Semua orang akan jadi orang paling sempurna sejagat raya selama masa pendekatan. Kita jadi punya sejuta alasan kenapa kita harus bersamanya. Setelah hubungan berjalan agak lama dan setelah beberapa hal berubah, kita jadi punya sepuluh juta alasan kenapa kita harus pisah dari dia.
Wajar.
Kita selalu punya pilihan untuk merespon perubahan itu: tetap bertahan, atau pergi. Dua-duanya adalah pilihan yang sah-sah saja, termasuk pilihan “pergi”. Adalah sah kalau kita nggak suka dengan perubahan yang terjadi, misalnya tentang perubahan sikap pasangan. Memang, kalau sayang harusnya bisa menerima apa adanya. Namun di sisi lain, realistis kalau kita memutuskan untuk pergi karena kita merasa nggak bisa hidup selamanya dengan orang yang sikapnya nggak kita sukai.
Beberapa poin berikut mudah-mudahan bisa menjadi bahan pertimbangan dan pemikiran buat kamu ketika tiba masanya harus menentukan pilihan.
1. Tidak ada yang berubah
Ketahuilah bahwa mungkin sebenarnya tidak ada yang berubah, ini hanyalah sikap asli dari pasangan yang baru muncul ke permukaan setelah mereka sampai pada titik ternyaman ketika bersama dengan kita. Saking nyamannya, mereka nggak ragu buat menunjukkan siapa mereka yang sebenarnya (which is, seharusnya sisi inilah yang muncul pas pendekatan, tapi kebanyakan orang nggak bisa tunjukin karena takut dibenci). Mereka begitu karena mereka (terlalu) percaya (diri menganggap) bahwa kita akan menerima mereka.
Pasangan kita nggak terlahir sempurna. Begitupun kita.
Kita bisa pergi kalau kita nggak suka, tapi kita akan selalu menemukan kekurangan yang nggak kita suka dari pasangan kita yang selanjut-lanjut-lanjut-lanjut-lanjut-lanjutnya dan sampai kapan kita akan terus pergi? Sesempurna apakah kita hingga bisa begitu angkuh mencari kesempurnaan dalam diri tiap pasangan kita?
2. Effort, effort, dan effort
Kenyataannya, sebuah hubungan nggak akan berhasil cuma bermodalkan kasih sayang.
Sebuah penelitian oleh Helen Fischer yang dikenal dengan teori Four Years Itch mengungkap bahwa "jatuh cinta" adalah bentuk reaksi sejumlah hormon dalam tubuh yang memiliki daya tahan hanya empat tahun saja.
Lantas, bagaimana dengan ayah-ibu kita, kakek-nenek kita?
Mereka yang berhasil membangun hubungan yang kuat selama bertahun-tahun sesungguhnya bukanlah mereka yang hanya sekadar saling menyayangi, tapi mereka yang mau bersama-sama memupuk komitmen yang telah mereka buat.
Cara paling gampang untuk mengukur rasa sayang dari pasangan adalah dari effort alias usaha yang rela dia kerahkan untuk memperjuangkan hubungannya dengan kita, baik lahir maupun batin. Effort bagaikan kaki dari sebuah hubungan. Kalau cuma dari satu pihak, hubungan itu akan pincang. Nggak akan bisa jalan.
"Commitment is an act, not a word." ―Jean-Paul Sartre
Komitmen membuat segala effort jadi lebih mudah untuk dilakukan karena pada dasarnya kita mau melakukan apapun yang mungkin bisa dilakukan untuk mempertahankan hubungan yang sudah dijalin. Kita mau memperbaiki apa yang salah. Kita mau melakukan sesuatu agar hubungan ini jadi terasa lebih baik bagi “saya dan dia”.
Dan ketika kita mau, kita mampu.
3. Harga sebuah hubungan
Nggak akan pernah ada hubungan yang sempurna, tapi nggak muluk buat mengharap hubungan yang bahagia. Nggak ada yang bilang kalau itu bakalan mudah, karena:
Ada harga yang harus dibayar untuk bisa punya hubungan yang panjang dan bahagia.
Banyak pengorbanan yang harus dilakukan. Banyak kesabaran yang harus dikerahkan. Banyak pengertian yang harus terus dipupuk. Dan kesemuanya itu harus dilakukan berdua. Bersama-sama.
Komitmen adalah tentang bagaimana cara mengendalikan sebuah bakiak tujuhbelasan bernama hubungan, dan kasih sayang adalah tali yang mengikat kaki-kaki pemilik bakiak itu agar tetap melekat. Satu jatuh, semua jatuh. Bakiak itu hanya akan mencapai garis akhir hanya jika dua pasang kaki pemiliknya bergerak seiring sejalan dengan ritme yang diatur bersamaan.
Nggak semua orang bisa sampai di garis akhir. Sebagian menyerah sebelum garis akhir, sementara sebagian kecil yang lain menyentuh garis akhir dengan penuh lecet dan memar di sana-sini.
4. Pilihan terakhir
Seperti yang diungkit di awal, kita selalu punya dua pilihan: bertahan atau pergi. Tidak ada pilihan yang salah ataupun benar karena mengambil sebuah keputusan untuk sebuah hubungan –terlebih untuk hubungan yang memang sudah sangat serius– pasti sudah melalui pertimbangan yang matang.
"Freedom is not the absence of commitments, but the ability to choose — and commit myself to — what is best for me." ―Paulo Coelho, The Zahir
Ketika bicara soal komitmen, sebenarnya “pergi” menjadi pilihan yang paling terakhir. Paling-akhir-sekali. Esensi dari komitmen adalah mempertahankan hubungan dengan penuh kemauan untuk memperbaiki. Kita tidak bisa memperbaiki apapun ketika kita memutuskan untuk langsung pergi tanpa mencoba segala solusi yang masih bisa ditempuh, hanya karena kita nggak mau repot dan mau gampangnya aja, 'kan?
5. Bertahan sulit, pergi tak mau
Iya, komitmen adalah sesuatu yang sulit dibangun tanpa luka, sakit, jatuh, dan gagal. Mereka yang berhasil sampai di garis akhir hanya mereka yang berani sembuh bersama setelah luka, bangun bersama setelah jatuh, dan mencoba untuk bersama-sama menjadi lebih baik setelah gagal. Kebahagiaan itu akan datang sendiri seiring dengan banyaknya hal sulit yang mereka usahakan bersama demi mempertahankan komitmen yang sudah mereka bangun.
Kalau kita belum sanggup membayar harga dari sebuah hubungan yang bahagia, kita belum pantas pergi sambil mengeluh tentang betapa nggak membahagiakannya hubungan kita.
Jadi, gimana, sudah mantap mau pergi? 🙂
Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya
“
“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”
”
Bertahan dalam 1 hubungan yang mungkin bisa di perbaiki.
…….
Bertahan harus berlandaskan sama sama mau bertahan. Bukan hanya satu sisi saja..