Aku Bebas menjadi Korban Pembodohan Atas Nama Cinta

Semoga di kehidupan selanjutnya, tidak ada yang menjadi sepertiku. Bodoh dan menyedihkan.

Pernikahan Dira dan Tommy tidak pernah baik-baik saja. Mungkin mereka memaksakan kehendak atas nama cinta, tetapi kita tidak pernah bahagia. Selalu saja ada airmata dan amarah terjadi di setiap perjalanannya. Aku mencintaimu dan kau pun juga begitu, namun ternyata itu saja tidak cukup.

Advertisement

Di bulan-bulan awal pernikahan mereka sudah sering terjadi konflik. Pertengkaran sepertinya sudah menjadi asupan nutrisi jahat untuk rumahtangga mereka. Mereka terus berupaya, terus berusaha agar perpisahan itu dapat dihindari. Ah, mereka lupa kedua orangtua kita tak pernah merestui! Tentu saja ini juga bisa dikatakan salahsatu pemicu api di antara mereka. Dira dan Tommy memaksakan diri untuk tetap bersatu, namun kenyataannya nihil.

Ya berkali-kali Dira melarikan diri, berkali-kali pula Dira kembali kepada Tommy.

"Ayah, tidak yakin kamu akan bertahan disini. Rumah hanyalah pelarian saat kamu dan Tommy bertengkar," ucap Ayah Dira ketika sudah kesekian kalinya Dira pulang ke rumah dan meninggalkan rumah untuk mencoba memperbaiki rumah tangganya dengan Tommy.

Advertisement

Dira sadar bahwa Ayah mulai jenuh dan kesal kepadanya. Rumah hanyalah pelarian. Orangtuanya hanyalah pelipur lara Dira. Disaat Dira merindukan Tommy, ia akan pergi. Tak peduli dengan airmata kesedihan Ayah dan Ibunya. Aku mencintai Tommy. Aku buta, aku tuli, dan aku gila karenanya. Seperti itulah perasaan Dira. Tommy bukanlah cinta pertamanya. Namun Dira sangat berharap ia akan menua dan bahagia bersama Tommy. Sayangnya itu hanyalah halusinasi saja. Kebahagiaan tidak pernah ia rengkuh, kesakitan yang terus ia dapatkan.

Tommy sangatlah temperamental. Dia memiliki emosi yang meledak-ledak. Tak jarang, Dira mengalami tindakan kekerasan, seperti pukulan. Tidak sampai disitu, mulutnya pun sangat tajam ketika ia marah. Sempurna! Itulah kata yang tepat disematkan untuk lelaki sepertinya. Tangan dan mulut bergerak beriringan.

Advertisement

Herannya, Dira tak semudah itu melepaskan Tommy. Ia terlalu mencintai Tommy. Dira sangat takut kehilangan Tommy. Ah, pembodohan atas nama cinta namanya! Suatu ketika saat Dira membuka lemari di kamar untuk mengambil baju dan mandi, aku melihatnya dari jendela kamarnya yang terbuka. Spontan, ia langsung membuang bajunya ke kasur dan berlari bersama Tommy.

"Aku merindukanmu, Dir. Aku sangat mencintaimu," kata-kata manis itu dengan lancar keluar dari mulutnya.

"Aku juga, Tom. Kita coba perbaiki lagi hubungan kita,"

Apakah Tommy yang perayu? Ataukah Dira saja yang bodoh? Hingga semudah itu jatuh kembali ke pelukannya. Entahlah, cinta ini memabukkan. Tidak satu pun dari pecinta yang akan benar-benar 100% menggunakan akal sehatnya. Parahnya, Dira tidak sama sekali menggunakannya.

Hingga suatu hari keributan kembali terjadi dan ini adalah puncaknya bagi Dira.

… Kamu sudah sampai di rumah?…

Sebuah sms masuk dari seseorang yang baru saja Dira kenal tadi sore. Tentu saja Tommy mengamuk.

"Oh pantes aja loe ga mau kasih tiket bola satu lagi ke gue? Jadi ini alasannya? Biar loe bisa kenalan ama cowok lain?" suara Tommy meninggi.

Waktu sudah menunjukkan pkl 23.35. Suasana lingkungan kosan yang sudah kami tinggali berbulan-bulan sudah mulai sepi. Tentu saja tetangga mereka mendengar keributan dari kamar, terlebih Dira dan Tommy tinggal di area pemukiman yang padat. Namun tidak sekalipun dari tetangga mereka yang pernah ikut campur, sekalipun Dira pernah sampai berdarah karena dipukul oleh Tommy. Mereka semua hanya diam dan tidak pernah bertanya apapun.

"Loe salah paham. Gue kenalan ama dia karena dia buka outlet jersey. Gue pikir kita bisa kerjasama dengan dia," jawab Dira sambil menangis.

Di dalam hatinya bertanya 'Kenapa aku menangis? Aku tidak bersalah. Tommy saja yang terlalu cemburu. Bertanya baik-baik juga bisa. Kenapa harus marah?' Tanpa aba-aba, tinjuan mendarat di wajah Dira. Sakit? Pasti! Membiru? Tentu. Beginilah Dira dan Tommy dalam pertengkaran. Dira selalu salah dan kalah. Ingin jadi pemenang? Jangan mimpi! Ingin membalasnya? Berkhayal sajalah.

"Gue nggak mau tidur sama loe! Loe keluar!" Tommy membentaknya lagi.

Dira pun keluar dari kamar. Di depan kamar terdapat lorong. Ia duduk di situ. Harus waspada karena lipan dan kecoa masih lalu-lalang di malam hari. Entah kapan binatang-binatang itu terlelap.

Dira berpikir sepanjang malam. Dira memikirkan semua kejadian yang ia alami dengannya. 'Aku harus pergi. Aku harus. Tekadku harus bulat. Tidak lagi boleh aku kembali. Segera matikan hati untuk Tommy. Hanya dengan cara itu aku bisa terus hidup dengan normal. Bukan seperti saat ini.'

Pagi pun datang, Dira mencoba membuka kamar yang semalam Tommy kunci. Untungnya sudah terbuka. Perlahan ia masuk. Tommy bersiap bekerja. Ia pun duduk di sudut kamar, memandang ke langit-langit dengan tatapan kosong.

Tommy pun pergi bekerja. Setengah jam kemudian, ia segera memasukkan barang-barangku ke dalam tas. Dan pergi meninggalkan kosan itu. Tujuannya adalah rumah. Rumah yang selalu membukakan pintunya. Rumah yang selalu sedia menjagaku karena lingkungan rumahnya tidak akan membiarkan dimasuki oleh Tommy sejak pertengkaran hebat antara Ayahnya dan Tommy beberapa bulan yang lalu.

Ia pun benar-benar pergi. Pulang ke rumah. Dimana Ayah dan Ibunya selalu menunggu Dira sekalipun ia sering mengecewakan mereka. Ya, orangtuanya yang selalu mengasihi dan menyayanginya.

Ayah Dira masih meragu kepadanya, namun tidak dapat berbuat apa-apa. Sedangkan Ibunya selalu bersemangat di setiap kepulangannya. Semalam adalah klimaksnya. Dira sudah tidak ingin lagi kembali kepada Tommy. Ia hanya butuh kedua orangtuanya. Bukan Tommy yang terus mengasarinya.

Setelah bertahun-tahun Dira bercerai dari Tommy, ia kembali sehat dan normal. Ia memiliki banyak kawan. Ia menjalani kehidupan sesungguhnya. Banyak tertawa dan tidak lagi menangis. Ia benar-benar bahagia. Sangat bahagia.

Jika ada yang bertanya padanya hari ini, bagaimana bisa ia bahagia? Jawabannya adalah karena suatu mu'jizat baginya dapat meninggalkan lelaki seperti Tommy. Cinta memang membuat raja menjadi hamba sahaya. Cinta jugalah yang membuat hamba sahaya menjadi penakhluk dunia.

Ia tidak ingin menjadi pesakitan jika terus bertahan dengan Tommy. Manusia tidak akan berubah, kecuali memang manusia tersebut berniat untuk berubah. Tommy bukan tipe orang yang memiliki niat untuk berubah. Bukankah lebih baik sendiri dibandingkan berdua, namun mati sia-sia ditangan penjahat cinta sepertinya?

Untuk para pembaca, jika kalian memiliki pasangan yang sering kasar. Tinggalkanlah. Mungkin tidak mudah. Harus berkali-kali. Namun, jangan sampai terlambat! Cinta seharusnya membahagiakan bukannya menyakiti. Idealnya pasangan aku menyelesaikan masalahnya dengan cara baik-baik bukan dengan tindakan kasar karena lelaki hanrusnya melindungi perempuannya, bukannya malah menyakitinya. Tidak ada alasan untuk menggunakan kekerasan dalam hubungan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Love yourself!

CLOSE