Menyikapi #JusticeForAudrey, Sebenarnya Ada Banyak Hal yang Perlu Dibenahi dari Generasi Indonesia Saat Ini

Yuk, bijak menggunakan sosial media!

Tagar #JusticeForAudrey menjadi trending topic di media sosial Twitter saat ini, sebenarnya apa yang terjadi sih? Singkat cerita, tagar ini muncul sebagai bentuk dukungan keadilan untuk A, seorang siswi SMP yang dikeroyok oleh siswi-siswi SMA di Pontianak, Kalimantan Barat pada tanggal 29 Maret 2019 lalu. Bukan sekedar keroyokan biasa, kabarnya, siswi-siswi SMA ini mengeroyok A hingga hilang keperawanannya.

Lantas, apa yang menyebabkan mereka tega melakukan tindakan sekejam itu? Menurut kabar yang beredar, ternyata selama ini A terlalu mencampuri urusan mereka melalui komentar-komentar dan saling sindir di media sosial, sehingga memancing emosi si pelaku. Sepele, bukan?

Di balik kejadian yang memprihatinkan ini, ada banyak pelajaran yang dapat kita petik untuk kebaikan generasi Indonesia ke depannya agar kejadian serupa tidak terulang kembali. Apa saja sih? Yuk, kita renungi sama-sama!

1. Bijak dalam menggunakan media sosial

Advertisement

Sebagai orang yang normal, kita harus pandai dalam bersikap di segala kondisi, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Jika kita memiliki masalah di kehidupan nyata, cukup selesaikan di dunia nyata saja, tidak perlu kita membawanya ke media sosial. Mengapa?

Coba teman-teman bayangkan, ada berapa banyak pengguna media sosial yang terhubung dengan akun kita? Seberapa cepat informasi yang disampaikan dapat tersebar luas di media sosial? Dapatkah kita menghapus ingatan para user media sosial yang telah melihat postingan kita meskipun sudah dihapus? Memang tidak masalah jika informasi yang diterima adalah informasi yang baik.

Lantas, bagaimana jika informasi tersebut adalah sesuatu yang buruk dan dapat menyinggung perasaan pihak tertentu? Tentu akan menyulut api perselisihan, bukan?

Advertisement

Sekali lagi, alangkah baiknya bila kita selalu berhati-hati dalam menyampaikan informasi di media sosial. Sebab, apa yang kita utarakan di media sosial secara tidak langsung juga menggambarkan citra diri kita sebenarnya kepada massa.

2. Menonton tontonan yang sesuai usia

Pernahkah teman-teman melihat tontonan yang tidak mendidik di televisi? Misalnya, sinetron dengan genre romantis atau action yang didramatisasi sedemikian rupa tanpa amanat yang jelas. Dan mirisnya lagi, tontonan ini banyak digandrungi oleh kaum muda-mudi di negara kita yang tercinta ini.

Advertisement

Jika ditanya mengapa menyukai tontonan ini, kebanyakan dari mereka akan menjawab “Iya, soalnya cowoknya ganteng, so sweet lagi” atau “Iya keren ada pukul-pukulannya”.

Hai kaum muda, menonton boleh saja menonton, tetapi coba renungi kembali, layakkah otak seorang kaum terdidik mengonsumsi tontonan yang tidak mendidik? Baiklah jika sekedar hiburan, memang tidak ada salahnya menghibur otak yang penat pasca menerima pelajaran berat di sekolah.

Namun, jika dipikir lebih jauh, bila terlalu sering menonton tontonan tersebut, lambat laun, perilaku kita akan condong mengikuti hal yang sering kita lihat. Bayangkan kondisi berikut :

Jika teman-teman menemukan suatu kosa kata baru dari film yang baru teman-teman tonton, akankah teman-teman menggunakan kata tersebut di kehidupan sehari-hari?

Jika ada ciri khas dalam adegan yang diperankan oleh artis favorit teman-teman, apakah teman-teman akan mengingatnya? Dan apakah teman-teman juga akan menirunya?

Hal tersebutlah yang menjadi alasan mengapa kita perlu memilih tontonan yang sesuai. Sebab, apa yang kita tonton akan mempengaruhi bagaimana cara kita bertindak di kehidupan nyata.

Di sisi lain, masih menjadi pekerjaan rumah bagi para penulis/pengarang film di Indonesia untuk menyajikan lebih banyak alur cerita/film yang sesuai untuk anak-anak Indonesia, sehingga anak-anak tidak akan menonton tontonan yang tidak seharusnya ditujukan untuk mereka.

3. Selektif terhadap sajian informasi di media sosial

Sebagai pengguna media sosial, tentu kita harus memperhatikan privasi kita. Kita harus mampu menyaring mana informasi yang baik untuk disebarkan di media sosial dan mana informasi yang sebaiknya disimpan sendiri saja. Jangan sampai kita menyebarkan aib atau keburukan kita demi mengejar ketenaran.

Mengapa? Ingat, apa yang kita sampaikan di media sosial dapat mempengaruhi cara orang menganggap dan memandang kita. So, jangan sampai kita menjatuhkan image kita demi menjadi orang terkenal ya, guys. 🙂

Jadilah seorang yang dikenal khalayak karena sebuah prestasi, bukan oleh sensasi.

4. Pentingnya pendidikan budi pekerti di lingkungan keluarga dan sekolah

Lagi-lagi pendidikan budi pekerti harus ditanamkan sejak dini agar kelak generasi kita tahu-menahu soal norma dan etika kehidupan yang benar. Melalui pendidikan budi pekerti yang baik, niscaya manusia tidak akan melakukan tindakan yang radikal sepanjang hidupnya.

Peran keluarga menjadi faktor penting dalam pembentukan kepribadian seseorang. Jadi, sudah menjadi tugas utama bagi para orang tua untuk mendidik dan mendukung putra-putrinya menjadi pribadi yang berperikemanusiaan.

Selain itu, lingkungan sekolah pun menjadi faktor penting semasa pembentukan kepribadian anak. Oleh karena itu, pendidikan budi pekerti perlu diberlakukan sedini mungkin di sekolah agar siswa/i paham bagaimana cara berinteraksi dengan sesamanya sesuai dengan norma dan etika yang ada selama ini.

Melalui pendidikan budi pekerti, diharapkan generasi Indonesia akan menjadi generasi yang sadar akan moralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

5. Menjadi generasi yang sadar akan hukum

Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Jika di dunia nyata ada pasal 28E ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”, maka di dunia maya pun ada pasal 27 ayat 3 UU ITE yang melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik.

Intinya, kita boleh berpendapat di manapun kita berada, tetapi tidak untuk mencemari nama baik seseorang atau pihak tertentu ya, guys. Jadi, baik di dunia nyata maupun media sosial, akan selalu ada hukum yang mengatur keberlangsungannya, sehingga penting bagi kita sebagai pengguna untuk terus memperbarui informasi seputar aturan yang ditetapkan oleh pemerintah.

Ingat, sebelum bertindak, alangkah lebih baiknya bila kita paham terlebih dahulu 'bumi' mana yang sedang kita pijak dan 'langit' mana yang harus kiita junjung, guys.

6. Membasmi istilah-istilah lebay, alay, dan sebagainya

“Ah, lebay lu, gitu aja marah”

“Yaampun! Kayak gitu aja baper”

“Dasar Alay Baperan!”

“Udah biasa kali”

Kalimat-kalimat di atas nampaknya sudah lumrah dipergunakan oleh muda-mudi kita saat ini. Biasanya setelah menjahili temannya, kemudian temannya akan merasa tidak nyaman dan marah, lalu si pelaku akan merespon kurang lebih seperti kalimat di atas.
Kebiasaan seperti ini lambat laun akan mengikis sisi empati dari generasi milenial saat ini. Mengapa?

Kalimat tersebut merupakan tameng bagi pelaku agar tidak disalahkan oleh korban. Misalnya, C membully F, kemudian F merasa tidak terima dan hendak megambil sikap atas pembullyan tersebut. Lalu, C mengatakan “Ah, gitu aja baper lu”, secara tidak langsung kalimat tersebut membuat F menjadi enggan untuk mengambil sikap, sehingga memilih untuk memendam perasaannya.

Jika korban memilih untuk memendam amarahnya, maka tidak ada efek jera bagi si pelaku, sehingga memungkinkan si pelaku mengulangi hal yang serupa lagi kepada si korban.

Ya, benar, isitilah alay, lebay, dan sejenisnya dapat membatasi seseorang untuk menunjukkan eskpresi atas responnya kepada seseorang. Tentu saja hal ini akan membuat seseorang merasa tertekan, sehingga dapat mengganggu kesehatan mental.

Bagaimana dengan istilah “Udah biasa kali”? Kalimat sederhana ini juga akan menjadi racun apabila terus menerus dipakai dalam percakapan sehari-hari. Mengapa? Sebab kalimat ini merupakan suatu pernyataan yang mengarah pada penerimaan atau persetujuan atas sesuatu hal tanpa terlihat seperti setuju.

Misalnya, F membully C, kemudian G mencoba untuk melerai, kemudian hadir S yang mengatakan “Udah biasa kali, biarin aja”. Berarti secara tidak langsung, S menyetujui tindakan bully yang dilakukan oleh F. So, teman-teman Indonesia, yuk kita mulai membenahi diksi kita dalam bercakap-cakap selama ini.

Biarkan teman kita bebas mengungkapkan ekspresinya dengan mengganti ucapan “Ah, lebay lu!” menjadi “Kamu lagi kenapa?”. Hindari sikap apatis terhadap hal-hal yang radikal dengan mengganti kalimat “Udah biasa kali, biarin aja” menjadi “Jangan begitu dong! Itu tidak baik”.

Teruntuk generasi Indonesia yang berperikemanusiaan, mari bersama-sama kita lakukan gerakan Viralkan Prestasi, Musnahkan Sensasi!

Jadilah pemuda yang berkualitas!

Salam, pemuda Indonesia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Make It Simple!

CLOSE