Bagiku, Hujan Akan Memulangkanmu Anakku


Disebuah desa yang jauh dari perkotaan nun jauh disana disudut perkarangan dekat pohon jati besar ada sebuah rumah yang sepi ada cahaya yang mulai redup hanya berpenghuni dua orang digubuk yang dindingnya sudah mulai ringsek sebab dimakan waktu dan hewan-hewan yang menggerogoti terdengar juga suara kentungan dari kejauhan suara decit mencecet burung hantu dan kokok ayam jantan yang mulai bersuara satu persatu rumah itu masih diam dan terjaga.


Suara kentungan dari jauh terdengar sangat merdu, bedug dari surau terdengar jelas hingga Mak Sio yang sedang tidur terjaga terbangun. Lalu, Mak Sio sembayang menjahit-jahit do’a kepada sang Pencipta yang dijaganya setiap kali sholat dan harapan-harapan yang selalu disemogakan .

Dengan suara parau, isak tangis Mak Sio tak henti-henti mengalir pelupuk mata yang berkantung berkerut mulai menetes derai-derai air mata.

Berhari-hari tangisan Mak Sio itu terdengar timbul-tenggelam merepihkan kesedihan yang paling memilukan. Hidup sudah sedemikian penuh kesedihan. Sebab kerinduannya kepada anaknya dan kepongkahan hidupnya seringkali Mak Sio menangis semalaman hingga subuh tiba.

“Ku rindu anakku karena waktu juga tak akan mampu berpihak pada perasaan yang memilukan, jarak juga yang membuatku terbelenggu berharap bisa saling menatap dan jika saja dia pulang tak akan ku izinkan dia kemana-mana akan ku peluk erat sepenuh hati”. Keluh Mak Sio lagi

“Hidup sudah susah begini, sudah tua masih bekerja membanting tulang tubuhku yang mulai ringkih tak sekuat dulu penglihatan ku semakin kelabu rambut semakin hari semakin rontok dan memutih, pipiku juga sudah mulai mengendur, gigiku juga tinggal dua apalah dayaku tinggal jalani saja hidup ini dengan rasa"

Hari telah pagi Mak Sio siap menjalankan aktivitas seperti biasanya meski tak setangguh dulu. Tapi semangatnya masihlah sama.

“Sebentar kang, aku akan ke ladang mengambil yang bisa dimakan kita pagi ini nanti aku pulang”.

Dengan berat hati Mak Sio meninggalkan suaminya yang lemas tergeletak di tempat tidur, suaminya yang sudah lama sakit tak bisa apa-apa, memandikan suaminya dan menyuapi suaminya, Mak Sio istri yang setia dengan sepenuh hati merawat suaminya. Suaminya seperti bayi tua setiap harinya hanya bisa menyusahkan istrinya buang air kecil dan besar di kasur penglihatannya juga sudah kabur pendengrannya pun sudah berkurang .

Setiap pagi Mak Sio menggarap ladang milik Pak Daryanto tetangga yang kaya raya lumayan mentereng di desanya upah yang diterima pun hanya cukup untuk makan sehari-hari berdua dengan suaminya.

Gesekan pelan sandal tipis yang menyakitkan saat orang menunggu mendengarnya. Ada seorang pemuda yang dengan nafas tersenggal-senggal lari menghampiri Mak Sio dia adalah Rudi teman dari anaknya.

Rudi, ”mak,ini surat dari Handi”.

“Loh, Handi baru mengirim surat toh Nak Rudi, sudah 2 tahun aku tunggu dia membalas suratku, memangnya di Praha sedang ada apa. Apa konflik melanda disana? Disini negara yang baru merdeka lagi susah payah, dimana-dimana harga naik semua korupsi merajalela hukum tidak diteggakan.

Dengan rasa penasaran Mak Sio dan kecemasan perihal keadaan anaknya di Praha, dia menyuruh Rudi untuk membacanya.

“Aku tak bisa membaca, nak tolong cepat,cepat cepat bacakan aku sangat rindu handi”.

“baiklah, mak”.

Setelah rudi membaca surat tersebut terlihat dipelupuk mata Mak Sio menetes derai-derai air mata, Handi memberikan kabar kepada ibunya bahwa dia tak bisa pulang ke kampungnya, Handi juga tak menceritakan sebab dia tak bisa lagi pulang.

Hal tersebut yang menggurungkan niat Mak Sio tak pulang. Dia lebih memilih berdamai dengan keresahannya berharap bertemu dengan anaknya. Mak Sio berjalan menuju pohon asem, pohon asem itu juga milik Pak Daryanto, Karmanto anaknya yang kebetulan sedang libur kuliah dia membantu ayahnya di ladang, dia anak yang sederhana walaupun anak orang kaya dia tak malu jika saja membantu di ladang dan biaya kuliahnya pun ia sendiri yang menanggung.

Saat Karmanto jalan menuju pulang, dia mendengar isak tangis yang kian menderu. Lalu, dia menyusuri ladang, dia mendengar isak tangis tersebut datang dari pohon asem itu.

“Sudah sore mak, kenapa kau tak pulang kasihan suamimu tak ada yang menggurus”. Ujar Karmanto.

“Iya kar, aku akan pulang tapi sebentar lagi aku belum puas jika saja aku rindu anakku aku kesini sebagai obat pelipurku aku ingat sekali saat dia masih bocah Kar, dia selalu lari-lari disini aku juga sambil dia berlari-lari dia jika saat menjelang adzan tiba handi tak pulang pasti akan kucari disini dipohon asem ini dia bocah yang bandel dia suka hujan-hujanan hingga suamiku marah saat Handi tak mau pulang. Memang begitu Handi tapi hanya dia anak satu-satunya tubuhnya yang paling kecil sendiri diantara teman-temannya, kakaknya dulu meninggal sebab kelalaianku yang tak becus mengurusi anak dia dibunuh dengan cara yang sangat kejam, dulu kar pada saat Indonesia ini belum merdeka, dan mungkin sekarang handi sudah menjadi anak yang gagah dia tinggi seperti bapaknya".

“Tak usah lah mak menyesali yang sudah terjadi, sekarang pulang mak,ayok saya antar sampai rumahmu, mak.”

“Biarkan aku menenggelamkan kerinduanku disini, aku bisa pulang sendiri!.”

“Tapi sore ini mendung mak, barangkali akan hujan deras”.

“Anakku suka basah Kar, jadi aku akan tetap disini sebab hujan yang akan memulangkan kenanganku bersama dia, aku tak peduli warga disini yang mengatakan aku gila".

“Sudah mak, sabar jangan sedih terus begini, jika saja kau butuh tempat mencurahkan hati aku selalu bersedia dengan sepenuh hati, anggap saja aku anakkmu, saat kau rindu anakmu kau boleh memeluk erat sesukamu".

“Baiklah aku akan pulang tapi tetap saja Kar, pulang juga aku selalu rindu anak ku.”

Tiba dirumah Mak Sio tiba-tiba hujan besar, terjadilah percakapan antara Mak Sio dan Karmanto.

“Terimakasih Kar, tak seharusnya aku bersedih berlarut seperti ini tapi tetap saja hujan akan memulangkan juga. Pada hujan-hujan yang ku sembuyikan, pada senja-senja yang sepi meski aku banyak berharap Handi dapat menemani dalam senja-senja yang pilu dan pada malam-malam yang menakutkan”.

Betul mak lebih baik seperti itu

Selesai…

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

penikmat kopi dan senja