27 Steps Of May Review; Keheningan yang Penuh Gejolak Emosi

Ayah selalu punya caranya sendiri untuk menyayangi putrinya

Film dalam negeri bergenre drama karya Ravi Bharwani sebagai sutradara dan Rayya Markarim sebagai penulis ini bercerita tentang perjalanan traumatis seorang May (Raihaainun) dan ayahnya (Lukman Sardi). Bermula dari May remaja yang saat itu masih duduk di bangku SMP sedang berjalan kaki sendirian. Masih mengenakan seragam, ditengah jalan ia diberhentikan oleh beberapa laki-laki dewasa, dibawa ke sebuah gudang dan May remaja di baringkan secara paksa. Ia diperkosa tidak hanya oleh satu orang tetapi beberapa orang secara bergantian. May yang kacau karena keperawanannya direnggut, pulang dengan baju yang sangat lusuh, wajahnya sangat ketakutan. Sejak saat itu May tidak pernah bicara lagi. Trauma benar-benar merenggut dunia luar dari May. Ia enggan keluar kamar, apalagi keluar rumah.

Raihaainun benar-benar maksimal dalam menggambarkan kehancuran yang dialami May melalui ekspresi dan komunikasi non verbal. Ia mampu menciptakan keheningan yang sangat depresif bagi penonton. Rasa marah, takut, dan kecewa menjadi atmosfer dalam film ini.

Ayahnya patah hati. Anak perempuan semata wayang yang ia jaga dengan hati-hati keperawanannya bahkan jiwanya direnggut oleh laki-laki tidak bertanggung jawab. Rasa bersalah menghantui sang ayah bertahun-tahun. Anaknya tidak lagi bicara, keperawanan anaknya sudah dinodai, jiwa anaknya sudah hancur. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan sang ayah. Kemarahan pada dirinya sendiri diluapkan di luar rumah dalam ring tinju, ia memukuli lawan dengan brutal. Lalu, di rumah sang ayah kembali menjadi ayah yang stabil, dingin, tenang, dan teratur.

Tanpa banyak dialog Lukman Sardi mampu menggambarkan struggle seorang ayah yang harus tangguh di luar rumah dan stabil di dalam rumah. Sosok ayah di film ini benar-benar digambarkan dengan sangat baik dan nyata.

Delapan tahun berlalu. Setelah mengalami kejadian naas itu, May yang sudah memutus hubungan dengan dunia luar hidup dengan membuat boneka dan sang ayah ikut membantu menjual boneka. May benar-benar membisu, sama sekali diam seribu bahasa ketika diajak berkomunikasi bahkan oleh ayahnya. Sang ayah hanya mampu menjaga May dengan menjaga kestabilan kehidupan sehari-hari May, sesuai jadwal, tepat waktu. Menyiapkan makan tepat waktu, mengantar boneka tepat waktu, mengambil boneka tepat waktu. Tidak ada bicara, tidak ada mengobrol, tidak ada bercanda, bahkan tidak ada menatap satu sama lain. Sudah tidak ada hal lain yang bisa dilakukan.

Bertahun-tahun mereka hidup seperti itu, sampai akhirnya May mulai menemukan dunia baru melalui pesulap (Ario Bayu) yang tinggal di samping rumahnya. Beberapa perubahan mulai terjadi dengan sangat perlahan. Seperti yang kita ketahui, traumatis membuat May menarik kehidupan dengan dunia luar dan Ravi Bharwani mampu menciptakan pertemuan yang sangat tidak biasa antara May dengan sang pesulap. Perlahan tapi sangat sensitif perubahan terjadi dalam diri May. Kadang naik, kadang turun, kadang sangat kacau. Representasi perubahan emosi ini diperlihatkan melalui boneka buatan May. Terkadang rapi, terkadang cantik, terkadang berkostum pesulap, terkadang berkostum seragam SMP yang lusuh. Sangat klimaks ketika pergolakan batin yang dialami May di mana ia berusaha melawan rasa traumatisnya sendiri. Melawan kebisuannya untuk menceritakan kejadian yang ia alami. Melawan ingatan menjijikkan tentang bagaimana ia dipaksa berbaring, diikat dan di ‘habiskan’ secara bergantian yang selalu berujung dengan melukai pergelangan tangannya dengan silet.

Sekali, dua kali, berkali-kali ia berusaha keluar dari rasa trauma yang mengurungnya dalam ketakutan. Sang ayah semakin kacau, ia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya melihat anaknya May bertengkar dengan pikirannya sendiri. Ia tak lagi mampu menenangkan May. Hidup sang ayah semakin terasa tak berarti.

Bagian yang benar-benar menegangkan sangat membuat frustasi. Emosi semakin naik turun melihat scene yang sangat minim dialog namun sarat makna. Minim soundtrack namun ekspresi dan gestur yang menegangkan benar-benar membuat yang menonton sangat gelisah. Kemudian emosi yang semakin memuncak tumpah melalui ending antara May dan bapaknya yang sangat sederhana tapi super mengena. Benar-benar juara.

Mengangkat isu kekerasan seksual film ini mampu membagi kelamnya kehidupan korban dan keluarga korban setelah mengalami kekerasan seksual. Bagaimana kekerasan seksual merenggut masa depan si korban, bahkan  juga merenggut masa depan keluarganya. Bagaimana kerasnya perjuangan korban  untuk sembuh dari trauma, kerasnya perjuangan keluarga untuk menyembuhkan rasa bersalah.

Film yang sangat mendalam dan mengena traumatis dan kesedihan sangat mampu dirasakan oleh si penonton. Sangat pantas jika film ini  meraih banyak pengharagaan mulai dari film unggulan tempo dalam berbagai kategori, pemenang NETPAC Asian film festival, juga Golden Hanoman Award. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Perempuan dan sedang belajar menulis apa saja.