Alasan Sahih Kamu Perlu Ambil Jatah Cuti. Stop Merasa Nggak Enakan Lagi!

alasan perlu cuti

Untuk orang sensitif yang sering nggak enakan, perkara mau ambil cuti pun bisa jadi masalah besar. Pikiran sudah super suntuk dan hasrat untuk liburan sudah sangat besar, tapi rasanya kamu nggak nyaman untuk mengajukan cuti. Alasannya beragam, mulai dari takut dianggap gabut karena sering cuti, segan membebani orang lain dengan tanggung jawab pekerjaan, sampai nggak enak karena atasan juga jarang cuti.

“Muka udah butek banget tuh. Udah buruan ajuin cuti.”
“Penginnya. Tapi nggak enak nih. Bu Bos aja nggak pernah cuti. Padahal kerjaan dia pasti lebih berat.”

Padahal mengambil cuti untuk me-refresh pikiran adalah sebuah kebutuhan lho. Bagaimanapun, tubuhmu perlu “pelarian” sejenak agar tetap sehat dan waras. Jadi, jangan segan-segan untuk mengambil jatah cutimu ya. Kalau kamu masih ragu, coba deh pikiran beberapa alasan berikut ini untuk nggak sungkan mengambil jatah cuti.

1. Cuti adalah hak setiap karyawan. Setelah memenuhi syarat, kamu berhak untuk mengajukan

cuti adalah hak (photo by bernal1) via pixabay.com

Ketika menandatangani kontrak dulu, tentu kamu ingat aturan-aturan yang membahas tentang cuti. Biasanya, karyawan yang sudah memenuhi syarat memiliki jatah cuti alias paid leave sekian hari yang bisa diambil dalam satu tahun. Ketentuan itu pastinya sudah didasarkan dengan berbagai pertimbangan bukan? Jadi, nggak ada yang salah dengan mengambil jatah cuti yang kamu miliki. Kamu nggak menyalahi aturan dan nggak merugikan siapa pun kok.

2. Mengambil jatah cuti bukan berarti kamu malas. Kamu adalah manusia biasa yang butuh re-charge energi

butuh isi ulang energi (photo by Counselling) via pixabay.com

“Cuti mulu? Males banget sih lo?”

Mungkin ini yang membuatmu sedikit ragu untuk mengambil cuti. Apalagi kalau bulan sebelumnya sudah mengambil cuti. Tapi lagi-lagi kembali ke aturan yang ada. Biasanya, setiap kantor memiliki peraturan tentang jangka waktu pengambilan cuti. Semisal sudah sesuai, kenapa harus ragu? Perkara dianggap malas, yang penting pekerjaanmu beres bukan? Toh, nggak ada yang tahu tentang bagaimana kamu lembur bekerja di luar jam demi menyelesaikan tanggung jawabmu.

3. Nggak enak karena orang lain jadi handle pekerjaan kita? Toh, nanti kamu akan mengalaminya juga

Semua sudah pada jalurnya (photo by Elevate Digital) via www.pexels.com

“Kok nggak jadi cuti?”
“Iya, nggak enak sama Ayu. Nanti dia harus ngerjain kerjaanku.”

Alasan yang ini juga cukup sering ditemui. Segan membebani rekan kerja yang lain atau atasan yang harus meng-handle pekerjaan yang kita tinggalkan. Tapi bukankah semua itu sudah diperhitungkan? Lagipula, apa salahnya mengajukan cuti? Toh, bila pekerjaan sedang sangat banyak dan mustahil ditinggalkan, cutimu akan ditolak atau diminta menunda. Yang terpenting, coba saja dulu ‘kan?

4. Cuti bukan sebuah keuntungan, melainkan kebutuhan yang erat kaitannya dengan kesehatan. Kalau kamu sehat, performa juga lebih terjamin kan?

kalo sehat performa juga hebat (photo by Bruce Mars) via pixabay.com

Selain takut dianggap malas, mungkin kamu juga takut dianggap gabut. Karena, cuti dianggap sebagai keuntungan sebab kamu masih dibayar meski nggak melakukan pekerjaan. Tapi cuti bukanlah sebuah keuntungan, melainkan kebutuhan. Cuti juga sangat erat kaitannya dengan kesehatan, karena bagaimanapun tubuhmu juga butuh “bahagia”. Tekanan dan stres yang kamu alami itu harus dikurangi atau dihilangkan, salah satunya dengan liburan. Kalau kamu sehat, bukankah performa kerjamu juga lebih menjanjikan?

5. Cuti bisa membantumu me-refresh pikiran yang suntuk. Kalau kinerjamu membaik, kantor juga yang untung bukan?

refresh pikiran (photo by Silviarita) via pixabay.com

Setiap hari menghadapi hal yang sama pasti membuatmu merasa jenuh. Apalagi bila pekerjaanmu termasuk yang bertekanan tinggi. Ketika stres sudah terlalu besar, pastinya sulit untuk memberikan performa yang baik. Karenanya kamu butuh “rehat” sejenak. Caranya dengan cuti, yang bisa kamu lewati dengan liburan atau sekadar bersantai di rumah bersama keluarga. Jeda ini membuat tubuhmu lebih rileks dan pikiranmu pun lebih fresh. Bukan mustahil, kamu menemukan inspirasi-inspirasi kece di masa cutimu ini yang bisa menunjang pekerjaanmu sehari-hari nanti.

6. Burn out yang kamu alami dampaknya hanya padamu sendiri. Sebab jangan lupa, bahwa posisimu begitu mudah diganti

Burn Out (photo by William Choquette) via www.pexels.com

Namanya manusia biasa, tentu memiliki limit atas banyak hal. Begitu juga dengan tubuhmu, yang punya batasannya sendiri. Memaksa untuk tetap bekerja saat burn out sudah melandamu sedemikian parahnya, hanya akan merugikanmu sendiri. Bila performamu jadi buruk dan nggak maksimal, namamu di perusahaan pun menjadi tercoreng. Begitu juga bila akhirnya tumbuhmu tumbang dan nggak bisa lagi berkontribusi. Kantormu tak akan mau tahu, dan faktanya, posisimu akan sangat mudah digantikan oleh orang lain.

7. Cuti adalah hakmu. Setelah kerja keras yang cukup lama, dirimu berhak untuk bersenang-senang menikmatinya

berhak senang-senang (photo by Free-Photos) via pixabay.com

Selama ini kamu sudah bekerja sangat keras. Prestasi dan pencapaian yang kamu dapatkan hingga saat ini datang dari usaha yang tak kenal waktu. Pergi pagi pulang malam, terkadang masih bekerja di akhir pekan, harus juga pandai-pandai mengatur emosi agar tetap bisa aman terkendali.

Atas semua itu, kamu berhak menghadiahi dirimu sendiri kesempatan untuk bersantai sejenak. Lagipula, hasil dari kerja keras yang kamu lakukan setiap hati itu juga layak kamu nikmati bukan? Buat apa kamu kerja keras setiap hari, bila kamu tak memiliki kesempatan untuk menikmati hasilnya?

Barangkali mengambil jatah cuti adalah bentuk paling mudah dilihat dari sikap cinta pada diri sendiri. Nggak perlu segan atau nggak enakan mengajukan cuti pada atasan, karena itu hakmu untuk bersenang-senang sebagai manusia dan hakmu untuk “libur” sebagai karyawan. Kamu nggak menyalahi apa-apa kok 🙂

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta harapan palsu, yang berharap bisa ketemu kamu.

Editor

Not that millennial in digital era.