Politisi yang Lupa Akan Pentingnya Pencitraan,Sosok Tegas Dibalik Petahana Jakarta 4 Tahun Terakhir!

Artikel ini adalah bagian dari liputan khusus Hipwee seputar ‘Cagub Series Pilkada DKI Jakarta 2017’. Bukan propaganda atau analisis politik, hanya berusaha menawarkan cerita politik dari sudut pandang anak muda. Karena politik sebenarnya adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, termasuk kamu.

Tiga pasangan calon sudah diputuskan, banyak yang bertanya, banyak yang kecewa, banyak pula yang berharap banyak. Ada yang tidak jadi nyalon, ada yang tiba-tiba nyalon. Namun sebagai generasi muda, abai pada siapa yang akan menjalankan roda-roda pemerintahan tentu keputusan yang sangat disayangkan. Bukan bermaksud menggurui, namun setidaknya kita perlu tahu siapa yang akan kita contreng atau coblos fotonya di bilik pemilu nanti.

Jangan dulu menuduh Hipwee sudah berubah. Apalagi menganggap Hipwee sebagai media yang dititipi  politisi untuk menampilkan janji-janji visi dan misi. Seperti biasa, Hipwee hanya menyuguhkan opini. Tak perlu sensi, karena peduli pada siapa yang menduduki kursi penguasa, sama artinya peduli pada diri sendiri.

Sesuai keputusan tertinggi majelis penghitungan kancing, tokoh terakhir yang akan kita bahas dalam Serius Cagub DKI adalah Gubernur yang kini menjabat. Yup, Bapak Basuki Tjahaya Purnama atau yang lebih sering kita sapa Ahok. Ini spesial, karena barangkali di antara deretan orang yang pernah berkuasa, hanya Ahok yang punya kelompok basis relawan, yang sekilas mengingatkan kita pada Sahabat Peterpan (sekarang Noah), Directioners, dan (mungkin) Wota. Jelas ini bukan hal yang boleh dianggap enteng, sebab Sahabat Peterpan, Directioners, dan Wota adalah penggemar garis keras yang tentu tidak sebegitu cinta bila idolanya tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan.

Jadi incumbent atau petahana itu, ada untungnya juga ada ruginya. Mereka yang puas dengan kinerjanya selama ini pasti nggak mau berpindah ke lain hati, tapi juga pasti jadi target jegal baik yang benar-benar kecewa akan sikap serta programnya atau yang ingin duduk di posisinya

Sepak terjangnya mudah dilihat

Sepak terjangnya mudah dilihat via suaranasional.com

Sama seperti ketika kita memilih calon pendamping untuk membina keluarga, memilih seorang kepala pemerintahan tentu tidak bisa sembarangan. Ganteng dan cantik saja tentu tidak cukup, sebab mengatur dan melayani rakyat tak hanya butuh pesona menawan dari senyum tiga jari. Meneliti dan menganalisis rekam jejak itu wajib. Apa yang sudah diperbuatnya selama ini? Bagaimana pribadinya sejauh ini? Apa rancangan visi dan misi yang dibawanya kali ini? Bisakah dia diserahi tanggung jawab yang begitu besar untuk mewujudkan kesejahteraan bersama?

Di sini, posisi Ahok dapat dibilang mempermudah kita semua. Tak harus berusaha keras membuka Wikipedia atau googling segala beritanya, kita tinggal melihat apa yang sudah dan sedang dilakukannya saat ini. Ahok sudah menjadi Gubernur Jakarta sejak tahun 2014. Bila suka dengan hasil kerjanya, bolehlah diberi kesempatan kedua. Dan bila benci hasil kerjanya, tinggalkan dan pilih calon lain yang lebih baik. Jelas ini memudahkan. Sebab dengan kualitas internet kita yang pernah dipertanyakan oleh salah seolah menteri ‘Internet cepat buat apa?’, googling tentang cagub adalah hal yang lumayan jadi ‘pe-er’.

