Aku Mengucap Syukur Kepada Tuhan Setiap Kali Aku Mengingatmu

Aku mengucap syukur kepada Tuhan, setiap kali aku mengingatmu, Bu.

Advertisement

Dan aku jauh lebih bersyukur, karena sosokmu tak pernah pergi dari ingatanku. Pertemuanku denganmu adalah hadiah terbesar dalam hidupku. Meski kurang lebih 9 tahun terakhir, mata kita tak lagi saling bertatap lekat. Aku rindu, rindu sekali, bu. Tujuh belas tahun kedekatan kita, kurasa masih sangat sebentar. Aku merasa kurang bu, tanpa kehadiranmu dalam keseharianku. Ijinkan melalui tulisan ini, aku ingin mengenang kembali hari-hari indah bersamamu.

Hello World, I am exists!

Advertisement

Pada masa ini, aku belum sepenuhnya mengerti apa dan bagaimana cinta itu. Yang kutahu, aku memiliki malaikat yang tak bersayap-yang membuatku menjadi sangat berharga-ialah ibu. Kelahiranku adalah cara Tuhan mempertemukan aku dengan ibu. Aku terlahir premateur, dari rahim seorang perempuan lain–bukan yang kusebut ibu dalam tulisan ini, yang kata orang–orang berniat menggugurkanku ketika itu. Dan ibu mendengar berita itu, berlari menuju rumah sakit hanya demi mempertahankanku. Dengan meyakinkan seseorang itu untuk berani melawan trauma pendaharan ketika melahirkan kakak laki-lakiku sebelumnya.

Advertisement

Bu, hingga saat ini aku masih sering mengajukan pertanyaan yang sama kepada Tuhan dalam doaku


Mengapa bukan rahim mu, yang semasa janin kusinggahi selama 7 bulan itu, bu?


Tapi bu, bagaimanapun semua tidak akan mengubah hatiku yang sudah terlanjur jatuh untukmu. Terima kasih yang terbatas, karena sudah membuat ada dan nyata. I love you, bu.

Day by day, you are by my side.

Waktu bangun dan waktu terlelap, ibu adalah sosok pertama yang kutatap. Ayam berkokok membangunkanmu setiap pagi. Pergi ke dapur adalah tujuan setelahnya-tempat kesenanganmu. Disana dapat kau racik rasa yang kemudian kau bagi. Kepada kami yang tak sabar menanti di meja makan. Aku tak pernah melewatkan kesempatan untuk menikmati suap demi suap dari tanganmu untuk makanan yang kau hidangkan. Mungkin dalam hatimu berkata


"Please, don’t grow up too fast, nak.."


Rutinitas itu berjalan hingga usiaku belasan. Hingga tiba tahun 2006, yang setelahnya tahun-tahun berjalan begitu cepat. Roda waktu berputar–mungkin 3 kali lebih cepat, atau 5x, atau bahkan 10 kali lebih kencang. Cepat untuk hadir dan cepat pula untuk berlalu.

Di ruang keluarga, malam itu:


"Nak, ibumu sakit. Kanker payudara stadium akhir. Ibu tahu dari tahun 2004 dan ibu kalian baru bilang kemarin sama bapak. Lalu bapak berusaha menyampaikannya kepada kalian malam ini.." kata bapak dengan nada terbata.


Bapak adalah sosok yang tak pandai berbasa-basi. Tidak mudah untuknya mengatakan itu kepada kami. Sedang ibu dengan raut wajah tetap tampak baik-baik saja, menemani bapak yang berusaha sekuat-kuatnya menyampaikan kabar kelabu yang membuat waktu seakan berhenti sesaat. Ibu kemudian menyambung:


"Wuee, bulan ini ibu operasi kok, dan sangat yakin Tuhan akan sembuhkan sakit ibu. Yok kita doa, dipimpin sama bapak…"


Bapak memimpin doa malam itu untuk pengobatan ibu, karena ternyata ibu sudah menjadwalkan operasi pada pekan depannya–bersamaan masa Ujian Akhir Nasional ku. Aku duduk di bangku SMP kala itu. Selesai berdoa, kami langsung istirahat menuju kamar masing-masing. Aku menuju kamar bersama ibu. Dan sebelum sama-sama terlelap, ibu berkata


"Nduk, kamu ya yang temani ibu ke rumah sakit besok, mesen kamar. Ibu mau pakai kamar yang nyaman supaya kamu nyaman juga selama menemani ibu dirawat di sana," pinta Ibu padaku.


Belum sempat kujawab, ibu menyambungnya lagi


"Hmm, nanti berangkat ke sekolah dari rumah sakit dan kalau udah selesai langsung balik Rumah Sakit lagi ya?"


Aku tak menjawab dengan kata-kata. Aku hanya tersenyum sembari mengangguk dalam dekap ibu. Aku akan ikut kemana ibu pergi. Aku tidak mau jauh-jauh dari ibu. Aku masih sangat ingat, suasana siang menjelang sore itu, aku mengantar ibu untuk mulai menjalani rawat inap. Hujan turun begitu deras. Dan setelah meletakkan bawaan kami di kamar Rumah Sakit, ibu mengajakku makan di luar, di dekat rumah sakit.


"Besok ibu kan puasa, yuk makan baso dulu. Di sebelah ini, yang warungnya nempel tembok rumah sakit. Jalan aja yuk, deket kan.."

"Ayok, bu.."


Ibu dirawat di rumah sakit di Jogja, tempat yang sama ketika aku dilahirkan. Tak sedikit perawat disana yang masih ingat dengan aku.


"Ini putri jenengan yang kemarin sekecil kucing pas lahir kan ya, bu?" tanya mereka sambil tertawa dan mengusap-usap rambutku.

"Hahaha iya, sekarang udah gede dan sama tingginya," sambung ibu lagi,



"Nduk, salim sama bulek dan budhe perawat yang bantu lahiranmu waktu itu.."


Ibu adalah sosok yang baik, dikenal sekaligus dikenang dengan baik juga. Orang-orang di sekitar ibu juga baik-baik. Oleh karenanya, bagi mereka yang mengetahui perihal aku bukanlah anak kandung ibu, tidak pernah membahasnya lagi di depanku. Mereka justru terang-terangan menyebutku adalah anak ibu–putri kandungnya yang terlahir dengan berat 19 ons.

Operasi pengangkatan payudara ibu berjalan dengan lancar. Aku pun berkesempatan melihat benjolan yang dikeluarkan dari payudara kanannya. Benjolan yang terbilang tidak kecil itulah yang mengambil ibu dariku dan menjadikanku berkawan dengan sepi berkepanjangan.

Setelah keluar dari rumah sakit, ibu harus menjalani penyinaran atau radiasi secara teratur di rumah sakit lain. Aku akan ikut kemana ibu pergi. Aku tidak mau jauh-jauh dari ibu. Aku mengantar dan menemani ibu bolak-balik rumah sakit selama kurang lebih 3 bulan. Dari awal hingga akhir masa penyinaran. Kebetulan, masa-masa itu aku sudah selesai menempuh Ujian Akhir Nasional dan Ujian Akhir Sekolah. Tinggal menunggu hasil kelulusan keluar. Jadi aku punya waktu yang sangat banyak untuk bisa dihabiskan bersama ibu.

Efek samping dari operasi dan radiasi yang ibu jalani, tangan kiri ibu menjadi bengkak.


Limfedema (lyphoedema) merupakan pembengkakan yang terjadi pada tubuh karena kelenjar getah bening mengalami gangguan. Limfedema umum sekali terjadi pada pasien kanker payudara yang menjalani operasi pengangakatan payudara maupun radiasi. Efek setelah operasi kanker payudara ini ditunjukkan dengan adanya pembengkakan pada tangan. Dengan begitu, ukuran tangan tampak lebih besar dari biasanya. (sumber: http://transferfactorformula.com/)


Antoher gift from God: 2008, February 23rd – Bapak passed away.

Hari itu adalah hari terindah bagi belahan jiwamu, bu. Bapak pergi untuk selamanya. Tak ada lagi sakit yang dirasakan bapak. Bapak sudah sehat dan berbahagia di taman Firdaus, seperti katamu. Kondisimu yang juga sedang tidak baik, selalu berusaha untuk terlihat tetap baik-baik saja. Banyak kesakitan yang sebenarnya ibu tutupi. Tahun-tahun terakhir adalah tahun-tahun terberat bagi keluarga kami. Banyak kejatuhan yang sedang Tuhan tiitpkan sementara kepada kami sebelum ibu dan bapak jatuh sakit.

Dari masalah keuangan yang mendadak kehilangan tumpuan karena masalah yang disebabkan dari kesalah pahaman antara kakak perempuanku dan rekan kerjanya. Semua tabungan habis, tidak bersisa – bahkan minus. Tak berhenti disitu, kakak perempuanku melahirkan seorang putra di luar pernikahan. Pukulan yang memilukan bagi ibu dan bapak. Tapi, lagi-lagi, mereka menyikapinya dengan amarah sesaat di awal, jauh lebih banyak kata syukur karena kehadiran cucu pertama yang membawa kebahagiaan lain di tengah keluarga kami.

