Rasanya Quarter Life Crisis Kedua Menjelang Usia 30-an. Padahal Kata Orang Harusnya Itu Usia Matang

Quarer Life Crisis

Quarter life crisis bukanlah hal yang baru saja saya pahami. Saya sudah mengalaminya dahulu di pertengahan usia 20-an. Seperti kata orang-orang, di momen itu semua yang saya jalani akan terasa salah. Mendadak saya gamang menentukan langkah. Tapi saya sudah melalui hari-hari itu, dan saya pikir semuanya akan baik-baik saja.

Advertisement

Ternyata saya salah. Momen-momen gamang itu kembali saya alami, ironisnya, di usia menjelang 30-an. Memang sih, quarter life crisis bisa terjadi di rentang usia 18-35 tahun. Namun, saya pikir saya sudah menuntaskannya dulu. Saya pikir, di usia ini seharusnya saya sudah matang, finansial lebih stabil, dan karier pun sudah berkembang. Nyatanya, menjelang usia 30-an yang seharusnya jadi usia matang dan “tinggal melanjutkan”, ternyata justru saya lalui dengan kebingungan

Saat teman-teman sudah melangkah mantap dan berjabatan tinggi, mendadak saya gamang dengan karier yang saya miliki

mendadak gamang (photo by Burst) via www.pexels.com

Saya mengerti bahwa segalanya perlu proses. Termasuk soal karier. Harapan saya tidak semuluk-muluk langsung menduduki posisi tinggi sejak awal-awal bekerja. Saya tahu bahwa saya harus berlajar dari nol, meski saya bekerja di bidang yang sesuai. Sebab, apa yang terjadi di dunia nyata terkadang berbeda dengan di buku materi.

Advertisement

Namun, dalam pikiran saya, di usia 30-an, saya sudah mantap dengan karier yang saya tekuni. Saya tinggal bergerak maju, menaikkan jenjang karier sedikit demi sedikit. Sayangnya, sekarang saya tidak merasa demikian. Saya justru mulai meragukan pilihan karier yang sudah saya tentukan di awal.

Semestinya usia 30-an keuangan lebih stabil dan sudah bisa saving, nyatanya jumlah tabungan membuat hati berdesir-desir khawatir

Advertisement

tabungan bikin ketar-ketir (Photo by Lukas) via www.pexels.com

Perkara keuangan ini juga mengkhawatirkan. Dalam rencana kehidupan saya dulu, di usia 30-an, saya sudah bisa memiliki penghasilan yang cukup tinggi. Sebab, semakin meningkatnya skill, seharusnya bargain point saya seharusnya semakin tinggi bukan? Tapi sudah sedemikian lama saya bekerja, ternyata saya masih begini-begini saja. Penghasilan standar, tabungan pun mengkhawatirkan. Padahal saya tahu semakin dewasa, semakin banyak kebutuhan yang harus saya tanggungkan.

Saya semakin sering mengoreksi hidup saya sendiri, dan merasa ngeri saat pertanyaan itu menghampiri: Apa sih yang saya jalani selama ini?

semakin berpikir semakin takut (photo by Elle Hudges) via www.pexels.com

Semakin hari, semakin banyak pertanyaan yang muncul di benak. Apakah saya sudah ada di tempat yang tepat? Apakah yang saya lakukan selama ini cukup berarti? Atau sebenarnya yang saya lakukan bertahun-tahun ini tidak punya fungsi? Kecemasan saya semakin besar. Ketika datang hal-hal yang tidak sesuai ekspektasi, saya semakin rajin menyalahkan diri sendiri. Apa keputusan yang saya ambil dulu, keliru sehingga seluruh hidup yang saya jalani ini, juga keliru?

Keinginan untuk berganti jalur semakin besar. Sayangnya, nyali saya menciut, saya takut gegabah dan mengambil keputusan yang salah

Takut mengambil keputusan (Photo by Juan Pablo) via www.pexels.com

Sebenarnya kegamangan ini nggak benar-benar buta. Ketika apa yang saya jalani sehari-hari mendadak begitu membosankan, ada hal lain yang mendadak menarik dan ingin saya coba. Seiring kemuakan dengan pekerjaan yang sekarang semakin besar, keinginan untuk mencoba hal baru itu juga semakin besar.

Namun, semakin saya pikirkan, justru ragu yang datang. Apakah saya tidak terlalu terlambat untuk memulai sesuatu yang baru? Apakah saya bisa belajar dan beradaptasi dengan bidang yang berbeda?  Hal ini menyebalkan, karena saya menyadari bahwa ada yang berbeda dengan nyali saya. Kenapa sekarang saya terlalu takut untuk mencoba yang berbeda?

Namun, saya mengerti bahwa konflik dan krisis memang tak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Keputusan saya dulu tak keliru, inilah proses yang harus saya jalani

krisis memang bagian dari hidup (photo by Mael Balland) via www.pexels.com

Kegamangan yang terjadi memang sempat membuat saya berkecil hati dan ketakutan. Saya iri dengan teman-teman yang sudah mantap melangkah dan melanjutkan apa yang sudah diputuskan. Saya juga iri dengan segala kematangan dan kondisi yang stabil dan menyenangkan.

Namun, kemudian saya sadar bahwa apa yang saya lihat itu hanyalah “nampak luar”. Saya yakin setiap orang memiliki persoalan dan kegamangan yang berbeda. Pun, bukankah hidup ini memang sekumpulan konflik yang perlu sebuah keputusan? Hanya kebetulan saja, konflik yang saya alami adalah kegamangan soal karier di usia yang seharusnya sudah punya pendirian.

Saya belajar memilah apakah kegamangan saya memang karena ada yang salah, atau sekadar jenuh yang berlarut-larut hingga membuat jengah

memilah bosan atau memang salah (Photo by MIguel Costantine) via www.pexels.com

Menghadapi konflik yang berulang memang bagai pisau bermata dua. Satu sisi, saya merasa familier sebab saya sudah pernah mengalaminya dan, paling tidak, tahu bagaimana cara menghadapinya. Namun di sisi lain, saya menyadari bahwa nggak ada konflik yang benar-benar sama.

Meskipun konfliknya sama, situasi dan kondisi mengharuskan saya memakai cara yang berbeda untuk menghadapi konflik yang sama. Kini, ketika kegamangan soal karier saya alami menjelang 30-an, saya belajar juga untuk memilah apakah kegamangan yang saya alami memang karena saya berada di tempat yang salah, atau hanya sekadar efek dari bosan dan jenuh yang melanda.

Lambatnya saya mengambil keputusan bukan karena kini saya menjadi pengecut. Melainkan kedewasaan memaksa saya untuk memakai banyak pertimbangan

krisis ini tak mungkin sia-sia (Photo by Huang Chuong) via www.pexels.com

Kesadaran akan perbedaan situasi dan kondisi ini membuat saya menginsyafi hal yang lainnya. Keragu-raguan saya dalam mengambil keputusan, bukan karena nyali saya semakin ciut. Namun, kedewasaan memaksa saya untuk tidak gegabah dan mempertimbangkan banyak hal sebelum mengambil keputusan. Saya bukannya pengecut, melainkan hanya lebih hati-hati. Sebab, apa pun akhirnya dan apa pun persoalannya, tidak ada orang yang ingin mengambil pilihan yang salah ‘kan?

Mungkin ini bukan hal yang benar-benar besar untuk orang lain. Tapi bagi saya, menghadapi quarter life crisis menjelang usia 30-an seperti shock therapy. Sesaat, saya gamang dan kebingungan bagaimana menyikapinya. Saya jadi semakin sering berpikir, galau, dan kadang menangis ketika tak kunjung bisa mengurai benang kusut yang ada di pikiran.

Namun, saya yakin konflik ini tidak akan berlalu sia-sia. Semua kekacauan ini bukan berarti keputusan yang saya ambil dulu itu keliru. Melainkan sebuah proses yang memang perlu saya jalani untuk bisa membuat hidup saya lebih baik dari ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta harapan palsu, yang berharap bisa ketemu kamu.

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

CLOSE