[CERPEN] Bolehkah Kuantar Pulang, Diana?

Berlama-lama dalam masa lalu adalah hal yang paling menyedihkan.

“Selamat datang di Situbondo.”

Advertisement

Hati Diana bergetar ketika dia membaca tulisan itu dari pinggir jendela mobil. Untuk pertama kalinya setelah 10 tahun lamanya, dia akhirnya menginjakkan kakinya kembali di tempat kelahirannya. Selepas SMA, Diana melanjutkan studi ke Belanda, menemui Ayahnya yang sejak kecil tak pernah bersamanya karena perkara kewarganegaraan. Tetapi justru kehidupan di negeri van Oranje itulah yang  benar-benar membuatnya terbius, brand kebebasan yang selalu diagungkan, yang tak pernah didapatkan sebelumnya karena aturan ketimuran yang mengikat,

sampai sebulan yang lalu.

“There is no reason for you to stay there. You’re alone now. Wake up Na, your family is here.”

Advertisement

Begitulah pesan Ibu Diana, tiga hari setelah pemakaman Sang Ayah. Ayah yang mengajarkan bagaimana kebebasan adalah hak asasi setiap individu harus pergi tiba-tiba meninggalkan Diana. Ternyata beliau tidak benar-benar merasa bebas berada di dunia ini. Depresi merenggut nyawanya, ketika ekspetasi yang melampaui kenyataan memunculkan pembunuh-pembunuh berdarah dingin yang tak kasat mata.

 “Give me a week, Mom.”

Advertisement

….

SMAN 5 Situbondo berdiri megah, lebih megah daripada ingatan Diana 10 tahun yang lalu. Ingatan manis di masa remaja menurut Diana adalah hanya ketika di masa putih abu-abu. Itulah yang akhirnya membawa Diana kembali ke SMAN 5 Situbondo hari ini, dua hari setibanya dia di Indonesia. Ke tempat dimana Diana pernah merasa sebahagia seperti remaja lainnya.

….

September 2007,

“Dy, belum dijemput bekna (kamu)?”

Dion datang dan memberhentikan sepeda motornya tepat di depan Diana. Dilihatnya cewek kurus, berkulit hitam, berambut keriting, di depannya dengan tatapan penuh tanya.

“Eh, Dion. Belum Dion. Mase’ tadek se engak ka nkok riya reng bungko (kayaknya gak ada yang ingat ke aku ini orang rumah).”

“Mau aku anterin gak?”

Dion berhati baik. Tetapi kebaikan Dion membuat Diana terkejut, belum percaya bahwa Dion, yang bukan teman dekatnya, hanya teman satu angkatan, datang menawarinya tumpangan. Logika Diana menolak. Ibunya pasti marah. Itulah mengapa Diana bermaksud menolak kebaikan Dion.

Diana memperhatikan sekitar, berharap masih ada angkutan apapun yang bisa mengantarkannya ke rumah selain harus berboncengan pulang dengan Dion.

“Helm aku memang cuma satu sih, Dy. Tapi aku yakin gak ada polisi kok ke rumahmu.”

“Bukan masalah helm, Dion. Bukan.”

“Lalu?”

Pertanyaan penuh selidik Dion datang bersamaan dengan teriakan jurusan kernet di angkot yang lewat di depan Dion dan Diana.

“Olean, Oleaaannnn…”

“Aku naik angkot aja, Dion. Terima kasih ya. Dah…. Angkot tunggu angkot.”

Diana pergi menaiki angkot, dan meninggalkan Dion yang terdiam di motornya.

….

Juni 2009

“Dim, dim, dim, “

“Arapa (ada apa), Yon?”

Dion memberhentikan sepeda motornya, dan menepuk tulang kering sahabat karibnya Dimas, untuk memintanya turun dari sepeda.

“Sampai sini aja nebengnya, Dim.”

“Boh, katanya teman, mau mengantar sampai rumah nanti. Ini keluar sekolah belum sampai!“

“Nkok nyoba peruntungan lun (dulu).”

“Apaan?”

“Itu.”

Dion menunjuk ke arah depan Ruang Guru Sekolah, sekitar 50 meter dari tempatnya berhenti. Terlihat Diana, Anti, dan Maria sedang berjalan bersama, juga hendak pulang sekolah.

“3 tahun masih kepikiran mau boncengin orang yang sama. Diterima nggak, ditolak, iya sering. Memang gila kamu ya!”

“Namanya juga usaha, Dim.”

“Masalahnya yang mau diboncengin kamu terus kamu tolak juga banyak, Dion Mahesa. Jangan sok ganteng kamu!”

“Memang ganteng.”

Bahkan Nissa, pacar Dimas sekarang, sempat mengaku pernah mengagumi Dion sebelumnya. Menurut Nissa, belum pernah ada perempuan yang Dion ajak naik motornya untuk pulang bersama, dan itu keren. Dimas yang awalnya tidak percaya, akhirnya beberapa minggu terakhir ini mencoba mengamati gerak-gerik Dion sepulang sekolah jika dia memang kebetulan tidak pulang bersama. Terbukti perkataan Nissa, beberapa kali dia menemukan Dion naik motor sendirian, atau dengan teman-temannya yang laki-laki. Tetapi ada yang lebih membuatnya heran. Sepengamatan Dimas, Dion acapkali terlihat duduk bercakap-cakap dengan bapak penjaga di pos satpam gerbang sekolah, yang membuat Dion pulang agak malam.

Pernah suatu kali, Dimas memberanikan bertanya kepada Dion tentang kelakuannya ini. Curiousity killed the cat. Dan lagi, jawaban Dion memang seperti orang yang sedang dimabok benar-benar oleh cinta.

“Aku nungguin Diana pulang, Dim. Dari pos satpam. Karena kalau dia tahu, aku nekat temenin dia nunggu jemputan, dia pasti nyetop angkot lagi. Yah mendingan aku nungguin dia dari jauh, biar dia tetap mau nunggu, pulang dijemput sama orang rumahnya.”

Lamunan Dimas tentang sosok charming Dion mendadak buyar ketika melihat sahabatnya itu berjalan lesu ke arahnya. Air mukanya masam, lebih suram daripada selesai keluar dari ruangan BK.

“Kenapa ente?”

“Pas nkok mau nyamperin Diana, belum sampai ruang guru nih, motor yang nkok dorong kok lama-lama makin berat.”

“Kenapa emangnya motor ente?”

Dion menatap tajam Dimas dengan tatapan nanar, sambil berkata lirih,

“Taheee… Bocor ternyata ban nya, cuk! Gila ya, nkok ulang tahun bukannya dapat rejeki kek, atau terwujud impian. Malah sial gini. Asu.”

Dimas sempat menahan ketawa. Tetapi tidak bisa. Plot twist ini terlalu membuatnya sakit menahan keinginan untuk menertawakan sahabatnya. Dibalasnya tatapan Dion dengan penuh keibaan yang sedikit sarkas.

“Selamat ulang tahun cuk. HAHAHAHA!!!!!!!”.

………

Diana sudah sampai di gerbang sekolah, di penghujung akhir nostalgia masa SMA nya. Rasa rindu yang tertahankan selama hampir 10 tahun lebih telah sedikit tersalurkan. Meskipun masih ada yang terasa kurang. Namun bagi Diana, di perjalanan kedewasaannya, berlama-lama dalam masa lalu adalah hal yang paling menyedihkan. Jika toh ada yang belum selesai di masa lalu, maka biarlah ditutup seikhlasnya. Menunggu waktu yang tepat untuk menyelesaikannya.

Sebelum Diana meninggalkan sekolah, dia sempat memesan ojek secara online. 15 menit kemudian, sebuah motor berhenti di depan Diana yang berdiri di dekat gerbang sekolah. Lengkap dengan jaket kuning kebangsaan, sang driver, di balik helmnya, dengan khasnya bertanya,

“Dengan mbak Diana Hapsari?”

“Hah? Bagaimana mas?”

“Dengan mbak Diana Hapsari?” Suara dari si driver lebih kuat dari sebelumnya.

“Oh iya, mas.”

“Ini helmnya, ini maskernya.” Kata si driver sambil menyerahkan helm dan masker. “Silahkan naik mbak. Ke Jalan Melati Dawuhan ya, mbak.”

Motor itu pun melaju.

Diana sudah sampai di rumahnya. Begitu turun dari motor, Diana kemudian bermaksud melepas helm dan masker untuk dikembalikan kepada driver, tetapi terburu oleh kalimat yang diucapkan oleh driver,

“Akhirnya ya Dy, setelah 12 tahun.”

Kening Diana mengernyit, penuh tanya. “Maksudnya?”

Sikap Diana membuat driver itu akhirnya memberanikan diri melepas helm yang selama ini menutupi mukanya. Dan ternyata, ….

“Di…Dion???”

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Purna Praja IPDN XXI

CLOSE