Aku Mencintaimu, Meski Iman Kita Berbeda

Rintik hujan malam ini, membawa pikiranku berkelana jauh ke masa itu. Masih teringat jelas, kala itu, atas segala jerih payahmu, setiap tetes keringat dan air matamu, untuk membesarkanku dan memberikan yang terbaik untukku, menurut tolak ukurmu. Dan masih kuingat pula, acapkali kau memarahiku dan begitu keras kepadaku, jika kau rasa kelakuanku menyimpang dari lazimnya seorang remaja. Kurasakan betapa guratan-guratan tajam di wajahmu muncul seiring bertambahnya kepahitan dan makna hidup yang kau rasakan. Sedang aku? Aku hanya seorang remaja labil saat itu, yang acapkali mengambil keputusan hanya berdasarkan emosi dan hati semata.

Kini, sudah dewasa aku. Kurasa aku bukan lagi seorang remaja kecil yang berlarian ke sana-sini, sibuk memperlihatkan kepada dunia kecilku bahwa aku bisa, dan bukan lagi anak muda yang sok seakan sedang sibuk mencari jati dirinya. Aku sudah dewasa, pun telah menjadi orangtua.

Aku bukan bermaksud durhaka, jika kadang ada pendapat kita yang tak sama. Jalan yang kita tempuh berbeda, dan beban yang kita rasakan pun tak pernah serupa. Bukan berarti kukecilkan segala pengalaman dan pengetahuan hidupmu yang begitu luas bak samudra. Aku sadar, bahwa usiaku yang baru segini, tiada apa-apanya.

Tapi, akupun sudah menjadi orang tua. Salah satu pemahaman yang kurasakan adalah, sebagai orangtua, kita tetap hanya seorang manusia biasa. Kadang kita bisa salah, bisa alpa, bisa lupa. Kadang juga, kita terlalu mementingkan ego dan rasa. Kurasa, kondisinya tak jauh berbeda. Orang tuapun, hanyalah tetap seorang manusia biasa. Seperti kau, seperti aku juga. Salahkah ?

Kutatap nanar ke depan, saat rentetan kalimatmu yang demikian menghujam, mempersalahkan keputusan terpenting yang telah kuambil dalam hidupku. Entahlah, setahuku, selama kita masih hidup dan bernafas di dunia, tak ada yang pernah tahu bagaimana bentuk surga dan neraka yang sebenarnya. Kita manusia hanya mengimani apa yang kita rasa terbaik untuk jiwa kita.

Membantahmu? Aku tak bisa, aku tak kuasa. Kau terlalu kucinta. Tak sanggup aku melihat matamu kembali memancarkan luka, luka yang pernah kuciptakan dahulu kala, saat kubuat pengakuan bahwa imanku telah berubah. Membencimu apalagi, tak sanggup hati ini, sehingga yang dapat kulakukan hanya tersenyum dan mengangguk pasrah. Panggil aku pengecut, namun hatimu terlalu berharga bagiku.

Ah, melihatmu dari masa ke masa, ingin hati ini selalu membahagiakanmu. Berusaha memberikan yang terbaik untukmu. Membuatmu dapat menikmati hari tuamu dengan bahagia. Meski kutahu, keputusan yang kuambil ini telah menghancurkan salah satu asa di hatimu.

Dear, yang tersayang di hatiku, aku mencintaimu dengan segenap hatiku. Semoga suatu saat kau dapat menyadari, bahwa perbedaan iman ini tak akan pernah mengurangi rasa hati ini. Dear yang tercinta di sanubari ini, rasa hormatku akan tetap kusimpan sampai nanti.

Jika suatu saat salah satu dari kita telah berpulang terlebih dahulu, kumohon agar dapat menyampaikan kepada yang lain mengenai bagaimana sebenarnya rupa surga itu. Sehingga hal itu tak lagi menjadi perdebatan semu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Instagram : @shine_bridal Fanpage FB : shine bridal and cafe - Mother of OneDaughter - MakeUp Artist - A wife - A dreamer - Messy writer