7 Pikiran “Seram” Ini Justru Tanda Kedewasaan. Kamu Sedang Berproses Menjadi Lebih Bijaksana

Tanda-Tanda Kedewasaan

Aku sudah cukup dewasa belum sih?

Advertisement

Bicara soal kedewasaan tentu tidak sesederhana membicarakan umur. Sebab, banyak orang berumur yang bersikap kekanak-kanakan. Sebaliknya, banyak yang usianya masih muda, namun sangat dewasa dalam menghadapi persoalan. Perkara dewasa, harus dilihat dari cara memandang sebuah persoalan, cara mempertimbangkan keputusan, serta mengambil reaksi atas sebuah aksi yang terjadi.

Yang jelas, kedewasaan terlihat dari sikap tidak lagi menggampangkan segala sesuatu. Bukan bermaksud sengaja membuat rumit, namun menjadi dewasa terkadang membuat deretan pertimbangan semakin banyak. Pertimbangan itu kadang seram, dan membuatmu terlihat “nggak umum” di mata orang. Misalkan beberapa pikiran ini, jika kamu sempat memikirkannya, barangkali kamu sudah berproses jadi dewasa dan lebih bijaksana.

1. “Pacaran itu sama kayak investasi. Ada risikonya, dan nggak ada orang yang mau berinvestasi jika risikonya terlalu besar.”

pacaran adalah investasi via pixabay.com

Ini bukan soal semata itung-itungan secara finansial. Namun, saat menjalin hubungan kita mencurahkan banyak hal. Mulai dari waktu, pikiran, perasaan, dan tentu saja biaya. Jadi tak berlebihan bila menganggap sebuah hubungan sebagai investasi atas masa depan. Karena sama-sama harus memikirkan untung-rugi dan risiko-risikonya. Jika memang risikonya terlalu besar, sebaiknya disudahi dan tak perlu dipaksakan dengan semangat gambling, bukan?

Advertisement

2. “Emangnya jodoh itu benar-benar ada? Kalaupun ada tapi dia memutuskan untuk melajang selamanya terus gimana?”

jodoh itu ada nggak sih? via pixabay.com

Saat kamu mulai dewasa, mungkin kamu akan mulai berpikir apakah konsep jodoh itu memang ada? Seringkali kita dicekoki dengan pepatah “jodoh nggak akan ke mana”. Bukannya salah, namun sering kita memaknainya secara mentah-mentah. Bahwa kalau memang jodoh, tak perlu ngoyo, tak perlu perjuangan, dan semua jalan akan dimuluskan. Tapi bagaimana bila seseorang yang diciptakan untukmu memutuskan untuk hidup selibat selamanya?

3. “Dari dulu sampai sekarang kayaknya hidupku nggak berubah-berubah. Apa jangan-jangan salah?”

adakah yang salah dengan hidupku? via pixabay.com

Dulu kamu terbiasa “let it flow”, tak mau terlalu ngoyo mengejar sesuatu. Dapat ya syukur, nggak ya udah. Tak ada yang salah dengan prinsip ini, karena kamu sudah membentengi diri dengan sikap realistis. Namun, di usia dewasa, kamu mulai mengevaluasi dirimu sendiri. Mencoba mereview apa saja yang sudah kamu lakukan dan apa yang kamu dapatkan. Bukannya nggak bersyukur, kamu hanya sedang mengoreksi diri sendiri untuk menjadi lebih baik lagi.

4. “Ya berdoa terus kalau nggak usaha, apa gunanya? Uang kan nggak turun dari langit!”

berdoa harus dibarengi usaha via pixabay.com

Dulu kamu biasa diberi tahu untuk “Berdoa aja. Serahkan semua kepada Tuhan yang Maha Esa”. Sekarang kamu mulai bertanya-tanya, berdoa doang kalau nggak usaha apa gunanya? Bukannya kamu sedang meragukan kuasa Tuhan. Kamu hanya hanya berpikir bahwa mengimbangi doa, manusia perlu berusaha sekeras-kerasnya. Yang penting usaha dulu, perkara hasilnya bagaimana, baru berserah dalam doa. Toh, nggak ada kesuksesan atau keberhasilan yang datang begitu saja saat kamu sedang asyik-asyiknya bermalas-malasan.

Advertisement

5. “Kerja keras bagai kuda, lembur tiap hari, tapi nggak kaya-kaya. Sebenarnya aku lagi ngapain sih?”

bersyukur tapi tetap realistis via pixabay.com

Bukannya kamu nggak bersyukur kok. Kamu juga tahu bahwa kamu beruntung karena di luar sana banyak orang yang berebut pekerjaan. Kamu hanya sedang berusaha menghargai diri sendiri. Apa kinerjamu selama ini belum maksimal, sehingga kamu dianggap tidak berhak memiliki pendapatan yang lebih besar? Atau memang tempatmu bekerja kurang bisa menghargai jerih payah karyawannya? Toh kamu harus realistis. Kebutuhan semakin besar, dan dirimu sendiri pun perlu disayangi.

6. “Apa nggak seharusnya pernikahan itu seperti simbiosis mutualisme? Saling menguntungkan kedua belah pihak.”

pernikahan via pixabay.com

Dulu, kamu akan berpikir “Ah, hubungan macam apa itu kok perhitungan? Pasti bukan cinta sejati!”. Lantas kamu menganggap pengorbanan untuk cinta adalah hal yang wajib dilakukan. Cinta memang butuh pengorbanan dan kompromi untuk tetap bisa jalan beriringan. Namun, kalau terus-terusan kamu yang berkorban, masa iya harus dipertahankan? Semakin dewasa, kamu tahu bahwa sebuah hubungan harus berjalan dua arah sehingga kedua belah pihak bisa berkembang. Tak melulu satu orang selalu mengalah sementara yang lain semena-mena.

7. “Aku nggak harus mikirin semua orang. Ngapain juga? Belum tentu mereka mikirin aku.”

berhenti memikirkan orang via pixabay.com

Sekilas terdengar nggak humanis ya? Namun, ini justru tanda kamu mulai bersikap dewasa dengan melepaskan apa yang kamu tak bisa. Toh, sampai kapan pun kamu tak akan bisa menenangkan setiap orang. Tak selamanya, keputusanmu bisa mengakomodasi kepentingan semua orang. Dan tak selamanya, kamu harus terus meletakkan orang lain di atas dirimu sendiri. Hey, dirimu juga layak dihargai dan didengarkan lo. Membantu orang lain itu sikap yang terpuji. Tapi cukup lakukan sebisamu, sebab kuasamu tak sebesar itu.

Yah, bagaimanapun, dunia dan isi pikiran orang dewasa memang “seram”. Sebab semua hal tak lagi jadi gampang karena saking banyaknya pertimbangan. Pastinya, setiap orang ingin yang mendapatkan dan melakukan yang terbaik, bukan? Jadi, bila pikiran-pikiran kritis itu sudah muncul di benakmu, selamat! Kamu sedang berproses menuju dewasa!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Pecinta harapan palsu, yang berharap bisa ketemu kamu.

Editor

Penikmat kopi dan aktivis imajinasi

CLOSE