Sebelumnya ketika bersanding dengan Jokowi saja, banyak pihak  yang sudah mempersoalkan ras dan agamanya. Tapi kali ini sentimen primordial kita akan benar-benar diuji. Sebagai negara demokrasi mestinya kita memberi kesempatan sama pada semua lapisan masyarakat termasuk golongan minoritas

Ahok, mantan Bupati Belitung

Ahok, mantan Bupati Belitung via www.suara.com

Kemunculan Ahok dalam kancah perpolitikan dan keberhasilannya menduduki tampuk kekuasaan, menunjukkan bahwa di Indonesia tidak hanya ada orang-orang itu saja. Sebagai Negara Kepulauan yang dihuni oleh ratusan suku bangsa, baik asli ataupun pendatang, sosok Ahok adalah sebuah perayaan kaum minoritas. Namun tentu politik dan pemilihan pemimpin negara tak bisa disempitkankan dari perkara mayoritas atau minoritas semata. Adalah kualitas, yang harus kita jadikan ‘pe-er’ bersama.

Ahok terlahir di Desa Gantung Belitung Timur, tempat Laskar Pelangi memulai mimpi-mimpinya. Meskipun mengantongi ijazah Sarjana Teknik Geologi dari Universitas Trisakti, Ahok sepertinya terlahir sebagai pengusaha. Berkali-kali merantau ke Jakarta, berkali-kali pula beliau memutuskan pulang untuk membangun kampung halamannya dengan membangun perusahaan yang memberikan lapangan kerja. Karir politik Ahok juga tidak bisa dihitung dengan jari. Dilatarbelakangi rasa frustrasinya terhadap birokrasi yang korup, Ahok memutuskan untuk terjun ke politik pada tahun 2003. Mulai dari menjadi anggota DPRD Belitung Timur, Bupati Belitung Timur, calon Gubernur Provinsi Bangka Belitung, anggota komisi II di DPR, dan akhirnya menjadi cawabub DKI Jakarta sudah pernah dicoba semua.

Itu semua bisa menjadi nilai plus, sebab banyaknya jam terbang menunjukkan bahwa Ahok bukan sosok baru di bidangnya. Namun kita juga bisa membuka mata terhadap paham realistis yang seringnya menang tanpa diganggu-gugat. Di tengah masyarakat yang masih sulit membedakan politik dengan kepentingan pribadi, kemungkinan Ahok untuk berhasil kali ini barangkali menuai banyak sangsi. Sebab empat tahun yang lalu, Ahok menaiki posisi pemimpin DKI bersama-sama Pak Jokowi. Dan posisinya saat ini sebagai Gubernur Jakarta juga merupakan warisan, sebab sang tokoh utama meninggalkan ruangan untuk tugas yang lebih besar.

Ketegasannya berani menertibkan dan mengeksekusi program-program yang tertunda di Jakarta mengundang banyak dukungan. Tapi sifat tegas yang terkadang tampak menghiraukan sopan santun atau bahkan peri kemanusiaan itu, banyak juga dikritik sebagai kelewat batas

Ahok terkenal emosian

Ahok terkenal emosian via www.sayangi.com

Untuk memimpin sebuah masyarakat yang begitu beragam, sosok pemimpin tegas sangat diperlukan. Dengan begitu penerapan setiap peraturan bisa dilakukan secara merata, tanpa ada yang tertinggal atau di anak tirikan. Sehingga tidak ada lagi aturan dilanggar, lalu bersembunyi di balik koneksi. Tidak ada lagi keinginan melanggar peraturan, hanya karena ada kesempatan. Tidak ada lagi hukum-hukum karet, yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Kelonggaran-kelonggaran yang hanya menguntungkan pihak tertentu, sekaligus mengencet pihak lainnya harus segera diberantas.

Sejak awal kemunculannya sebagai wakil Pak Jokowi, sosok Ahok sudah menyita banyak perhatian. Banyaknya pegawai negeri yang dipecat, atau terancam dipecat karena lalai pada kewajibannya menjadi bukti bahwa Ahok sosok yang punya sisi tegas yang tak perlu diragukan. Kepala sekolah tak hadir saat hari pertama ujian nasional, pecat. PNS molor libur hari raya dan tak hadir saat apel pagi, surat peringatan. PNS terbukti terima suap meskipun cuma satu juga, pecat. Sampai akhir 2015, tercatat kurang lebih sudah ada 120 PNS yang dirumahkan dan 2500 pejabat DKI yang distafkan . Ya, terlepas dari tepat atau tidaknya pemecatan yang masih harus dipertanyakan tersebut, setidaknya dari segi ketegasan, Pak Ahok sudah menang banyak.

Tegas dan tidak basa-basi memang sifat kepemimpinan yang bisa efektif memperlihatkan hasil. Tapi sebagai pelayan publik, citra mengayomi dan akomodatif juga penting. Jika tidak mulai ‘menghaluskan’ sifatnya, mereka yang lebih suka pemimpinnya tidak berkata kasar pasti akan lari ke calon lain.

Lupa reputasi

Lupa reputasi via news.liputan6.com

Nampaknya politik tidak bisa dilepaskan dari soal pencitraan. Stasiun TV adalah salah satu media yang merekam begitu banyak pencitraan. Mulai iklan-iklan parpol yang menggambarkan hidup yang begitu damai dan indah, sampai berita-berita si ini blusukan ke sana dan si itu blusukan ke sini. Bermanis-manis pada media adalah cara untuk merebut hati rakyat kecil, rakyat yang begitu lelah pada dunia nyata yang kurang berpihak, yang membutuhkan satu penghiburan serta janji untuk lebih dipikirkan kesejahteraannya.

Soal pencitraan ini jangan ditanya. Jangankan bermanis-manis mengumbar janji yang menghibur rakyat kecil, kata-kata kasar seperti ‘nenek lu!’, ‘goblok’, ‘bajingan’, ‘brengsek’ sering terlontar secara sengaja atau tak sengaja di hadapan media. Kasar, memang. Tak heran bahwa akhirnya pejabat satu ini punya begitu banyak musuh yang membenci. Bapak Gubernur ini seolah lupa bahwa menjadi politisi perlu juga menjaga citra diri.

Bagaimana pun pribadi seseorang tentu menjadi poin penting untuk meraih dukungan. Namun dia yang pandai bermanis kata di depan kamera juga belum tentu benar-benar memberikan apa yang kita minta. Jadi ada baiknya, kita benar-benar menelisik jauh ke dalam, untuk menemukan sosok yang benar-benar konsisten dengan apa yang dia janjikan. Sehingga kelak, setelah beberapa lama waktu jabatan berjalan, tidak ada rasa sesal karena menaruh kepercayaan kepada orang yang salah.

Bahkan ketika kedua calon lain mulai beramah tamah dengan masyarakat untuk menaikkan elektabilitasnya, tokoh satu ini tetap kukuh menggusur warganya. Totalitas menjalankan programnya memang penting, tapi kalau itu berarti warga makin tidak simpatik, bisa-bisa elektabilitasnya terus merosot

Kita tunggu strategi kampanyenya

Kita tunggu strategi kampanyenya via elshinta.com

Kampanye adalah agenda wajib setiap event pencalonan diri. Tapi kampanye yang dimaksud sekadar memasang baliho ukuran extra-extra-large di pinggir jalan, menggelar konser dangdut dengan penyanyi-penyanyi seksi yang katanya itu hiburan untuk rakyat kecil, tentu bukanlah sarana yang tepat untuk mengenali calon terpilih. Kampanye yang seharusnya menjadi rangkaian masa pertarungan para calon untuk menunjukkan kualitas diri, dengan mudah berubah menjadi masa pendekatan calon dengan warga dengan perantara amplop-amplop uang atau karung-karung sembako. Di masa inilah money-politic mengambil alih posisi demokrasi.

Soal kampanye ini agaknya juga ada yang belum bisa dipahami. Sementara calon-calon lain mulai bergerak menggalang simpati dan dukungan, Ahok justru masih sibuk melakukan penggusuran di wilayah Jakarta selatan. Ya meskipun belum masuk masa kampanye resmi, namun mulai hari ketika namanya diumumkan oleh KPU, setiap gerak-gerik calon-calon ini akan mendapat spot khusus dari masyarakat.

Nah, sambil kita bertanya-tanya mengapa penggusuran atas nama pengembalian lahan hijau Jakarta hanya mengenai pemukiman rakyat kecil saja sementara mall-mall masih tegak berdiri, kita juga boleh bertanya-tanya apakah Pak Ahok dan tim memang sudah merencanakan strategi kampanye lain yang unik, aneh, dan tidak umum, sehingga berani melakukan penggusuran di detik-detik terakhir masa jabatan. Hipwee kurang tahu, jadi sebaiknya kita tunggu saja dengan penasaran.

Tersohor sebagai tokoh revolusioner yang bisa berdiri sendiri dan tidak takut akan pengaruh partai politik, manuver politiknya untuk menerima uluran tangan partai akan jadi tantangan besar bagi kredibilitasnya ke depan

Akhirnya berlabuh pada parpol

Akhirnya berlabuh pada parpol via www.arah.com

Beberapa waktu yang lalu ketika Ahok menyatakan bahwa akan maju melalui jalur independen, alias tidak pakai parpol, masyarakat bersorak. Keputusannya seperti angin segar, bagi pengapnya udara di dunia perpolitikan. Tentu saja ini wajar. Sebab setiap harinya televisi menayangkan pejabat ini dari partai ini terbukti melakukan korupsi, pejabat itu dari partai itu, terbukti terima suap. Wakil rakyat yang seharusnya menjadi jubir kepentingan rakyat, justru asyik menikmati kekuasaanya sendiri. Rakyat lelah karena merasa ditipu dan suaranya disalah gunakan. Hal inilah yang menimbulkan tingginya sikap apatis terhadap hal-hal yang berbau politik.

Ngapain mikirin politik? Toh siapapun yang maju juga hidup kita begini-begini aja. Ujung-ujungnya korupsi lagi korupsi lagi!

Karenanya kita menyambut dengan gembira ketika ada calon yang berencana berdiri sendiri, tanpa sokongan partai politik. Namun angin segar itu nyatanya hanya sebentar. Memang benar, keputusan Ahok untuk melalui jalur parpol mengecewakan banyak orang. Barangkali rasanya mirip-mirip dengan di-PHP-in, pernah diajak nikah tapi akhirnya dia malah nikah dengan orang lain. Hehe. Namun apapun keputusan Pak Ahok, sebaiknya kita hormati saja. Barangkali bekingan parpol memang penting bagi politisi, meski bagi orang awam seperti kita adalah hal yang sebisa mungkin dihindari. Kini ketiga calon berangkat dari start yang sama, yakni parpol. Tinggal kita yang harus memutar otak, selektif memilih dan memilah, agar bisa menentukan siapa yang paling layak.

Pilgub DKI memang selalu berhasil memancing hiruk pikuk di seluruh Indonesia, termasuk di kalangan orang yang tak punya KTP Jakarta. Ya mau bagaimana lagi? Jakarta adalah lokasi yang begitu dikhususkan, posisi penguasanya adalah yang paling dekat dengan penguasan Negara.

Wajarlah bila pemilu disebut sebagai pesta demokrasi. Sebab seharusnya momen ini menjadi momen perayaan kita sebagai warga Negara untuk memilih sendiri siapa pemimpinnya. Tidak disangkal bahwa demokrasi seringnya hanya sekadar istilah di atas kertas yang digembar-gemborkan mahasiswa dan akademisi. Pada dunia nyata, praktik-praktik curang sering dianggap ‘wajar’ dan terlanjur paten sebagai salah satu ciri politik yang dipahami orang awam. Tentu saja politik bukan itu. Dan kita sebagai anak muda, punya tanggung jawab untuk mengubahnya.

Suka artikel ini? Yuk follow Hipwee di mig.me !

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi