Membalas Curhatmu: Tentang Rasa Iri yang Selalu Diingkari, tapi Diam-Diam Sering Menghampiri

Rasa Iri

Sejak kecil kita selalu diajari bahwa iri dan dengki adalah perbuatan tercela yang harus dihindari. Manusia yang baik adalah ia yang selalu bersyukur dan nggak pernah iri dengan keberhasilan orang lain. Tapi siapa sih yang nggak pernah merasa iri atas segala hal? Yang benar-benar bisa legowo menerima semua kenyataan yang kadang nggak sesuai harapan? Akui saja, ada kalanya rasa iri menyelinap di dalam dada.

Kenapa sih aku nggak bisa kayak dia? Kenapa dia bisa keterima di kampus ternama padahal selama ini nilai-nilainya B aja? Kenapa kariernya melesat jauh lebih keren dan gajinya lebih gede, padahal dulu di kampus IPK-nya jauh lebih kecil dibanding aku?

Rasa iri adalah perasaan yang manusiawi, meski nggak berarti bisa dimaklumi. Seperti kisah-kisah yang sudah dicurahkan oleh teman-teman Hipwee dalam #MisCur alias Kamis Curhat edisi 24 Oktober 2019. Berikut cerita mereka yang pernah dihinggapi rasa iri, dan bagaimana cara mengatasinya.

1. Iri kepada teman yang sudap siap menikah, sudah dilamar, dan siap mengarungi kehidupan rumah tangga

Setuju, menikah itu bukan perkara usia. Ada yang siap di usia 20 tahun, ada yang belum siap hingga usianya 30 tahun. Nggak ada dasar yang bisa menjustifikasi juga, karena setiap orang memiliki kesiapan serta pilihan yang berbeda-beda. Meski begitu, stigma masyarakat memang masih sangat kuat. Semoga kelak semakin jarang yang menilai si A sudah siap menikah dan si B belum hanya karena usianya, ya.

2. Menjadi satu-satunya yang gagal di antara rekan seperjuangan yang berhasil

Sebenarnya dalam tahap tertentu, rasa iri itu sangat manusiawi. Apalagi dalam kasus ini kamu gagal sendiri di antara teman-teman seperjuangan. Wajar kalau kemudian kamu bertanya-tanya “Apa sih kurangnya aku dibanding mereka?”. Rasa ini akan sangat menyiksa kalau nggak segera “dijinakkan”. Salah satu caranya dengan memahami kita nggak pernah tahu apa bagaimana perjuangan orang untuk mencapai sesuatu. Bisa jadi usahanya jauh lebih berdarah dari kita ‘kan?

Selain itu, kita sering lupa bahwa kadang apa yang kita inginkan bukan yang terbaik untuk kita. Juga bahwa di setiap kegagalan, ada rencana tersembunyi yang siap kita buka, yang mungkin hasilnya akan lebih bagus daripada pilihan pertama yang kamu inginkan.

3. Iri kepada pacar yang seolah punya segalanya dan hidup jauh dari masalah

Awal-awal di mana kesadaran kehidupan orang lain lebih baik memang sangat menyakitkan. Mungkin di momen itu kamu merasa down, dan berkecil hati. Namun, ingat bahwa fakta ini nggak akan berubah kalau kita terus-terusan berkubang dengan rasa iri saja, tanpa mengubahnya jadi motivasi. Berangkat dari “rasa kurang”, kita jadi tertantang untuk menjadi yang lebih baik dari sekarang.

4. Iri kepada teman-teman yang sibuk kerja dan kuliah, karena diri sendiri sedang bingung mencari tempat bersinggah

Bagaimana dengan mengingat-ingat lagi hobi yang dulu pernah kamu tekuni? Atau barangkali mengisi waktu dengan mempelajari hal-hal baru sembari menunggu? Atau mungkin mau mencoba online shop, memanfaatkan berbagai platform e-commerce yang sudah ada? Momen penantian seperti ini memang melelahkan, bahkan meski sehari-hari hanya rebahan. Karenanya, kita harus jago mencari “kegiatan”, dan alangkah baiknya bila kegiatan itu positif. Selain waktumu nggak terbuang percuma, skillmu pun bertambah dan kualitas hidupmu meningkat.

5. Iri dengan orang lain yang punya skill sosialisasi mumpuni sehingga mudah berkomunikasi dengan orang lain

Rasa nyaman memang tak perlu dipaksa. Memaksakan diri menjadi orang lain justru akan menyiksa diri sendiri. Pun social phobia, orang tercipta dengan karakter yang berbeda-beda. Ada yang memang supel, mudah akrab, dan “rame”. Ada pula yang lebih senang menghabiskan waktu sendiri dan berbincang dengan orang-orang yang dikenal. Untuk kasusmu, semoga social phobia dan anxiety disorder yang kamu alami segera membaik. Jangan ragu untuk mencari bantuan, dan nggak perlu malu mengakui bahwa kita perlu pertolongan.

6. Iri pada pasangan yang cepat diberi momongan

Hipwee mengerti sepenuhnya kegundahan tersebut. Apalagi kita memang hidup di budaya yang ‘banyak tanya’. Ketika masih kuliah ditanya kapan lulusnya. Lalu kapan nikahnya, dan kapan punya momongan. Pun setelah kalian dikaruniai momongan, pasti ada saja yang bertanya “kapan nih si A punya adik?”. Namun, soal momongan, yang bisa dilakukan memang hanya ihtiar. Jika belum juga, berarti Tuhan memang belum mengizinkan. Bisa juga, Tuhan sengaja memberimu waktu untuk “pacaran” dulu dengan pasangan, sebelum menjalani peran sebagai orangtua.

7. Iri kepada saudara yang terlebih dahulu mandiri

Menjadi mandiri memang ada tahapnya, kok. Nggak perlu tersinggung lama-lama. Sebagai gantinya, jadikan itu semangat untuk berusaha lebih keras lagi, sehingga suatu saat nanti kamu juga bisa “ngasih”. 🙂

8. Sering dibanding-bandingkan sejak kecil, sehingga terbiasa menjadikan orang lain sebagai tolok ukur kesuksesan

Memang inilah bahayanya rasa iri. Kita jadi terpatok pada apa yang orang lain lakukan dan apa yang orang lain miliki. Padahal setiap orang punya cita-cita, tujuan, dan fokus yang berbeda-beda. Definisi sukses setiap orang pun beda-beda. Ada yang merasa sukses dengan hidup berkecukupan dengan keluarga yang baik serta minim konflik. Ada juga yang merasa sukses dengan punya uang milyaran. Nggak bisa dipukul rata. Tapi karena kita terlalu “melihat orang lain”, kita jadi kehilangan kesempatan untuk memaksimalkan potensi diri sendiri. Ya ‘kan?

Rasa iri itu manusiawi kok. Bohong banget ‘kan kalau dibilang kita nggak pernah iri dengan keberhasilan orang lain? Tapi rasa iri yang dipelihara justru akan merugikan diri sendiri. Nggak hanya menghalangi rasa syukur, tapi juga menghalangi diri sendiri untuk berkembang. Kecuali kalau kita mengubah rasa iri tersebut menjadi motivasi untuk berjuang lebih keras lagi.

Ingin curhatmu dibalas juga? Yuk ikuti #MisCur di Instagram @hipwee setiap hari Kamis~

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi