Fenomena Burn Out yang Wajib Kamu Ketahui Agar Tidak Kelelahan Selepas Bekerja

Terus menerus bekerja hingga kekurangan waktu istirahat dan tidur akan membuat pekerja rentan mengalami strees.

Istilah burn out diciptakan oleh Psikolog Jerman–Amerika yang bernama Herbert Freudenberger pada tahun 1974, burn out didefinisikan sebagai “keruntuhan fisik atau mental yang disebabkan oleh terlalu banyak pekerjaan atau stress”. Pada awal Mei 2019 Badan Kesehatan Dunia (WHO) dalam World Health Assembly di Geneva sudah menetapkan burn out sebagai  International Classification Disease (ICD).

Pekerja yang terus menerus bekerja hingga kekurangan waktu istirahat dan tidur serta didera tekanan serius secara terus menerus, sehingga berakibat ketidakmampuan mengendalikan stress di tempat kerja yang bersifat kronis diduga menjadi penyebab terjadinya burn out.

1. Fenomena burn out di beberapa negara

burn out

burn out via https://www.inc.com

Advertisement

Orang Jepang memiliki kosa kata khusus untuk menyebut kelelahan yang menyebabkan kematian yaitu “karoshi. Menurut Organisasi Perburuhan Internasional, antara tahun 1997 dan 2011, jumlah kasus kompensasi karoshi meningkat dari 47 menjadi 121. Pada 2010, 14 pekerja di pabrik Teknologi Foxconn di Wuhan, Cina melakukan bunuh diri untuk memprotes upah rendah dan jam kerja yang panjang. Tiga puluh lima karyawan France Telecom di Prancis bunuh diri pada 2008 dan 2009, dan menurut Gigaom, beberapa catatan menyirakan stress kerja sebagai penyebab kematian mereka.

Selain itu fenomena burn out tidak mesti diakhiri dengan kematian atau bunuh diri, namun banyak juga yang memilih untuk resign dari pekerjaannya.

2. Penyebab fenomena burn out di beberapa perusahaan

Menurut sebuah studi yang dilakukan oleh Gallup pada tahun 2018 terhadap  7500 pekerja di AS , burn out berasal dari perlakuan tidak adil di tempat kerja, beban kerja yang tidak terkendali dan kurangnya kejelasan tentang apa yang seharusnya melibatkan peran seseorang. Di sisi lain, pekerja juga tertekan oleh kurangnya dukungan dari manager serta rekan kerja mereka. Serta adanya tekanan waktu yang tidak masuk akal.

Advertisement

3. Di Indonesia tren fleksibilitas jam kerja sering menjadi jebakan terbesar yang dihadapi oleh buruh kerah putih

Pekerja kerah putih adalah kebalika dari pekerja kerah biru yang bekerja secara manual. istilah kerah putih ditujukan kepada pekerja terdidik atau profesional. Organisasi Buruh Internasional (ILO) yang pada 2015 menyebut 26,3% pekerja di Indonesia bekerja lebih dari 49 jam dalam sepekan.

Padahal Kementerian Tenaga Kerja menetapkan durasi kerja maksimal 40 jam dalam sepekan. Tragisnya kesadaran menuntut hak atas lembur jauh lebih minim di kalangan pekerja kerah putih, jika dibandingkan pekerja kerah biru. Karena pekerja kerah putih terperangkap dengan kedok jam kerja yang fleksibel dengan gaji tetap tiap bulan. Sehingga perusahaan tidak memberikan upah lembur untuk staff.

Ketidakadilan durasi kerja di Indonesia adalah isu genting tapi sering terabaikan. Riset dilansir  International Trade Union Confederation (ITUC), menyebut Indonesia sebagai salah satu negara dengan iklim kerja paling buruk sedunia. Dengan rating hanya 5 (dari skala 1 sampai 10), Indonesia ditengarai gagal menjamin pemenuhan hak pekerja. Mulai dari masalah durasi kerja, pembayaran upah yang sesuai atau pantas, hingga penjaminan keamanan kerja setiap buruhnya.

Advertisement

4. Bagaimana seharusnya kita menyikapi burn out

Bekerja memang merupakan aspek penting dalam hidup kita untuk memenuhi kebutuhan. Namun jangan melupakan aspek-aspek penting lainnya seperti kesehatan dan kebahagiaan. Selain itu kita harus memberikan batasan terhadap waktu kita bekerja di kantor. Karena jika diikuti, pekerjaan tidak akan pernah selesai, saat sudah selesai dengan satu pekerjaan, akan muncul pekerjaan dan tugas lainnya. Begitu seterusnya.

Totalitas dalam bekerja memang perlu untuk perkembangan kariermu ke depannya. Tapi itu tidak berarti kamu harus menyerahkan seluruh waktumu untuk kantor. Apalagi sampai melupakan kesehatanmu, waktu untuk beribadah, kebahagiaanmu dan orang-orang yang menyayangimu.

5. Melakukan redefinisi makna sukses agar tidak mudah terserang burn out

Seperti apa sebenarnya kesuksesan itu? Apakah kita terlalu fokus pada bukti material tentang kesuksesan (jabatan, rumah, mobil mewah) daripada perasaan sukses?. Jika kita melihat data internasional tentang tingkat kebahagiaan di berbagai Negara. Walaupun Amerika Serikat, Cina, dan Jepang adalah tiga Negara dengan PDB teratas, hal itu tidak berbanding lurus dengan kebahagiaan populasi penduduknya

Faktanya, tidak ada satu pun dari mereka yang masuk dalam 10 besar. Amerika Serikat diperingkat 18, China peringkat 86 dan Jepang peringkat 54 yang menunjukkan meskipun pendapatan per kapita mereka besar namun tingkat kebahagiaan mereka lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.

Sehingga kita perlu melakukan redefinisi makna sukses yaitu bukan diukur dengan jumlah materi maupun tingginya jabatan. Namun, Kesuksesan adalah apa yang kita rasakan saat meraih sesuatu. Kalau kita merasa bangga, bahagia dan antusias, itu berarti kita meraih apa yang benar-benar kita inginkan dari lubuk hari kita yang terdalam.

Kalau kita merasakan sebaliknya, bisa jadi semua itu karena desakan dan keinginan dari pihak luar yang menginginkan kita seperti itu. Bisa jadi kita merasa bahagia setelah menolong orang lain seperti menciptakan lapangan pekerjaan atau merasa bahagia saat berhasil mendidik murid kita dengan baik.

Definisi sukses setiap orang berbeda sehingga kamu berhak membuat definisi suksesmu sendiri yang tidak terikat dalam lingkup materi, namun lebih kepada kebahagiaan yang hatimu rasakan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Sedang belajar menulis

CLOSE