5 Hal yang Belum dilakukan Ekosistem Perfilman Indonesia dalam Festival Film Indonesia (FFI)

1. Memandang Ajang Penghargaan (Piala Citra atau pegnanugerahaan lainnya) sebagai Ajang Kompetisi dan Bukan Selebrasi

Ekspresi Leonardo DiCaprio

Ekspresi Leonardo DiCaprio via http://www.instyle.co.uk

Pernah menonton malam penganugerahaan Piala Citra FFI di televisi, langsung, atau youtube? Anda pasti akan melihat momen saat pemenang suatu kategori diumumkan adalah momen yang jelas-jelas tidak hangat. Di Hollywood, nomine lain biasanya akan selalu memberikan standing ovation saat pemenang nominasi itu menang. Dan saat pemenang nominasi itu menang, biasanya ia akan menyebutkan nama nominenya satu per satu untuk menyebutkan betapa hebatnya mereka.

Advertisement

Sebutlah Emma Stone saat memenangkan Oscar pada tahun 2017 atau Cate Blanchet pada tahun 2013. Kamera acara tersebut juga kerap menunjukkan wajah-wajah nomine lainnya saat pemenang diumumkan atau saat pemenangnya menyebutkan nama mereka. Jauh dari terkesan kompetisi, bukan? Sejatinya malam penganugerahan seharusnya memiliki atmosfer macam ini.

Siapa pun yang dinominasikan pada malam penganugerahan sudah memenangkan voting para profesional di bidangnya. Apa yang terjadi di FFI (paling tidak tahun 2015 dan 2016)? Dingin. Hambar. Tidak terasa hangatnya atmosfer perfilman kita yang seharusnya saling mendukung. Alih-alih momen selebrasi, FFI jadi lebih terasa seperti kompetisi.

2. Menyematkan titel “Peraih Piala Ciitra” atau “Nomine Piala Citra” (atau festival film lainnya) pada trailer pemain/sutradara di film yang akan ditayangkan di bioskop

“Peraih 2 Piala Citra, Dewi Irawan” via http://makassar.tribunnews.com

Bagaimana Anda tahu bahwa film di Bioskop Hollywood biasanya akan sangat bagus dan menjadi kandidat untuk nominasi di Oscar? Jika pada trailernya ada tulisan “Academny Award Winning Actor/Actress” atau “Academy Award Nominee Actor /Actress”. Sebutlah film La La Land, Brokeback Mountain, The Princess and The Frog, dan lainnya. Bagaimana dengan film Indonesia?

Advertisement

Saya harus bilang masih sangat minim rumah produksi yang menyematkan istilah “Peraih Piala Citra” pada pemain atau kru-kru di balik layarnya. Biasanya, penyematan istilah itu baru akan dilakukan setelah filmnya menang dan tayang di forum perfilman atau DVD. Padahal, menurut saya, hal-hal macam itu harus sudah sangat lantang dan berani diutarakan sebelum proses penayangan film.

Sebagai contoh, poster film Silariang sudah menuliskan “Peraih Dua Piala Citra, Dewi Irawan” pada poster filmnya yang bahkan belum tayang. Hal ini tentunya akan meningkatkan kesadaran kita betapa kredibelnya cast yang bermain pada film itu, bukan? Suatu penghargaan diciptakan untuk membuat sebuah standard.

Standard film bagus seharusnya mulai disebarkan kesadarannya agar penonton Indonesia tidak melulu skeptis dengan film Indonesia dan hanya selalu memilih film Hollywood yang bahkan hanya bermodal efek teknologi CGI.

Advertisement

3. Membiarkan Pembajakan Terjadi di Ekosistem Film Indonesia

Film Athirah yang beredar di Youtube

Film Athirah yang beredar di Youtube via http://youtube.com

Mari kita jujur saja. Membicarakan pembajakan film itu seperti membicarakan lingkaran setan. Ada yang berpendapat alasan kenapa penikmat film bajakan ada adalah karena film bajakannya yang lebih mudah diakses daripada film aslinya. Ada pula yang menyebutkan hal yang sebaliknya. Jujur saja, saya tidak bangga mengakui bahwa saya menyaksikan film A Copy of My Mind dari Youtube karena tidak kunjung menemukan DVD-nya.

Dan jujur, saya cukup sedih kenapa film-film Indonesia yang menjadi nominasi FFI justru sangat banyak di Youtube. Sebut saja Athirah, Filosofi Kopi, Tabula Rasa, Sokola Rimba, Toba’s Dream, Sang Penari, dan masih banyak lagi. Sudah seharusnya., Badan Perfilman Indonesia bekerja lebih keras untuk mengharga sineas Indonesia untuk menyaring konten-konten di Youtube dengan melaporkannya.

Jujur saya tiak begitu mengerti bagaimana cara melaporkannya. Setahu saya, jika hanya saya sendiri yang melaporkan konten Youtube, biasanya tidak akan menimbulkan efek apa-apa. Jadi, jika Anda sedang membaca ini dan ingin membuat eksosistem film Indonesia yang lebih baik, saya mengajak Anda semua untuk melajukan hal yang sama.

4. Membicarakan Issue Penting saat Memenangkan Penghargaan di Malam Penganugerahan (present dan saat yg menang)

Tara Basro memenangkan PIala Citra FFI 2015 untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik

Tara Basro memenangkan PIala Citra FFI 2015 untuk Pemeran Utama Wanita Terbaik via http://sidomi.com

Film tidak melulu berbicara tentang fiksi yang tidak nyata. Film yang bagus seharusnya dapat dirasakan kenyataan premis dan kejujuran fenomenanya di dalam masyarakat kita. Pun begitu, menuliskannya adlaam film saja belum cukup. Kesadaran akan issue itu juga seharusnya diangkat di dalam malam penganugerahaan.

Sebutlah Julianne More yang mengangkat issue Alzheimer saat ia memenangkan Best Actress in a leading role untuk filmnya Still Alice atau Leonardo Di Caprio yang mengangkat tentang issue lingkungan saat ia memenangkan piala Oscar untuk penampilannya di film The Revenant atau Viola Davis yang mengangkat tentang orang kulit hitam biasa yang kisahnya patut untuk diceritakan dalam film Fences, atau Emma Stone yang membicarakan tentang keberanian untuk bermimpi di penampilannya dalam film La La Land.

Sayangnya, tidak banyak pemenang Piala Citra yang menyampaikan issue tersebut saat mereka menang. Cut Mini bahkan tidak menyampaikan bagaimana pentingnya peran wanita dalam menjaga keutuhan rumah tangga di film Athirah saat ia memenangkan Piala Citra. Tara Basro juga tidak mengutarakan bagimana pentingnya menjadi berani dan mengejar risiko untuk membuka kebenaran saat ia memenangkan pemeran utama wanita terbaik untuk film A Copy of My Mind.

Kesalahan kedua mungkin ada pada kurang optimalnya panitia FFI yang tidak sepenuhnya belajar dari Academy Award. Pada Academy Award, presenter yang menyajikan nominasi Best Acress dan Best Actor in a leading role biasanya akan menarasikan karakter-karakter yang dinominasikan pada malam itu.

Tahun ini, Lenoardo Di Caprio mengenalkan seorang korban pemerkosaan (Isabelle Hupert dalam film Elle), ikon hak sipil (Ruth Negga dalam film Loving), penyiar yang tidak berbakat (Meryl Streep dalam film Florence Foster Jenkins), mantan First Lady (Natalie Portman dalam film Jackie), dan wanita muda dengan mimpi besar (Emma Stone dalam La La Land). Hal ini menunjukkan bagaimana nomine-nomine yang diumumkan membawa suatu hal yang berkesan yang issuenya patut untuk diperbincangkan.

5. Making #FilmIndonesiaKeren Happening on Instagram

foto salah satu akun instagram yang menggunakan tagar #FilmIndonesiaKeren

foto salah satu akun instagram yang menggunakan tagar #FilmIndonesiaKeren via https://www.instagram.com

Terakhir, semua hal nampaknya dapat sangat mudah viral di Instagram selam ada tagar. Sebagai penggemar film Indonesia, saya agak sedih menemukan tagar #FilmIndonesiaKeren tidak menjadi viral. Saat saya menulis ini, saya hanya menemukan 107 tagar saja. Jika Anda membaca ini dan kerap membicaran film di akun instagram Anda, saya ingin mengajak Anda untuk menggunakan tagar ini agar para penikmat film dapat menikmati apa pendapat Anda tentang ekosistem perfilman kita sekarang

All in all, saya bukannya bermaksud menjelek-jelekkan Festival Film Indonesia. Menurut saya Festival Film Indonesia sudah sangat apik dalam menjalan tugasnya memberikan penghargaan pada sineas dan pencinta film Indonesia. Namun, akan lebih baik lagi jika hal-hal di atas ditingkatkan, bukan?

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Reza Mardian adalah seorang penikmat film, pembaca, dan penulis.

CLOSE