Rasanya Jadi Orang yang Lebih Nyaman Memendam Masalah Sendirian, Padahal Punya Banyak Teman

Lebih nyaman memendam masalah

Lulus cepat tapi tak kunjung mendapat pekerjaan, tak mampu membayar tagihan karena besar pasak daripada tiang, atau masalah sepele seperti tak bisa pulang karena terjebak hujan. Setiap orang pasti memiliki masalahnya masing-masing. Pun dengan cara memecahkan masalah tersebut agar bisa “naik kelas” dan menapaki level hidup yang baru. Ada yang harus dibantu orang lain, ada pula yang lebih nyaman memendam masalahnya sendirian. Seperti yang sekarang kamu alami. Kamu lebih sering menyendiri lalu memikirkan masalah-masalahmu tanpa ingin ada orang lain yang membantu.

Bukan, kamu bukannya tak punya teman. Jumlah temanmu bahkan sudah tak bisa dihitung dengan jari saking banyaknya. Namun lagi-lagi, kamu hanya merasa lebih nyaman saat masalahmu ini hanya kamu yang merasakan sekaligus mencari jalan keluarnya. Untukmu yang lebih nyaman memendam masalah seorang diri, hal-hal ini pasti udah sering kamu akrabi. Tenang, kamu tak sendiri. Pasti ada banyak orang yang diam-diam bertarung seorang diri sepertimu ini.

1. Bagimu setiap masalah adalah privasi. Tak perlu diceritakan ke orang lain meski kadang rasanya berat sekali

Karena masalah adalah privasi via www.unsplash.com

Bagimu hal-hal yang termasuk privasi bukan sekadar nominal gaji, seberapa banyak mantan yang pernah kamu pacari, sampai jumlah tagihan yang harus kamu bayar tiap bulannya. Namun masalah-masalah dalam hidup juga termasuk privasi bagimu. Karena termasuk dalam hal privasi, kamu selalu menutup rapat-rapat setiap masalah yang kamu alami. Mengumbarnya pun sama sekali tak pernah terlintas dalam benakmu. Meski terkadang bahumu sudah goyah karena masalah yang kamu emban ini terasa berat sekali.

2. Kamu jadi berteman dengan kalimat ‘nggak apa-apa kok’. Padahal aslinya hati dan pikiran bekerja keras menyelesaikan masalah

Nggak apa-apa kok~ via unsplash.com

Kamu kenapa sih?

Nggak kok, aku nggak apa-apa.

Menjadi seseorang yang memendam masalahnya sendiri buatmu akrab dengan “aku nggak apa-apa kok.” Mengembangkan senyum palsu pun lebih mudah dilakukan daripada mengatakan apa yang sebenarnya terjadi. Sebisa mungkin kamu berusaha untuk terlihat baik-baik saja. Padahal jauh di dalam lubuk hati dan pikiranmu, kamu sedang berjuang keras untuk menyelesaikan masalahmu itu.

3. Ada rasa segan dan takut menyusahkan orang lain saat ingin berbagi masalah ini. Makanya kamu memilih menyimpannya sendiri

Takut nyusahin orang lain~ via www.unsplash.com

Lebih nyaman memendam masalah seperti ini bisa disebabkan karena sifat nggak enakanmu. Ketika ingin berbagi masalahmu dengan orang lain, kamu selalu berpikir takut kalau nanti kmu akan menyusahkan orang lain. Dari sanalah rasa segan pelan-pelan muncul dan menjadikan tembok untuk berbagi masalahmu. Rasa takutmu akan menyusahkan orang lain kemudian buatmu pelan-pelan menutup diri dan memilih untuk memendam masalahmu sendiri.

4. Dianggap tak setia kawan dan anti sosial pun terpaksa kamu terima. Daripada masalahnya tambah runyam karena kebanyakan pendapat lebih baik diselesaikan sendiri saja

Ah, nggak setia kawan nih via www.unsplash.com

Cerita aja lagi. Namana berteman kan susah senang harus bareng-bareng!

Sering kali kamu mendengarkan kalimat tersebut keluar dari teman-temanmu. Mereka kerap sedikit memaksamu untuk bercerita. Demi tali pertemanan agar tetap terjaga katanya. Namun sekalinya kamu berbagi dengan mereka, masalahmu bukannya cepat selesai tapi malah semakin runyam. Terlalu banyaknya pendapat yang ada buatmu jadi tak fokus dalam mengambil keputusan. Hal inilah yang buatmu kapok untuk ‘terbuka’ dengan teman-temanmu. Sampai akhirnya kamu harus terima dianggap sebagai teman yang tak setia kawan sampai anti sosial dalam lingkaran pertengkaran.

5. Bagimu memendam dan menyelesaikan sendiri masalah jauh buatmu lega. Berbeda jika ada orang lain yang turut mencampuri

Jauh lebih lega~ via www.unsplash.com

Memendam dan menyelesaikan masalah sendiri berarti kamu punya kuasa penuh untuk menentukan keputusan. Kelegaan pun akan kamu rasakan ketika keputusan yang diambil memang benar. Kalaupun keputusan yang diambil kurang tepat, kamu tak akan terlalu kecewa. Toh sejak awal kamu udah paham benar dengan risikonya. Inilah yang menyebabkan kamu jarang sekali melibatkan orang luar ketika tengah ada masalah. Kamu takut akan kecewa dua kali dan tak merasa lega saat orang lain turut urun pendapat tentang masalahmu.

6. Namun ada kalanya kepala rasanya ingin pecah. Sebab tak mampu lagi bertahan seorang diri menghadapi masalah ini

Kadang nggak kuat juga, tapi ya gimana… via www.unsplash.com

Memendam masalah sendiri memang cara ternyaman untukmu saat ini. Namun tak jarang kamu tertatih ketika masalah yang kamu hadapi memang di luar kuasamu. Rasanya ingin menangis. Pikiran pun tak karuan dan kepala serasa ingin pecah saking beratnya masalah. Saat kamu terjebak dalam fase ini, tanda bahwa sudah saatnya kamu membuka pintu hatimu untuk orang lain. Sudah saatnya kamu terbuka sebab jika terus menerus dibiarkan, kamu justru akan berada di ujung depresi. Sebuah jurnal penelitian bahkan menyebutkan jika terus menerus dipendam, masalah tersebut bukannya malah mereda tapi justru makin membebani pikiran dan berakhir memperburuk keadaan.

Meski kamu nyaman memendam sendiri, ada kalanya kamu butuh terbuka dengan orang lain. Jika berkata langsung terlalu segan, kamu bisa menuliskannya. Agar beban pikiranmu pelan-pelan tersalurkan dan terhindar dari depresi.

Kalau memang tak kuat menahan sendiri, carilah penopang biar tak  goyah. Sebab masalah kadang hanya butuh disiasati, bukan terus dipendam sendiri.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Not that millennial in digital era.

Editor

Not that millennial in digital era.