Jatuh Bangun Itu Hal yang Biasa. Nikmati Saja Agar Jatah Waktu Hidup Tak Sia-Sia

Hawa dingin dan langit yang lebih sering mendung akibat musim hujan datang terlalu cepat, membuat saya lebih banyak berpikir akhir-akhir ini. Kali ini ditemani secangkir kopi dan alunan musik sendu lagu Do You Know milik Diana Ross. Sungguh menyebalkan. Pertanyaan-pertanyaan yang terlontar di lagu itu benar-benar membuat saya merasa tertampar.

“Do you know where you’re going to?
Do you like the things that life is showing you?”

Sejujurnya, tidak. Silakan mendefinisikan hidup dengan beragam teori dari berbagai bidang studi. Tapi hidup tetap punya aturan sendiri dan selamanya akan berupa misteri. Sementara di luar sana kabar tentang perang dunia santer terdengar, saya mau tidak mau memikirkan hidup saya sendiri. Sudah 25 tahun waktu yang sudah saya lalui. Berapa lagi yang tersisa?

1. Terkadang saya merasa sangat egois. Menjauh dari rumah demi mengejar rezeki. Namun bukankah rezeki memang harus dicari sendiri?

pergi dari rumah untuk mengejar mimpi

Pergi dari rumah untuk mengejar mimpi via quotesgram.com

Ada kalanya saya merasa begitu egois. Di kampung halaman, orang tua semakin menua dan sendirian. Sementara saya sibuk di kota besar demi mencari sesuap nasi dan menambah sedikit demi sedikit nilai di buku tabungan. Tak jarang saya berpikir untuk pulang saja dan melepaskan segalanya. Pasti di rumah nanti ada sesuatu yang bisa saya kerjakan. Toh, katanya rezeki itu sudah ada yang mengatur. Namun bila tidak dicari, akankah rezeki datang sendiri? Bila saya duduk saja di rumah tidak mengerjakan apa-apa, apakah perut ini akan kenyang sendiri? Bukankah, hidup saya ini adalah tanggung jawab saya sendiri?

2. Mematok mimpi yang begitu tinggi, berganti keinginan setiap setahun sekali. Orang bilang saya tak bisa bersyukur, tapi bukankah proses aktualisasi diri memang begini?

lu5_kubeeus-yoann-boyer

Tidak salah terus mencari mimpi yang lebih tinggi via unsplash.com

Sebagai generasi millennial, saya sering berubah pekerjaan. Seringkali saya tak sabar menunggu masa kontrak berakhir hingga saya bisa pergi karena pekerjaan sekarang terasa membosankan. Barangkali ini bukan hal yang membanggakan. Sementara orang lain kesulitan mencari kerja, saya malah dengan sombongnya berganti-ganti pekerjaan dengan alasan ‘bosan’. Kata orang saya juga menggantung mimpi yang terlalu tinggi dan tidak realistis. Lalu berbondong-bondong pertanyaan “Apa sih yang kamu cari?” berdatangan. Namun bukankan justru itu yang sedang saya usahakan? Menemukan sesuatu yang benar-benar saya cari dan harapkan.

3. Dia yang mencoba dan gagal jauh lebih mengagumkan daripada dia yang selalu baik-baik saja, karena memang tidak pernah mencoba

mematok mimpi yang tinggi, dan meghadapi segala risiko

Meski mengalami kegagalan, sebenarnya sudah naik tingkat karena berani mencoba via unsplash.com

Hidup memang tak selalu baik hati. Barangkali karena itulah banyak orang yang bilang mimpi saya terlalu tinggi karena risikonya terlalu besar. Memang ada kalanya apa yang terjadi ternyata begitu melenceng dari rencana. Ekspektasi yang telanjur tinggi membuat sakit hati semakin pahit rasanya. Kegagalan demi kegagalan terjadi sampai-sampai saya harus mempertanyakan mimpi sendiri. Meski kegagalan memang menyakitkan, setidaknya saya sudah mencoba. Itu jauh lebih baik daripada mundur perlahan padahal belum usaha apa-apa. Setidaknya mencoba dan gagal sakitnya hanya satu kali, sementara tanpa mencoba saya tidak pernah tahu hasilnya.

4. Setiap duka dan tangis adalah pembelajaran. Mengapa menghindar, bila dari sana justru banyak ilmu yang didapatkan?

Kerja keras pasti akan berbekas

Kerja keras pasti akan berbekas via unsplash.com

Kegagalan memang tidak pernah menyenangkan. Butuh hati yang besar untuk bisa melampaui segala kecewa dan menumbuhkan semangat untuk bangkit agar saya bisa segera berbenah. Namun tak ada yang perlu saya sesali bukan? Hidup memang naik dan turun, sementara apa yang kita inginkan memang tak semua bisa didapatkan. Barangkali saya memang harus mengalami kebuntuan, kesedihan, dan kegagalan supaya saya bisa belajar. Namun bukankah memang seperti itu kehidupan? Pahit manisnya menjadi sebuah rasa yang bisa dinikmati bersama-sama. Bila hidup selamanya menyenangkan, bukankah justru membosankan?

5. Dalam hitungan puluhan tahun ke depan, saya tak melihat apa-apa selain kematian. Sebanyak apapun teori kebebasan, nyatanya hidup ini memang terbatas

Di depan sana hanya kepastian yang sudah pasti datang

Di depan sana hanya kepastian yang sudah pasti datang via www.reddit.com

Dulu saat masih kuliah, saya menghitung hari kapan liburan semester gasal tiba dan saya bisa pulang ke kampung halaman. Lalu saat liburan tiba, saya menghitung lagi berapa hari yang tersisa sampai saya harus kembali ke realita. Sialnya saya menghitung dalam jangka waktu yang terlalu besar. Setelah lulus kuliah, bekerja, menikah, punya anak, lalu apa? Di depan sana, satu-satunya yang terlihat pasti hanyalah kematian. Saya boleh punya setumpuk rencana yang bila dijilid mungkin jadi satu novel remaja, tapi yang sudah pasti datang hanyalah kematian.

Hidup hanya jeda waktu antara ada dan tiada. Itulah waktu yang saya miliki untuk melakukan apapun yang saya inginkan. Itulah kesempatan terbatas yang harus saya manfaatkan sebaik-baiknya. Selepas nyawa ini lepas dari badan, maka setumpuk daftar cita-cita itu hanya tinggal angan saja. Saya hanya tinggal nama dan citra atas apa-apa yang sudah saya lakukan.

6. Biar saja orang bertanya apa yang saya cari. Yang jelas, saya tidak ingin kuliah, kerja, menikah, kemudian mati dan dilupakan

Semua orang ingin dikenang

Semua orang ingin dikenang via unsplash.com

Dulu saat masih remaja, hidup memang lebih sederhana. Saya percaya begitu saja bahwa siklusnya memang: lahir – sekolah – kuliah – kerja – menikah – punya anak – mati. Namun sekarang saya mengerti bahwa jeda antara lahir dan mati itulah waktu yang harus saya tentukan sendiri. Tuhan sudah memberikan batasnya, tinggal saya yang harus membentuknya menjadi apa. Hidup hanya satu kali, tentunya sayang bila hanya saya lewatkan dengan mengikuti rumus orang kebanyakan. Harus ada yang dikejar, harus ada yang dicapai, dan harus ada yang dilakukan. Sebab saya tak ingin setelah mati nanti lalu dilupakan. Barangkali dengan berjalan sejauh mungkin, saya akan dengan senang hati pulang.

Siapalah saya yang berani berharap hidup yang super menyenangkan dan mampu mengusir segala getir yang hendak singgah? Atas segala pahit dan getirnya, tetap saja hidup layak dijalani dengan sepenuh hati. Karena tentu saya perlu melewati medan yang terjal dan berbahaya untuk bisa sampai di puncak gunung dan menikmati keindahannya.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi