Dia Mencintaiku 40% dan Mencintainya 60%. Untuk #BertepukSebelahTangan Saja, Aku Masih Butuh 10%

Mencintai dengan tulus, meski dibalas tak sampai separuh rasa.

Aku mencintaimu, tapi hanya 40%, katanya kepadaku. Lalu untuk siapa 60% lainnya? Jika kontestasi memenangkan hati serupa Pilpres, aku rela menang 51% saja meski legitimasinya rendah. Tapi, mengejar kekurangan 11% pun aku tidak sanggup, meski telah berusaha selama enam tahun.

1. Aroma tanah basah menguar di sekitar Perpustakaan Kotabaru

Hujan dan bau tanah basah

Hujan dan bau tanah basah via https://www.pexels.com

Advertisement

Hujan belum lama reda. Aku bersiap pulang, memasukkan laptop ke dalam tas, memakai jaket, melipat kabel charger. Sudah berdiri dan bergegas, handphoneku berdering. Sial, empat digit terakhir nomormu masih kuingat juga. Angkat, tidak, angkat, tidak…

2. Halo?

Angkat, nggak, angkat, nggak.

Angkat, nggak, angkat, nggak. via https://www.pexels.com

Halo? Sibuk nggak?

Nggak, sih. Ini habis WiFi-an di perpus. Ada apa nih? Tumben telepon.

Advertisement

Iya, udah lama banget nggak ngobrol sama kamu.

Buruan, deh. Aku mau pulang, udah malem, takut begal. Lanjut kalau aku sudah di kost saja, gimana?

Advertisement

Haha, yang ada begalnya pada takut sama kamu. Bentar aja kok, bentar. Ya?

Ya udah cepetan. Ada apa?

*isak pelan di seberang sana*

Kamu nangis?

Aku minta maaf, ya.

Buat?

Apa aja. Mungkin aku pernah, bahkan sering bikin kamu sakit hati.

Alhamdulillah sadar. Santai sih, udah dimaafin sejak dulu. Kenapa tiba-tiba minta maaf gini?

*isakan itu terdengar lagi, lalu hela napas yang panjang* Skripsiku banyak banget halangannya, padahal target lulus bulan lalu. Sekarang baru sampai Bab 3.

Terus?

Aku habis putus juga.

Sama yang itu? Emang udah berapa lama?

Sekitar setahun. Dia sekarang sama lulusan S2. Gara-gara aku nggak lulus-lulus kali, ya? Haha. (tertawa getir).

Jadi, kamu menyimpulkan kesulitan-kesulitan itu ada karena aku?

Siapa tahu, kamu sakit hati, lalu berdoa dan dikabulkan?

Aku doain kamu yang enggak-enggak, gitu? Mending doain yang baik buat diri sendiri, kali.

Aku nggak tahu. Yang jelas aku ingin minta maaf ke kamu. Jadi, udah dimaafin, kan?

Iya, udah kok. Semoga lancar skripsinya.

Makasih ya. Maaf, kita nggak pernah sampai saling memiliki.

3. Ingatanku kembali ke masa putih abu-abu

Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah

Masa-masa paling indah, masa-masa di sekolah via https://www.pexels.com

Ia murid yang biasa saja. Tidak tampan, bukan yang paling pintar juga. Aku bahkan sudah lupa mengapa bisa tertarik kepadanya. Barangkali suara tawanya yang renyah itu—yang sekarang hanya bisa kuingat samar-samar.

Yang kuingat, ketika kami bercakap, obrolan bisa lebih panjang dari jalur tempuh KA Krakatau. Setiap topik adalah pohon dengan dahan bercabang, menjulurkan puluhan ranting dan bunga-bunga di hatiku: musim semi yang datang bersamaan dengan kelulusan.

“Aku nggak boleh pacaran dulu. Lagipula, kampus kita beda kota. LDR itu susah,” kata dia.

Kukira bukan itu sebab sebenarnya.

“Kamu suka sama Kania,* ya?”

“Lho, kok kamu tahu?”

“Kelihatan. Katanya suka sama aku?”

“Ternyata kita bisa menyukai lebih dari satu orang dalam waktu yang sama.”

“Lebih sayang aku atau dia?”

*bukan nama sebenarnya.

4. Kira-kira…kamu 40%, dia 60%.

Cinta kok dihitung?

Cinta kok dihitung? via https://www.pexels.com

Aku menunduk, kalah. Tapi hidup berjalan terus. Aku di Yogya, dia 130 km ke utara. Berkali-kali dia datang ke Yogya, jarang sekali mengabari. Kalaupun mengabari, tak pernah mengajak bertemu. Jika diajak bertemu, pasti beralasan. Padahal, pernah suatu ketika, ia di Mirota Kampus Terban, sedang kostku hanya di Jalan Kaliurang KM 4,5.

Selama itu pula, ia datang dan pergi lewat panggilan telepon malam hari. Kadang seminggu sekali selama sebulan, lalu hilang tiga bulan, dan seterusnya selama kurang lebih tiga tahun. Semua panggilan itu ditutup dengan, “Aku menyayangimu. Apakah kamu juga masih menyayangiku?”

“Masih,” jawabku. Aku selalu masih menyayangimu meski sedang berpacaran dengan yang lain. Benar katamu: kita bisa menyukai dua orang dalam waktu yang sama. Atau sebenarnya, kita bisa menyayangi satu orang dan menyukai orang lain dalam waktu bersamaan?

5. Perlahan aku belajar memahami apa yang terjadi

Belajar menerima

Belajar menerima via https://www.pexels.com

Ia tidak pernah menyayangiku, atau barangkali rasa sayangnya tak cukup untuk membuatnya berusaha, setidak-tidaknya, menemuiku—ketika sedang berada di kota yang sama. Aku sadar, rasaku #BertepukSebelahTangan, bahkan hingga dua tahun setelah percakapan telepon di Kotabaru itu. Ia tidak juga mengejar Kania, si 60% itu. Entahlah apa yang ada di pikirannya.

6. Kata banyak orang, manusia hanya jatuh cinta tiga kali selama hidupnya

Kukira kita saling jatuh cinta, ternyata tidak

Kukira kita saling jatuh cinta, ternyata tidak via https://www.pexels.com

Cinta pertama, yang tampak ideal—seringkali berupa cinta monyet, hanya senang-senang dan sebentar. Cinta ketiga, yang datangnya tak disadari, begitu mudah dijalani, saat masing-masing sudah ‘terbentuk’. Kurasa, dia cinta keduaku, yang sulit dijalani, yang mengharuskanku berjuang—fight—untuk mendapatkannya, meski tak sampai juga.

Dia yang membuatku paham: kalau cinta, pasti mengusahakan. Sesederhana itu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE