Setangkai Kenangan

 

Layaknya siang dan malam, yang hanya berjumpa di ujung pagi. Waktu pun mulai tak bergumam, kini pertemuan itu telah menjadi perpisahan yang hanya akan dikebiri.

 <>1. Iya, tepatnya hari ini. Kau dengan kepala tertunduk beranjak pergi.

Sempat sekali kau menoleh sebelum memasuki ruangan yang dijaga oleh dua lelaki berseragam khas bandara itu, hingga akhirnya kau pun menghilang dari pandanganku ditelan jarak. Entah apa yang ada dalam pikiranmu, sedih atau kah justru bahagia, namun tahu kah kamu apa yang aku rasakan ketika itu? Perih, sungguh. Sangat perih.

Seolah-olah waktu telah berhenti, diam menatapku, menjulurkan lidahnya untuk mengejekku yang selalu berpura-pura tegar. Ya, aku selalu berusaha tersenyum di depanmu, bahkan saat kau mengatakan hal itu, hal yang membuatku sungguh bergetar.

Aku hanya tak mau kau pun ikut bersedih ketika melihat raut wajahku yang tiba-tiba berubah tak karauan, apalagi sampai kau melihat mata yang lemah ini menitihkan bulir-bulir air kesedihan. Sebab bagiku, tiap lengkungan yang tercipta dari bibirmu hingga setiap inchi gerakan tari bahagia mu merupakan keindahan surga yang Tuhan hadiahkan untukku.

Kamu adalah angan yang tertiup bersama angin oleh Sang Maha Pengasih dari tempat asal mu yang ku sebut “doa".

Masih terekam jelas perkataanmu setiap aku menanyakan perihal kepergianmu ini,

“jangan bahas hal ini, aku tak mau bersedih di depan orang banyak” ucapmu.

Yang selalu saja membuatku berhenti sejenak mempersoalkan hal itu, namun entah mengapa, berselang beberapa menit kemudian aku tetap saja kembali menanyakan hal itu dan juga jawabanmu selalu sama.

Mungkin karna aku masih belum bisa terima dengan kabar itu, kabar yang sangat jelas kau ucapkan dari bibir tipismu. Sangat singkat dan jelas namun, hingga saat hari sebelum hari ini, entah mengapa aku belum juga mampu menemukan intisarinya. Dan ketika bersinarnya mentari pertama di bulan ramadhan tahun ini, aku baru mengerti maksudnya.

Iya, seperti yang banyak orang pahami tentang arti kata “pergi” aku pun kini memahaminya beriringan dengan jejak kakimu yang ikut terbang meninggalkan kota ini. Kota Daeng.

Aku coba menguatkan langkah untuk segera beranjak dari tempat ini, tempat yang mungkin saja menjadi lokasi terkahir pertemuan kita, tak ada yang tahu, kecuali waktu yang akan memberikan jawaban.

Aku berjalan pulang tanpa menoleh lagi. Tak sanggup batinku melawan kepedihan akibat waktu. Remuk dan hancur lebur rasanya semua kini. Didalam mobil, lintasan kenangan denganmu masih saja menjadi tontonan menarik di memoriku, diiringi dengan riuh alunan lagu-lagu melow yang seolah-olah menjadi soundtrack dari kisah ini.

Sial!! Rupanya lagu-lagu melow itu justru semakin membuatku bertambah sedih dan kosong. Tiba-tiba saja aku membenci semua lagu itu. Tak ada yang lebih jahat dari lagu melow, pikirku. Lagu-lagu melow ketika itu membuatku seperti seonggok daging yang kehilangan rangka dan ruhnya. Sungguh aneh hidup ini, sesuatu hal yang kita sukai bisa berbalik menjadi benci dalam jeda waktu yang nyaris bersamaan.

<>2. Kisah kita akan tetap hidup di sudut hati ini. Mengurung dirinya dalam sebuah kubus yang kuncinya ada di separuh jiwaku dan jiwamu.

Kembali ku mengukir tulisan ini tepat di kertas yang sama, di setahun berselang kau pergi, waktu yang mungkin cukup untuk orang lain melupakan sebuah kenangan. Namun bagiku hal itu tak semudah yang dibayangkan, sebab kau tak hanya sekedar kenangan, kau lebih dari itu. Lebih dari segala hal keindahan yang pernah aku peroleh bahkan kau pun lebih dari segala hal kepedihan yang pernah aku rasakan.

Sempat kau menghubungi ku via telepon tiga hari lepas kau pergi, dengan nada yang tak ku mengerti maknanya kau berucap

“kau harus kuat melepasku, kau harus bisa perlahan melupakan hal yang membuat mu terpuruk dan jika itu adalah aku, maka lupakan aku!!” !!”

Heh?? Begitu mudah kau mengatakan hal itu, sungguh kau ini bagai manusia tak berperasaan, umpat ku kesal dalam hati. Namun belum sempat ku membalas ucapanmu itu kau telah memohon izin untuk menutup percakapan kita. Percakapan yang sebenarnya bukan milik kita tapi tak lebih sebuah percakapan antara kau dan telepon genggammu.

Hatiku bertanya, “ada apa denganmu? Mengapa dengan begitu cepatnya kau berubah? Apa karena jarak yang yang memisahkan kita?”. Kau yang dulu begitu sekuat tenaga selalu menjaga agar tak menyakiti perasaan kekasihmu, tiba-tiba saja mengeluarkan kalimat yang bagaikan pedang mencabik jantungku. Tersapu badai rasanya hatiku, dan untuk kedua kalinya kurasakan itu setelah yang pertama tentu karena kepergianmu.

<>3. Beberapa hari saat kau menghubungiku. Baru aku tahu jika itu adalah yang terakhir. Setelahnya kau bagaikan ditelan bumi.

Kau tak lagi aktif di akun-akun media sosialmu, seperti yang sering kau lakukan ketika kita masih bersama. Mengabadikan tiap moment yang kita lewati kemudian mengumbarnya ke media sosial. Sebuah kenangan yang sampai saat ini masih sering berkeliaran di memoriku. Hampir tiap malam aku selalu memikirkanmu.

Malam berganti pagi, pagi berganti malam, malam berganti pagi lagi. Mencoba menghubungi mu dengan segala cara namun selalu saja kau tak ku temukan di ujung pencarianku. Ribuan pertanyaan dan rasa cemas menggerayangi tiap lokus di otakku. Ingin berlari keluar, namun tak tahu jalan mana yang harus ia tempuh.

Bertempur dengan diri sendiri memang sangatlah memilukankan. Meskipun aku yang berhasil menaklukkan perasaan, tetap saja aku harus sadar bahwasanya aku masih sendiri berteman kenangan. Tak ada lagi kamu, tak ada juga rindu yang kau pelukkan manja di tubuhku. Yang ada hanya sebuah perisai yang aku ciptakan sendiri sebagai caraku untuk bertahan dari rasa cemas ini.

Terus menerus seperti itu, dan selalu saja akhir dari cemas ku berujung air mata. Mengunci kamar dari dalam dan menangis, menangis, menangis, dan menangis. Jika air mataku habis aku akan membeli berbotol-botol khamar lalu menangis, menangis, menangis dan menangis lagi, lalu minum lagi, lalu menangis lagi. Arrgghh.

Mungkin aku terlihat lemah, tapi apa salahnya lelaki menangis, toh, lelaki juga penya perasaan dan tak pernah ada larangan akan hal itu, meraung-raung sekalipun.

<>4. Kini aku tak tahu harus berbuat apa lagi. Semua terasa kosong dan sepi. Kau telah pergi. Kau pergi dengan meninggalkan semua moment indah antara aku, kau dan mereka, tanpa sedikitpun kau meninggalkan setangkai hadirmu diantara aku dan mereka.

Dan sangat tepat seperti apa yang aku bayangkan dahulu jikalau waktu ini telah tiba. Aku masih saja berdiri lusuh di tepian kisah ini, diterpa jutaan debu kenangan, ditemani perasaan awal ketika mengenalmu. Bercengkrama dengannya menjadi kebiasaanku saat kau masih dekat dalam jangkauan.

Bercerita hal yang hanya aku dan dia yang mengerti hingga malam tak tahan lagi mendengar percakapan kami. Namun kini kami tak lagi sering-sering bercengkrama. Menengoknya sejenak dan memastikan apakah ia baik- baik saja mungkin sudah cukup. Mungkin telah saatnya, seperti kau yang telah membentangkan jarak dengan ku. Aku pun akan mendirikan dinding kaca pemisah antara aku dan dia, agar tak ada lagi yang merasa tersakiti.

<>5. Waktu memang terlalu cepat berlalu, apa yang selama ini menjadi ketakutanku kini tengah berdiri kokoh di ujung kelopak mataku. Melambaikan tangannya sebagai salam perpisahan tanpa memberi kepastian kapan ia akan kembali hadir di ujung tatapku.

Waktu terkadang menjadi sosok yang sangat menakutkan bagi setiap pertemuan, sebab waktu dengan sekejap dapat merengkuh hal yang tak kita inginkan menjadi sebuah kenangan. Hingga lahirlah sebuah kata dengan berbagai imbuhannya itu yang sungguh sangat aku benci, bahkan semua manusia di dunia menganggap kata itu adalah sosok yang sangat menakutkan.

“Perpisahan” itulah kata yang selalu menjadi momok yang menakutkan bagi setiap pertemuan, dan kini hanya kata itu yang kau hadiahkan untukku. Sungguh hadiah terburuk yang pernah aku terima. Hatiku hancur lebur takkala menyaksikan waktu menjauh begitu pula kau. Hari-hariku kini seperti hujan, menebar wangi tanah basah sejenak lalu dingin, lalu asing dan tentu saja berakhir menjadi kenangan.

Aku tak pernah mau mencoba menipu kenangan dengan melupakannya, sebab kenangan punya banyak cara untuk menjerat lalu membunuh kita. Hanya ada dua pilihan, menjadi penurut atau terjerat diterkam. Dan aku telah memilih untuk menjadi hewan peliharaan kenangan.

Kau akan selalu terbingkai indah di dinding memoriku. Setangkai kenangan yang kau tinggalkan disisiku telah kurawat dan ku jamu bagaikan seorang raja. Aku hanya perlu berteman dengannya hingga waktu datang mengajak ia berlari kembali ke asalnya. Pergilah sayang! Pergilah sejauh mungkin yang kau mampu! Kau boleh menoleh, pintu tak kukunci.

Aku masih berdiri disini menatapmu menjauh. Kau bisa melihat tubuhku mengecil sebelum kau pelan-pelan ditelan tikungan jalan kemudian kisah kita punah dimangsa usia.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat segala jenis bacaan..

CLOSE