyonan yang membuatku terkekeh riang. Tentu saja kita tidak berduaan. Ada aku, kau, dan teman-teman kita di sekitaran. Anehnya, meski hanya sekilas perjumpaan denganmu tak bisa begitu saja kulupakan.

Sampai hari ini aku masih ingat suara tawamu yang renyah. Bagaimana ujung matamu berkerut ketika tersenyum lebar. Bibirmu yang otomatis kau gigit saat tak bisa menjawab berbagai ejekan yang kami lontarkan. Aku merasa kau orang yang menyenangkan. Aku ingin mengenalmu lebih dalam.

Advertisement

Pertemuan kita berikutnya pun tak kalah biasanya. Kau dan aku bertemu di acara makan bersama, berbagi meja dan mengambil lauk dari satu piring yang sama. Di tengah kelakar teman-teman yang berdengung di telinga, senyuman ramah itu kembali kutemukan. Melihat sunggingan bibirmu saja sudah membuatku meremang. Ah, atau hanya aku yang terlalu percaya diri merasa bahwa senyuman itu untukku?

Tapi bukankah jatuh hati memang selalu sepaket dengan kebiasaan menduga-duga? Cinta sering mengaburkan logika dan membuat kita jadi manusia yang lihai memanipulasi fakta.

Mulai saat itu, aku ingin menciptakan momen agar kita bisa kembali bersama. Memendam rasa seperti ini kadang membuatku merasa gila.

Mengagumimu sekian lama, tanpa sadar membentukku jadi pengamat tingkat dewa

Buatku, ujian berat adalah saat kau dan aku harus duduk berhadapan : mau tak mau harus saling berpandangan. Aku khawatir kau bisa menangkap binar lain dari mataku. Jika kau pandangi dengan dalam sekian lama, bisa-bisa rasa yang selama ini hanya kupegang erat tumpah — menguak ke udara. Aroma cinta yang telah kulipat rapi sekian lama tak bisa kujamin tak sampai ke hidungmu yang hanya sejengkal dekatnya.

Meski tanpa harus saling memandang mata, ketahuilah bahwa kau dan hal-hal kecil tentangmu tak pernah tersingkir dari kepala.

Aku sering mengkhawatirkan bekas luka di dagumu yang kau biarkan mengering begitu saja tanpa pernah tersentuh antiseptik.

Kebiasaanmu menunda jika soal kesehatan. Sudahkah sakit kepala sebelah yang datang setiap kau kelelahan itu kau konsultasikan?

Masihkah kau pelupa, hingga meninggalkan map berisi dokumen penting di atas jok kendaraan yang terparkir tanpa penjagaan?

Kancing bawah kemejamu yang sering terpasang seadanya. Membuatku ingin menawarkan tangan untuk membenahinya.

Menyukaimu sekian lama memang membuatku jadi orang yang pintar membaca pertanda. Mataku terbiasa menyapu tempat parkir di setiap pagi, mencari kendaraanmu yang sudah terparkir rapi. Jika kendaraanmu tak ada, tandanya kau sedang sibuk dengan kegiatan sampinganmu yang memang bejibun jumlahnya. Atau, kau hanya sedang malas dan ingin merebahkan badan saja sepanjang hari — membayar jam tidur yang sudah tergadai sepekan lalu.

Kau barangkali tak menyadari betapa aku memperhatikanmu. Kau memang tak perlu tahu. Cukuplah kupastikan hidupmu mulus berjalan dan tak kekurangan. Hanya memandangmu dari jauh pun, aku tak pernah keberatan.

Kata teman-temanku aku memang sudah jatuh cinta padamu. Kadang aku heran, apakah cinta memang selalu segila ini? Pikiranku seperti pohon natal yang bercabang. Di setiap ujung tangkainya, kau lah yang jadi muara penantian panjang.

Kuakui. Sesekali pikiranku melayang begitu saja ke suatu tempat yang kuharap bisa dinamai “Kita” 

Orang bilang pengharapan adalah sumber sakit hati yang paling tak terelakkan. Dan aku, adalah orang keras kepala yang rela pasang badan untuk menerima sakit yang kelak berdatangan. Jujur, aku sering membayangkan bagaimana rasanya jika kelak kita bisa bersama. Menyatukan 2 ke-aku-an kita jadi satu “kita” yang tak terpisah spasi dan jeda.

Sesekali aku suka mengamatimu yang sedang sibuk dengan buku teks di perpustakaan. Aku juga sering mencuri pandang waktu kau terlihat serius menggarap pekerjaan. Andai, aku berani kesisimu. Menemani jenuhmu yang mungkin saja tiba-tiba menyerang. Jika saja aku bisa menemanimu makan siang. Akan kupilihkan menu makanan yang wajib mengandung sayuran.

Sembari makan, kita bisa banyak berbincang. Kau mungkin gatal bercerita tentang perkembangan isu politik yang bagimu selalu menarik untuk didiskusikan. Aku akan mendengarkan, sembari sesekali menimpali dan memberi masukan. Saat lelah dengan topik serius, kita bisa bertukar cerita soal film dan lagu yang kini jadi bahan pembicaraan. Apapun topik yang kau bawa ke meja perbincangan, aku akan dengan senang hati mendengarkan.

Jika “kita” itu memang ada. Kuharap, langkah yang kuambil saat ini memang mengarah ke sana. Kau memang selalu mengisi pikiranku. Aku ingin melakukan ini dan itu. Tapi pada akhirnya jalan terbaik menurutku adalah diam, mengamatimu, sembari terus membawa namamu dalam dawai-dawai doa nan bisu.

Menyayangimu tanpa pernah mengungkapkannya — membuatku tahu: cinta yang paling baik adalah cinta yang tetap sederhana

Sebelum jatuh hati padamu tanpa rencana, kupikir cinta selalu dipenuhi cokelat-warna pink-dan bunga. Aku tak pernah sadar bahwa sebaik-baik cinta adalah rasa yang tetap membumi dan sederhana.

Siang itu, pertama kalinya melihatmu terkulai lemah di rumah sakit. Aku hanya bisa terdiam. Aku merasa tidak berguna. Mencintaimu, tapi tak bisa menjagamu. Aku ingin sekali menyeka keringatmu, mengambilkanmu obat, atau menyuapi sarapanmu yang susah sekali kau telan. Aku merasa bisa mendampingimu yang sedah butuh pegangan.

Melihatmu dalam titik hidup yang paling rendah membuatku tahu. Kebahagiaanku bukan semata bersumber pada keberhasilan untuk memilikimu. Melihatmu cukup dan genap saja sudah membuatku mengucap syukur yang tak ada habisnya. Bisa memilikimu adalah bonus dari sekian banyak rapal doa yang tak pernah alpa kukirimkan di penghujung-penghujung malam.

Jika toh aku harus merelakanmu, paling tidak aku pernah mengusahakanmu dalam pengharapan.

Bersama atau tidaknya kita nanti, kau tetap perlu tahu. Kehadiranmu tak pernah kusesali. Keberadaanmu mengajarkanku banyak hal yang harus kusyukuri

Sebagai manusia biasa, tentu aku ingin kita bisa bersama. Sudah terbayangkann betapa menyenangkannya hari-hari waktu kamu selalu bisa ditemukan di sisi. Tapi jika pun rencana dan harapan itu tak terwujud, keberadaanmu tak pernah kusesali.

Kau mengajarkanku bahwa cinta adalah perkara memberi. Menjadi sebaik-baik pribadi, tanpa perlu khawatir apakah kasih yang sebesar itu akan kembali.

Kehadiranmu membuatku percaya. Bahwa cinta selalu berada di bawah tanganNya yang paling kuasa. Beberapa hal perlu diusahakan, namun hasil akhirnya hanya butuh diserahkan.

Mencintaimu dalam diam sekian lama membuat mataku terbuka: begitu banyak bentuk usaha yang bisa dilakukan di luar merayu dan mengobral janji manis belaka.

Terima kasih, sudah pernah ada. Terima kasih atas pelajaran yang kau bawa tanpa harus mencekokiku dengan ceramah yang berentet panjangnya.

Jika kelak kita bersatu, tak perlu kau khawatir. Kau mendapatkanku, orang yang selama ini dalam diam terus mendoakan berbagai kebaikan untukmu.

Namun jika takdir kita memang bukan jadi satu — kau pun harus camkan ini dalam kepalamu. Doa-doa itu tak pernah hilang. Apapun yang terjadi, kamu tak akan kehilangan seorang pemohon kebaikan yang handal.

Selamat melanjutkan perjalanan. Semoga kelak kita bertemu di satu persimpangan yang memang telah tertakdirkan.

Dariku,

Yang dalam diam selalu mengagumimu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pluviophile

CLOSE