Cahaya yang Menyinari Keluargaku

Keluargaku yang sangat kucintai dan sekaligus kubenci

Teriakan, suara pecahan piring, dan suara lain kuhapuskan dari dunia ini tetap aku dengarkan. Berhari-hari selalu kudengarkan suara ini. Jangankan berhari-hari, sudah bertahun-tahun kudengar suara ini. Suara ayah dan ibuku yang bertengkar setiap hari. Ingin rasanya ku ingin memberhentikan mereka, namun apalah diriku yang hanya seorang anak mereka. Anak yang mereka hiraukan dan mereka abaikan.

Advertisement

Walaupun begitu, aku harus tetap mempertahankan senyumanku dan sikap baikku di sekolah, agar orang lain tidak tahu bahwa aku seperti ini dan sebenarnya aku adalah anak populer di sekolah.

Suatu hari ketika hujan merintik di jalanan yang sering ku lewati.
Ingin rasanya aku menangis. Ingin rasanya aku mengucurkan air mataku seperti air hujan yang sedang merintik. Ingin rasanya aku meluapkan semua emosiku. Ingin rasanya aku berteriak sekencang apa yang ku bisa.

Meskipun begitu, aku harus tetap sabar dan tegar, karena pada suatu saat Tuhan yang diatas sana akan memberikanku harapan.

Advertisement

Sesampainya di rumah, aku pun membuka pintu. Seperti biasa, ibuku sedang menonton TV di ruang keluarga dan ayahku sedang bekerja. Ketika aku masuk ke rumah, tidak ada siapapun yang menyapa diriku. Ibuku sendiri pun tidak pernah menyapa diriku. Bahkan dirinya tidak pernah menanyakan keadaanku.

Ingin sekali aku mendapat perhatian dari kedua orangtuaku. Mendengar mereka menanyakanku bahwa aku sudah makan ataupun keadaanku, menanyakan pertemananku di sekolah, dan segala hal yang ingin kudengarkan dari apa yang kudambakan dari orang tua yang berada di novel yang sering kubaca.

Advertisement

Aku sangat rindu atas perlakuan mereka yang mereka lakukan padaku saat aku masih kecil. Melihat ibuku yang seperti itu, aku langsung masuk ke kamarku. Di kamar, seperti biasa aku bermain game dan bertiduran di kasurku.

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah seperti biasa. Selangkah demi selangkah kakiku mulai mendekati sekolah. Akan tetapi, semakin aku mendekati sekolahku. Semakin diriku ingin menjauhinya. Aku ingin menyeselesaikan SMA ku dengan cepat, agar aku bisa menjauhi kedua orangtuaku. Aku ingin hidup sendiri di tempat yang lain yang jauh dari kedua orangtuaku.

Sore hari sudah tiba. Bel sekolah pun sudah berdering. Akhirnya, hariku di sekolah sudahlah usai. Seketika aku ingin keluar dari kelas, suara salah satu temanku memanggilku. Aku pun ingat bahwa ternyata hari ini ada kerja kelompok di rumahku. Akupun membawa mereka ke rumahku.

Ketika sudah sampai di rumah, aku pun membuka pintu rumahku. Akan tetapi, suara teriakan orangtuaku terdengar sangat jelas. Aku pun kaget karena tidak biasanya ayahku datang secepat ini. Kupikir hidupku memang tidak beruntung. Seiringku berpikir seperti itu, langsunglah aku membanting pintuku dengan keras dan mengatakan.

"Maaf ya, hari ini kayaknya gak bisa deh," kataku sambil mencari alasan untuk tidak bekerja kelompok.
"Iya. Gapapa kok," kata mereka.

Aku pun merasa heran. Rasanya ketika mereka mengatakan kata-kata itu tanpa menanyakan alasan untuk tidak bekerja kelompok, ada sesuatu yang ganjal di hatiku. Tidak tahu kenapa, tetapi ketika mereka mengatakan kata-kata itu, rasanya seperti mereka sudah mengetahui apa yang sudah terjadi di rumahku.

Mereka pun bepergian meninggalkan diriku. Kulihat mereka berbisik-bisik di jalanan. Mungkin dugaanku benar. Mungkin aku akan dikucilkan di sekolah sehabis kejadian ini. Dijadikan bahan pembicaraan orang ketika aku tidak berada di sekitar mereka. Aku tidak menahan diriku lagi.

Kehidupanku di rumah dan di sekolahku sudahlah hancur. Aku sudah muak. Rasanya jika kehidupan bagaikan kertas, ingin rasanya merobeknya dan mencabik serta membuangnya di langit. Berhembusan dengan angin dan jatuh diantara tanah.

Aku pun langsung membuka pintuku dan mengemasi semua apa yang kubutuhkan di tas. Aku langsung kembali lagi dan membanting pintu rumah. Sepertinya mereka pun masih tidak sadar bahwa aku sudah pergi dari rumah ini atau mereka menggangapku hanyalah seperti angina yang datang ke rumah mereka dan pergi kembali. Persetan dengan hidup ini!

***

Malam hari pun mulai mendominasi bumi surgawi ini. Dewi malam pun mulai menampakan wajahnya. Wajahnya yang cerah dan diselimuti oleh gelapnya malam. Akan tetapi, baru pada saat itulah mulai muncul kekhawatiran pada muka kedua orang itu. Kekhawatiran dimana anak mereka belum kembali ke rumah mereka.

"Kemana sih anak itu belum kembali?" Kata ibu dengan suara cemas.
"Paling sebentar lagi dia nyampe" Kata bapak.

Akan tetapi, walaupun waktu mulai mendekati tengah malam. Anak mereka pun belum pulang ke rumah.

"Gara-gara kau sih gamau nyari anakmu sendiri. Jadi masih ga pulangkan dia. Kau itu jadi bapak yang benar dong. Cuman bisa marah saja." Kata ibuku.

"Kenapa aku yang salah? Bukannya kamu yang malahan marah kepadaku. Kalau begitu yah kita cari," kata bapakku.

Akhirnya mereka berdua pun mencari anak mereka berdua dimana pun dimana mereka berpikir anak mereka di sana. Akhirnya di sebuah taman mereka melihat anak mereka. Di sebuah taman dimana sebenarnya mereka sering berkunjung dengan anak mereka pada saat ia kecil. Disana terlihat anak mereka yang sedang menginggau.

Mengigau dirinya ketika dirinya kecil dan bermain bersama orang tuanya. Dirinya tertawa dan senyum layaknya dirinya berusia 6 tahun. ibunya pun langsung menangis tersedu-sedu. Tak tertahan bendungan air mata di kelopaknya. Mendengar suara ibunya yang menangis pun dirinya langsung menolehkan wajanya seiring tersenyum dengan berkata.

"Akhirnya kalian kembali," kata diriku sambil melambaikan tanganku dan dengan menampakkan senyumanku.

***

Seketika setelah aku berkata seperti itu, aku pun langsung pingsan. Ketika aku bangun yang kurasakan adalah sesuatu yang hangat. Sebuah pelukan dari kedua orangtuaku dan mata air mereka yang masih menempel di wajahku.

Air mataku pun langsung keluar. Pandangan yang kumimpikan sekian lama pun dapat kulihat dengan kedua kelopak mataku. Kebangungan aku pun juga langsung membangunkan mereka berdua. Mereka pun langsung meminta maaf kepadaku dan aku sebagai anak mereka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali memaafkan mereka, karena sehabis kejadian ini aku berpikir bahwa aku adalah bidadari kecil mereka yang melengkapkan keluarga ini.

***

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE