Babak Baru Sinta #3 – The Power Of Kepepet

The Power Of Kepepet

Menelisik tahun-tahun ke belakang, rasanya seperti mimpi bisa sampai di titik ini. Hapeku sampai jatuh terpelanting saking girangnya melihat pengumuman SBMPTN itu. Akhirnya aku diterima di kampus negeri favorit. Tak sabar kulangkahkan kaki ini tanah Jogja —kota yang katanya selalu istimewa itu. Namun sayang, keberangkatanku ke perantauan mesti ditunda. Bayangan-bayangan indah tentang perkuliahan menjadi suram semenjak Covid-19 menyerang.

Advertisement

Namaku Sinta Dewi, inilah ceritaku menjadi mahasiswa baru di masa pandemi..

—–

“Siiiiiiin, jangan main hape terus”
“Iya Bu, sebentar”

Advertisement

Menyebalkan sekali ibuku. Setiap kali melihatku tiduran di kamar menghadap laptop, aku direcoki terus. Dipikirnya aku sedang bersantai. Belakangan ini aku memang sedang menamatkan It’s Okay to Not Be Okay, tapi kali ini rebahku bukan untuk menonton kegantengan Kim Soo-hyun.

Kekesalan itu terhenti sejurus aroma gurih masakan masuk ke dalam indera penciumanku. Kulihat segerombolan lele goreng telah meringkuk matang di piring. Seperti memanggil-manggil untuk segera kusantap. Mulutku seketika pengen mengunyah sesuatu. “Plaaaaak”, belum sempat tanganku menyentuh daging lele itu sudah terhadang duluan.

Advertisement

“Sana ambil cobek,” ibu dengan nada ketus
“Tapi Bu, aku kan lagi..”
“Mbok jangan mbantah to… cuma disuruh bikin sambel doang kok”

Ingin rasanya aku menolak, tapi aku tak berani, juga tak tega. Ibu bekerja dari pagi sampai sore, malamnya masih harus menyiapkan makan malam. Dia yang seharusnya protes, bukan aku. Pelan-pelan kucoba melenyapkan kekesalan itu bersama cabai dan bawang yang tergilas ulekan.

—–

Satu tugas rumah selesai. Sekarang giliran tugas kampus. Ya, rebahku tadi adalah sebuah usahaku untuk menyelesaikan esai Pak Hasan. Tugas yang sejatinya sudah seminggu. Selalu kutunda lantaran tak mengerti dengan tugasnya. Apa itu esai? Dan apa kaitannya pernyataan Jubir Penanganan Covid dengan teori komunikasi massa? Saat ayah, ibu, Riski, dan Panjul makan malam, aku mengasingkan diri ke kamar.

Setengah jam berlalu. Hanya tiga kalimat yang berhasil kususun. Kupandangi langit-langit kamar yang penuh dengan sarang laba-laba. Kubuka lagi file presentasi Pak Hasan yang kudapat dari Rani, teman kelasku. Kuingat kembali penjelasan darinya. Aku tetap tak mengerti.

“Dasar nggak tahu diri! Sudah dinikahi malah jahatin suami!” suara ibu terdengar dari ruang tengah.
“Buuuuu, jangan berisik! Aku lagi nugas nih”
“Iya, iya, Maaf”

Kurang tiga jam lagi tenggat waktu pengiriman. Kutarik napas daalam-dalam. “Jangan panik.. jangan panik…”

—–

“Maaf ganggu, Bim. Aku beneran nggak ngerti nih sama esai nih”

Bodohnya aku menunda-nunda pekerjaan. Kalau bukan karena kemalasanku aku nggak akan datang ke rumah orang malam-malam. Untungnya Bimo masih bangun. Meski dari gelagatnya Bimo sudah mulai mengantuk tapi merepoti Bimo satu-satunya pilihan.

Aku menceritakan kepada Bimo mengenai tugasku. Karena ini esai, aku sampaikan opiniku mengenai beberapa pernyataan Jubir Covid-19 tiga bulan terakhir. Tak lupa kusampaikan pula kebingunganku untuk menghubungkannya dengan teori komunikasi masa dari materi yang diberikan Pak Hasan. Bimo mengangguk-angguk.

“Kayak gini nggak sih, Bim”
“Kamu kebanyakan mikir jelek, Sin. Udah tulis aja,” jawabnya sembari main PUBG untuk mengurangi kantuknya

Kata berubah jadi kalimat. Kalimat beranjak jadi paragraf. Tak terasa aku sudah dapat dua paragraf. Heran. Di rumah sendiri susah sekali menulis, giliran di rumah orang lain malah lancar.

“Opiniku yang ini aneh nggak, Bim?”
“Haaashh, tulis aja dulu”

Sambil menulis, aku memperhatikan gelagat Bimo. Sepertinya dia masih kesal atas kedatanganku. Dari raut wajah dan caranya menimpaliku terlihat sekali kalau dia sebenarnya malas denganku. Dari tadi nggak ada senyum-senyumnya sama sekali. Saat aku bertanya pun dia tak pernah melihat ke arahku. Kenapa aku jadi malah membicarakan Bimo. Fokus, Sin!

Setelah sekian lama perutku mulai terasa lapar. Tak lama berselang berbunyi “krucuk-krucuk”. Nyeri mulai terasa menusuk-nusuk lambung. Aku baru sadar kalau tadi melewatkan makan malam. Sial. Kenapa asam lambungku naik di saat seperti ini. Aku baru saja dapat mood menulis. Tak mungkin aku berhenti. Tak ada waktu lagi.

“Bim, kayaknya nggak nyambung deh”
“Coba sini kulihat”

Mata Bimo tertuju pada layar laptop. Melirik dari kanan ke kiri. Sesekali dahinya berkerut. Sejurus kemudian menghapus kalimat dan menggantinya tanpa melihatku. Sesekali garuk-garuk kepala. Ia lantas memberikan laptop itu kepadaku. Kubaca ulang. Cukup banyak yang berubah. Kuteruskan kata demi kata sebisanya. Lalu perutku mulai lagi. Kali ini tak bisa kalau tak kupegangi. Nyeri.

“Kenapa perutmu?”
“Nggak apa-apa”

Kulihat jam di ponselku. Jarum pendeknya mengarah pada angka 10 sedang yang panjang merujuk ke 9. Kulihat lagi jumlah kata yang telah kutulis. Syukur, sudah dapat 600an. kubaca sekali lagi lalu kubenahi beberapa kalimat yang rumpang dan typo. Ya, Tuhan banyak banget.

“Terus gimana lagi nih, Bim?”
“Coba cari benang merah dari tulisanmu, terus kait-kaitin sama salah satu teori yang ada di file presentasi dari dosenmu”

Saran-saran Bimo cukup membantu dan raut wajah kesalnya memicu semangatku untuk cepat selesai. Aku nggak mau merengek lagi. Bimo serem kalau udah marah. Jari-jemariku masih lentik berloncatan pada keyboard. Mataku berpindah dari layar, keyboard, dan langit-langit teras rumah Bimo. Sesekali Bimo mengalihkan perhatian kepadaku. Mungkin ia sudah mengantuk.

“Yeay! Akhirnya selesai. Cek lagi dong, Bim”

“Udah nggak usah. Kirim aja langsung”

Seketika aku simpan file itu. Kunamakan file-nya sesuai yang arahan Pak Agus. Kunyalakan hotspot hapeku lalu otomatis jaringannya tersambung ke laptopku. Kubuka email dan kukirimkan ke Pak Hasan. Kulihat lagi sudut bawah kanan layar laptopku. Tertera 11:50 PM. Alhamdulillah aku selamat.

Sejatinya aku masih tidak yakin dengan apa yang kukerjakan. Tapi masa bodoh. Sudah tak ada waktu lagi. Yang penting aku bisa menyelesaikannya. Lega rasanya bisa menyelesaikan esai pertama yang pernah kubuat. Banyak drama dan sekali lagi aku berhasil melewatinya. The power of kepepet bekerja untuk kesekian kalinya di hidupku.

“Preeeet”

Seketika mata Bimo tertuju padaku. Aku tak berani membalas matanya.

“Hehe maaf, kayaknya aku masuk angin deh”
“Bau banget,” Bimo menjauh sambil menutupi hidungnya.

Lekas-lekas kucopot kabel laptop yang menancap di dinding. Kukantongi hapeku. Kuhabiskan air putih yang disuguhkan Bimo. Laptop kuangkat dan kubawa pulang.

“Makasih, Bim. Sori ngerepotin terus” ucapku sambil lalu.
“Dasar kurang asem. Udah dibantuin malah dikentutin. Sana jauh-jauh”

——

Baca semua episode cerbung ini selengkapnya di sini

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Fiksionis senin-kamis. Pembaca di kamar mandi.

Editor

Penikmat jatuh cinta, penyuka anime dan fans Liverpool asal Jombang yang terkadang menulis karena hobi.

CLOSE