Catatan Kecil Tentang Pagi. Ketika Kita Terlalu Sibuk Memikirkan Esok Hari

pagi hari

Pagi hari di akhir pekan. Waktu yang patut disyukuri jika saat ini kamu masih sedang guling-guling di atas kasur empukmu. Tak harus buru-buru mandi dan berangkat kerja ketika kantormu hanya menerapkan sistem 5 hari kerja saja.

Advertisement

“Hari ini mau ngapain, ya? Mending beresin kamar, jalan-jalan, atau tidur aja seharian?”

Mungkin, pertanyaan macam itu yang ada dalam kepalamu. Perihal bagaimana kamu akan menikmati dan menandaskan waktu di libur akhir pekanmu. Perkara yang sederhana dan jika kamu pun tengah merasakannya, percayalah bahwa kamu masuk golongan orang-orang yang beruntung.

Ya, beruntung karena apa yang kamu pikirkan tak akan seberapa menguras tenaga, pikiran, dan emosimu. Sementara hari ini, pagi ini, aku justru sedang kelimpungan menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalaku sendiri;

Advertisement

“Kenapa hari ini aku masih saja bangun dengan kondisi yang tak jauh beda dari hari-hari sebelumnya? Bukankah di usia yang sekarang setidaknya aku sudah bisa punya kehidupan yang lebih bisa membuatku berbangga?

Tanpa pekerjaan yang menjanjikan, kendaraan pribadi, rumah idaman, hingga seorang pendamping hidup impian – apakah kerisauan yang pagi ini aku rasakan terdengar terlalu berlebihan?”

Kita tumbuh dan terdidik menumpuk cita-cita–ingin hidup yang serba ada. Bangku sekolah dan kuliah tampak tak lebih dari tempat mencetak manusia-manusia yang siap kerja

ketika kita terlalu sibuk merisaukan esok hari

ketika kita terlalu sibuk merisaukan esok hari via imgarcade.com

Entah benar atau salah, tapi mungkin ada banyak orang merasakan kegelisahan yang sama. Sadar atau tidak, kita dibesarkan dan terdidik untuk selalu memikirkan hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Ayah atau ibu sepertinya tak lelah merapal kalimat semacam ini;

Advertisement

“Sekolah yang rajin ya, Nak! Biar pintar dan bisa jadi orang sukses nantinya.”

atau kalimat ini yang mereka dengungkan saat kamu akan masuk perguruan tinggi,

“Kalau kuliah, pilih jurusan yang bisa gampang cari kerja.”

Sekilas terdengar baik-baik saja, tapi bukankah kalimat-kalimat ini sebenarnya sangat absurd dan tak jelas maknanya? Apa sih definisi sukses yang sebenarnya? Kenapa kata “sukses” bisa begitu ringan diucapkan tanpa kita diberi penjelasan yang gamblang?

Mungkinkah kita sudah bisa disebut sukses ketika mampu mencukupi segala kebutuhan diri sendiri? Ataukah tolak ukur kesuksesan dilihat dari seberapa banyak prestasi dan pencapaian yang kita punya? Dan jika perkara pendidikan dikaitkan dengan pekerjaan, bukankah tujuan yang kita kejar semata-mata adalah materi atau kasarnya uang?

“Kehidupan seharusnya tak sesederhana ini. Mati-matian belajar demi jadi anak pintar, lalu masuk sekolah atau kampus favorit. Lulus tepat waktu dengan predikat berprestasi lalu ditawari pekerjaan di perusahaan mentereng dengan gaji tinggi.”

Sebagai individu yang merdeka, kita tak harus merapal harapan-harapan serupa. Hidup sepertinya terlalu sia-sia saat sibuk menghitung apa yang kita punya

pikirkan apa saja yang sudah kamu punya

pikirkan apa saja yang sudah kamu punya via photography.2eyepickle.com

Tak ada ukuran pasti jika membahas soal kesuksesan atau keberhasilan seseorang. Tiap-tiap individu berhak dan punya kuasa untuk membuat patokannya sendiri-sendiri. Perkara pencapaian atau prestasi toh seharusnya demi kepuasan diri sendiri.