Bapak meninggalkan kami karena sakit tekanan darah tinggi yang kambuh pada sekitaran bulan Mei tahun 2007 lalu. Sempat dirawat inap selama hampir dua pekan. Kami sekeluarga ada di sana selama masa perawatan bapak. Hiruk pikuk rumah sakit membuatku sesak. Aku benci rumah sakit–meski ketika kecil aku sempat bercita-cita menjadi seorang dokter. Ya, cita-cita sejuta umat kala itu.

Setelah kepergian bapak, hari ke hari ibu mulai lungrah. Ibu menjadi tak nafsu makan dan cenderung mudah marah. Yang jauh lebih parah, ibu kerap berlama-lama singgah dalam imajinasinya. Katanya, ibu sering melihat sosok bapak ada di rumah. Dan mereka bercakap-cakap


"Mas, gek ngopo? Ini lho anak wedok pengen dikeloni.."

(Artinya: Mas, lagi apa? Ini lho anak perempuannya pengen dikeloni..")


Atau,


"Mas, piye kabar e? Apik-apik wae toh?"

(artinya: Mas, gimana kabarnya? Baik-baik saja kan?)


Setiap hari aku tidur bersama ibu. Dan harus mulai membiasakan kebiasaan baru ibu. Awalnya berat, dan sedikit takut. Setiap kali ada teman-teman ibu datang, aku selalu meminta bantuan mereka untuk membujuk ibu agar mau manyantap sarapan, makan siang, atau makan malamnya. Karena, hari ke hari kondisi ibu semakin drop, sehingga membuat orang-orang terdekat ibu berdatangan untuk menjenguk. Pernah suatu kali, ibu lahap menyantap hidangan seadanya ketika banyak teman ibu datang ke rumah. Dan ibu sudah tampak pulih. Duduk dan bercengkerama layaknya orang biasa.

The gift package from God completely received.

Ternyata kondisi ibu yang membaik itu adalah pertanda, bahwa ibu akan pergi menyusul bapak-6 bulan kemudian. Ibu selalu mengingatkan bahwa berkat tak hanya perihal yang menyenangkan, yang menyedihkan sekalipun tetaplah berkat. Jadi, bersyukurlah setiap waktu.

03 September 2008, malam hari ibu dilarikan di rumah sakit. Kemudian dimasukkan ke dalam ruang ICCU – ruang yang berisikan sunyi dan raung secara bersamaan. Alat medis perekam detak jantung, infus dan selang ada dimana-mana pada tubuh ibu. Sedang ibu tak sadarkan diri. Rasanya aku ingin marah kepada Tuhan. Sejak lahir, hingga saat itu, aku hanya memiliki kedekatan dengan bapak dan ibu. Ku tidak terlalu dekat dengan kakak-kakakku.


Bapak sudah pergi lebih dahulu, lantas apa lagi ini Tuhan? Aku akan ikut kemana ibu pergi. Aku tidak mau jauh-jauh dari ibu.


Kedua kakak laki-lakiku bergantian menahan aku yang menangis dan berteriak, kemudian berlari ke ruangan ibu–yang jam kunjungannya sangat dibatasi waktu dan jumlah pengunjungnya. Satu kakak laki-lakiku menggendongku, jauh-jauh dari ICCU yang dipenuhi orang-orang yang sedang menaruh harapan penuh pada keajaiban.

Menjelang tengah malam, sekitar pukul 23.00, dokter memanggil kami sekeluarga.


"Mohon maaf sebelumnya, alat yang terpasang di badan ibu tidak membantu ibu untuk bertahan hidup. Alat ini hanya membantu memacu detak jantungn ibu kalian agar tetap berdetak. Begitu alat ini dilepas dari tubuh ibu, ibu sudah.."

"Tolong bicara intinya saja, dok. Dokter mau kami menyetujui perjanjian untuk melepas alat medis ini?" kata kakak perempuanku tak kalah histerisnya dariku.


Setelah tim medis berusaha menjelaskan hingga kakak perempuanku sedikit tenang, memberi pengertian bahwa yang terbaik dilakukan untuk ibu adalah dengan melepas alat medis yang ada di tubuh ibu. Kami hanya bisa pasrah. Dan ibu pergi untuk selamanya. Hatiku yang sakit karena kepergian bapak belum sepenuhnya sembuh. Semakin patah, semakin parah.

A lonely me.

Malam-malam setelahnya tak pernah lagi sama. Yang biasanya kutatap lekat sebelum terlelap adalah ibu, digantikan oleh kakak laki-lakiku. Aku belum terbiasa tidur sendiri. Jadi kakak laki-lakiku bergantian menemaniku tidur. Karena kakak perempuanku menjaga keponakanku-anak pertamanya.


Ibu,

Sekarang aku sudah 27 tahun loh. Hari demi hari, rinduku semakin besar, tak pernah berkurang. Bu, baru belakangan ini Tuhan mengabulkan pintaku, bu. Yaitu hadirkan dirimu di mimpiku. Terima kasih sudah mau menemuiku.

Bu, banyak sekali yang ingin aku bagikan denganmu. Aku berhasil menyelesaikan pendidikan S1 ku, bu. Melalui jalur beasiswa dengan bantuan informasi dari orang-orang terdekat kita. Banyak sekali yang sayang denganku, bu. Semoga aku dapat selalu menjadi anak kebanggaanmu, dan juga bapak.

Meski demikian, masih saja ada bibir-bibir yang berkata tak mengenakkan, bu. Mereka bilang aku tak berhak apapun atasmu, sedang aku tak berharap apapun dari peninggalanmu. Dan mereka bilang aku harus kembali ke adik iparmu – yaitu ibu kandungku. Tenang bu, aku sudah berdamai dengan keadaan dan cukup sering menemui beliau di rumahnya. Terkadang beliau yang datang menemuiku di rumah kita, bu.

Tapi, hatiku masih sepenuhnya milikmu, bu. Aku masih merasa asing dengan ibu kandungku, maaf ya bu jika itu membuatmu kecewa. Aku masih belum bisa banyak bicara ketika bersamanya, tidak seperti bersamamu–aku lepas dan bahagia penuh.

Bu, aku sudah bekerja di Jakarta selama kurang lebih 4 tahun ini. Tak jarang aku pulang ke rumah di Jogja, bu. Aku akan terus menjadikan rumah kita sebagai tujuanku pulang. Akan tetapi, maaf ya bu, aku belum menemukan arti pulang selama bolak-balik mudik Jakarta–Jogja 4 tahun ini. Yang kucari setiap ada di rumah adalah ibu (dan bapak), sedang yang bisa kutemui adalah batu nisanmu. Aku masih merasa kosong, bu. Separuh aku, masih ada bersama kepergianmu.

Bu, di Jakarta aku kembali belajar tidur sendiri. Dengan lampu yang padam dan kubawa selimut kita, bu. Yang dulu sering kita kenakan berdua.

Bu, aku kehilangan arah dan tujuan. Aku semakin jauh dari cita-citaku. Sedang, bangku di kantor mulai panas karena satu dan lain hal. Namun, akhir-akhir ini semangatku berangkat ke kantor justru membaik dari sebelumnya. Karena seseorang yang sebenarnya sudah ada sejak awal aku mulai bekerja di sini, menjadi alasan mengapa aku ingin segera tiba di kantor dan berlama-lama untuk pulang.

Aneh, tapi justru menyenangkan. Dan, tak disangka dia masih ingat apa cita-citaku yang ternyata pernah kubagikan dengannya di tahun pertama aku di Jakarta. Bahkan akupun sudah lupa pernah membagikan cita-citaku pada dia. Mungkin dulu mataku sempat tertutup oleh keberadaan sosok semu lainnya. Apakah ini cinta, bu? Dan jika memang iya, apakah aku sudah terlambat? Hmm, doa yang terbaik untuk kami berdua ya, bu.

Oh ya, tahun 2018 ini aku ingin menemukan arti pulang. Dan akan kembali ke rumah karena rindu, bukan karena kewajiban untuk berkumpul dengan keluarga di Jogja. Setiap sudut Jogja itu romantis kan, bu. Banyak tempat yang menyimpan kenanganku bersamamu, bu. Setidaknya banyak kenanganku bersamamu di kota nyaman itu.

Bakmi Jawa di perempatan Ringroad Utara sebelum terminal Jombor, sate Madura jalan AM Sangaji (di depannya ada hotel Tentrem sekarang, bu), pasar Kranggan, pasar Bringharjo, pasar malam di samping Taman Pintar tempo dulu, penjual onde-onde tepat di belokan menuju jalan Malioboro, dan masih banyak lagi.

Ahh, ada rindu tak terbendung setiap kali aku melafalkan panggilanku padamu – IBU.


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

<p><p><p>Patience is not an ability to wait, but the ability to keep a good attitude while waiting.</p></p></p>

CLOSE