Tentang Kamu dan Harapan-harapan yang Berhenti Saya Panjatkan

Kamu mengajari saya banyak hal. Karenamu saya pernah jadi hamba keras kepala yang bersujud lalu meneteskan air mata di ujung-ujung doa. Kamu pula yang membuat saya belajar menerima segala keputusanNya tanpa banyak bertanya. Di sisimu sekian lama menempa saya belajar untuk jadi pribadi yang percaya.

Tapi satu yang paling saya syukuri dari semuanya. Pertemuan denganmu membuat saya berhadapan langsung dengan kelapangan hati dan keberanian baru. Kamu, membuat saya tahu batas dalam meminta hal-hal besar pada Tuhan. Kamu, menempa saya jadi hamba yang tahu kapan doanya harus berhenti dipanjatkan.

Sejak bersamamu saya tidak lagi mudah menyalahkan Tuhan. Toh sesungguhnya kita punya hak untuk memutuskan lepas dari status pesakitan

Sesungguhnya kita punya daya untuk lepas dari status pesakitan

Sesungguhnya kita punya daya untuk lepas dari status pesakitan via www.expatads.com

Kamu sempat menyakiti saya habis-habisan. Di lentiknya jarimu pernah saya selipkan hati dalam jangka waktu panjang — kemudian dengan enteng saja kamu goyang kencang sampai ia merasa gamang. Kamu sempat membuat saya bertanya tentang kemampuan diri untuk mencukupi dia yang dicintai. Saya pernah merasa tak akan pernah cukup di matamu, pasti akan ada orang lain yang kamu gaet demi menutupi lubang itu.

Dalam bebeberapa saat saya sempat percaya bahwa ini jalan Tuhan. Ada keyakinan besar bahwa Tuhan pasti menempatkan saya di sini karena suatu alasan. Saya hanya punya pilihan untuk bersabar dan bertahan — dan hal itu kemudian saya lakukan.

Tapi memang tidak enak rasanya hidup sebagai pesakitan. Saya menangis hampir di setiap akhir malam. Tidak bisa lepas darimu membuat saya berusaha melebarkan batas sabar. Hanya untuk kembali merasa tertusuk tajam dari belakang. Kemudian saya sampai di satu titik, “Persetan!” saya yakin Tuhan tidak ingin saya meringkuk menahan sakit sepanjang malam. Meski masih bisa dijalani, kamu akhirnya saya tinggalkan. Dan buktinya hidup terus berjalan.

Kamu membuat saya sadar Tuhan tak hanya ingin menguji kesabaran. Ia pun berharap kita cukup bijak memilih arah yang harus diperjuangkan

Ia pasti berharap kita cukup bijak memilih arena berjuang

Ia pasti berharap kita cukup bijak memilih arena berjuang via www.axioo.com

Ijinkan saya sombong sedikit. Ujian kesabaran selama mendampingimu sudah berhasil menciptakan ruang lapang baru di ujung hati saya. Sekarang kamu bisa bebas melakukan apa saja di sana saking luasnya, bahkan kamu bisa membawa sepatu lalu bermain bola.

Ada hikmah besar dari pertemuan kita. Tiap pertemuan ternyata membentuk kita jadi pribadi yang lebih besar. Beberapa lama ada di sisimu membuat saya jadi pribadi yang lebih pasrah, lebih tenang, lebih sabar — namun juga dididik dalam waktu bersamaan untuk berani mengambil keputusan.

Tuhan bukan guru jaman dahulu kala yang ingin kita hanya mencatat apa yang ditulisNya ‘kan?

Tentu Ialah yang paling bijaksana dalam mengambil seluruh keputusan. Titah dan hal-hal yang ia gariskan memang pasti membawa pada kebaikan. Tapi bukan berarti kita hanya harus duduk diam lalu pasrah tanpa berjuang. Sebab Ia pun ingin kita mengerti bahwa kita cukup berharga untuk mengambil langkah yang paling membawa kemanfaatan.

Harapan tentangmu sudah berhenti saya panjatkan. Bukan, bukan karena tidak lagi percaya pada kemurahan Tuhan. Mencukupkan harapan, ternyata jadi bentuk lain dari sebuah kekuatan

Berhenti berharap justru jadi bentuk lain dari kekuatan

Berhenti berharap justru jadi bentuk lain dari kekuatan via www.anastasiosfilopoulos.com

Mudah saja untuk terus berharap. Lebih enteng pula rasanya jika kita terus-terusan meminta Ia memutuskan apa yang menurutNya terbaik bagi kita. Tapi seperti sudah kubilang sebelumnya, kamu dan seluruh perilakumu membuka mata bahwa kita bisa turut ambil bagian dalam menentukan nasib sebagai manusia.

Kamu adalah harapan yang berhenti saya panjatkan. Kamu adalah doa yang saya akhiri rapalnya sebelum mendapatkan jawaban. Dan untuk itu, tidak ada penyesalan.

Dari kamu saya mengerti bahwa mencukupkan harapan sebenarnya justru jauh dari rasa tidak percaya Tuhan. Mencukupkan harapan malah jadi bukti bahwa kita telah cukup bijak mendengar suara hati sendiri. Telah tertempa sebagai hamba yang mengerti apa yang paling baik untuk dijalani. Belajar berpasrah padaNya, namun juga tak melulu menyalahkanNya jika ada sesuatu yang tak pas di hati.

Sebab itu saya memilih pergi. Mencukupkan harapan atasmu yang menyakiti selama ini. Dan saya pun yakin,Dia pasti tersenyum atas keputusan ini.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penikmat puisi dan penggemar bakwan kawi yang rasanya cuma kanji.