Sayangnya, kita kadang memilih menjalani hidup dengan cara-cara yang rumit. Betapa anggapan dan penilaian orang lain tentang diri kita menjadi sangat penting. Kita menjadi terbiasa dengan perkara membanding-bandingkan pencapaian diri sendiri dan orang lain.

“Dia bisa kuliah di kampus A yang kabarnya lebih bagus, kenapa dulu aku hanya bisa masuk kampus B?”

“Mereka sudah sarjana, kenapa aku masih harus berkutat dengan skripsiku yang seperti tak ada akhirnya?”

“Kenapa aku belum bisa punya mobil pribadi atau mencicil rumah seperti dia yang usianya bahkan lebih muda dariku?”

Bukankah hidup terasa melelahkan jika pikiran-pikiran macam ini yang berputar dalam kepala? Padahal, hidup seharusnya bisa dijalani dengan apa adanya dan lebih menerima. Tanpa perlu banyak meminta atau menyiksa diri lantaran terlalu keras berusaha, demi bisa seperti orang-orang lainnya.

Kesempatan hidup adalah sebuah kemewahan. Kita berhak punya mimpi-mimpi paling gila dan berharap kelak bisa jadi kenyataan

rawat mimpi-mimpi gilamu

rawat mimpi-mimpi gilamu via www.pinterest.com

“Aku berharap kelak bisa punya rumah sederhana di desa. Menikmati sisa usia dengan menanam tomat dan cabai. Bisa melihat sawah dan menghirup udara segar setiap hari.”

Ya, kita punya otoritas atas hidup kita sendiri. Ibarat seorang nakhoda, kita memegang kemudi sehingga ke mana arah hidup ini bisa ditentukan sendiri. Jika aku ingin punya keluarga kecil dan tinggal di desa, kamu mungkin berharap bisa hidup melajang dan pergi keliling dunia.

Apapun mimpi dan keinginan itu, kita berhak mewujudkannya. Bahkan meski orang lain akan menganggap kita aneh atau gila sekalipun. Terlebih, hidup hanyalah kesempatan yang sifatnya sementara. Sayang rasanya, jika hidupmu hanya dihabiskan untuk memenuhi harapan-harapan orang lain. Sekadar berusaha tampil sempurna layaknya apa yang orang lain pikirkan tentang kita.

Kesempatan hidup adalah sebuah kemewahan, yang harus dirayakan dengan melakukan apa saja yang jadi cita-cita dan keinginan.”

Masih terlalu dini untuk merisaukan yang akan terjadi esok hari. Sekadar bisa bangun siang dan lebih lama menjamahi kasur di Sabtu pagi ini pun sebenarnya bisa disyukuri

segala yang kamu punya layak disyukuri

segala yang kamu punya layak disyukuri via palavrasdemarceli.wordpress.com

Jika pagi ini aku masih berbaring malas di atas kasurku, di luar sana ada orang-orang yang tengah sibuk menjalani aktivitasnya. Bergelut dengan pekerjaan di kantor, terjebak macet di jalan, atau berdesakan di angkutan umum demi melakoni kewajiban.

Gila! Tidakkah aku seharusnya merasa jadi orang yang paling tidak bersyukur di dunia. Atas apa yang sampai detik ini aku punya, aku lupa bahwa Tuhan sudah demikian berbaik hati pada makhluk ciptaan-Nya.

Mungkin, terlalu jumawa jika kepalaku saat ini dipenuhi pertanyaan-pertanyaan perihal masa depan. Sementara, masihkah Tuhan memberiku kesempatan hidup di beberapa jam ke depan pun masih jadi pertanyaan.

Ya, yang bisa dilakukan adalah bersyukur. Berterima kasih pada Tuhan untuk segala kenikmatan yang sampai detik ini bisa dicicipi. Meski aku belum bisa mewujudkan semua keinginan. Sekalipun aku belum punya berbagai pencapaian layaknya kebanyakan orang di usiaku yang sekarang.

“Sabtu pagi, ketika tiduran di kasur tanpa harus buru-buru beraktivitas adalah sebuah nikmat Tuhan yang tak bisa didustakan.”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Suka kopi, puisi, band beraliran folk, punya hobi mikir dan pacaran di bangku taman.

Editor

Not that millennial in digital era.

CLOSE