Cerita dibalik Perjuangan Rupiah


Coba perhatikan uang kalian, pasti kalian sering menemukan tulisan atau logo Bank Indonesia, bukan?


Sudah tidak asing lagi bagi kalian untuk mengenali Bank Indonesia. Sebagai bank sentral Republik Indonesia, Bank Indonesia memiliki peran untuk mengatur keuangan Indonesia dan menjaga kestabilan nilai rupiah terhadap tingkat inflasi terhadap nilai mata uang asing.

Walaupun mata uang milik Bank Indonesia digunakan setiap hari oleh masyarakat Indonesia, sedikit yang mengetahui sejarah dibalik Bank Indonesia itu sendiri. Hal ini mendorong rasa penasaran saya untuk mengunjungi museum Bank Indonesia agar dapat mengetahui sejarah dibalik berdirinya Bank Indonesia.

Musuem Bank Indonesia atau lebih dikenal sebagai Museum BI adalah salah satu bangunan di Jakarta yang dilestarikan oleh pemerintah sebagai salah satu cagar budaya milik Indonesia. Bangunan tersebut merupakan peninggalan kolonial, lebih tepatnya peninggalan De Javasche Bank atau DJB yang dibangun pada tahun 1831 sebagai bank sentral Indonesia sebelum kemerdakaan. Pada tahun 1953, pemerintah Indonesia setuju untuk merubah De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral Republik Indonesia.


Pada tahun 1962, Bank Indonesia meresmikan gedung baru sebagai kantor pusat yang baru. Hal ini membuat bangunan lama menjadi terbengkalai dan tak berpenghuni selama puluhan tahun.


Pada tahun 2006, Dewan Gubenur Bank Indonesia yang menjabat pada saat itu memutuskan untuk merestorasi bangunan Bank Indonesia yang lama untuk dimanfaatkan sebagai museum. Hal ini dilakukan agar dapat memberi pengetahuan kepada pengunjung mengenai peran Bank Indonesia dalam sejarah bangsa. Pada akhirnya, Museum BI diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono pada tahun 2009.

Museum ini terletak di Jakarta Barat, tepatnya di daerah Kota Tua. Di akhir pekan, tempat ini sering dipenuhi oleh pengunjung lokal maupun asing. Sebagian pengunjung sibuk berfoto ria, sebagian lainnya sibuk menikmati keindahan museum. Tidak hanya orang dewasa, namun tempat ini juga dipenuhi oleh anak-anak yang bermain dan berekreasi. Bisa dibayangkan betapa penuhnya museum ini, bukan? Memang sih, museum ini adalah tempat yang sempurna untuk bertamasya sekaligus menyejukan badan di tengah siang panas. Walaupun begitu, saya tetap bertekad untuk mengunjungi museum ini demi memenuhi rasa penasaran saya.

Kunjungan ini bukan pertama kalinya saya ke Museum BI. Terakhir kali saya pergi ke Museum BI adalah 7 tahun lalu saat acara karyawisata bersama teman-teman kelas 5 SD, menjadikan kunjungan ini adalah kunjungan saya yang kedua ke Museum BI. Dengan rentang waktu 7 tahun, saya menduga bahwa bangunan dan isi museum akan berubah seiring berjalannya waktu.

Sesaat sampai di tujuan, mata saya langsung tertuju dengan bentuk bangunannya. Tidak ada perubahan sama sekali! Lekukan dan garis tegas diikuti oleh tembok putih yang megah mengelilingi bangunan ini. Bangunan yang dirancang dengan gaya khas neo-klasikal ini seakan-akan menarik siapapun yang mengunjunginya untuk kembali ke masa lalu. Namun, hal yang membuat museum ini lebih menarik adalah bagaimana bentuk dan desain bangunan ini sangat abadi atau timeless. Hal inilah yang membuat seorang penikmat seni, seperti saya sangat mengagumi arsitektur Museum BI.


Biaya tiket masuk untuk Museum BI adalah sebesar Rp. 5,000, nominal yang cukup rendah dibandingkan dengan tempat wisata lain di sekitar Jakarta.


Setelah membeli tiket, saya langsung bergegas memasuki aula utama museum agar tidak terjebak oleh pengunjung yang terus bertambah dan memenuhi area pintu masuk museum. Di dalam aula utama, terdapat berbagai macam benda yang dipajang, mulai dari artefak, dokumen bersejarah, benda-benda peninggalan masa kolonial, dan lainnya.

Namun, selama saya berjalan mengelilingi aula utama, perhatian saya justru terpusat terhadap diorama atau replika yang dipajang di aula utama. Disitu, terdapat 12 ruang kasir yang telah berfungsi sejak De Javasche Bank masih berdiri dan tetap digunakan oleh Bank Indonesia hingga 1975. Ruang kasir tersebut berfungsi sebagai sarana oleh Bank Indonesia untuk melayani transaksi tunai, penyetoran, pembayaran, dan kredit usaha bagi para pelanggan bank.

Ruang kasir dibentuk menyerupai ruang isolasi untuk menjamin keamanan bertransaksi. Terlebih lagi, ruang untuk bagian kasir sepenuhnya terisolasi dan tertutup bagi siapapun kecuali petugas kasir, hal ini dilakukan sebagai langkah pengamanan untuk menjamin keberlangsungan fungsi Bank Indonesia pada saat itu. Ruang kasir ini sudah tidak lagi digunakan sejak tahun 1975 saat Bank Indonesia telah sepenuhnya beralih menjadi bank sentral Republik Indonesia.

Berlanjut ke aula selanjutnya, benda-benda yang dipajang disini merupakan pajangan sebelum Bank Indonesia berdiri, bahkan sebelum De Javasche Bank berdiri di Indonesia. Berbeda dengan aula sebelumnya, disini saya dapat menyaksikan berbagai macam replika dan ruangan yang menceritakan sejarah pra-Bank Indonesia. Salah satunya adalah bagaimana masyarakat Indonesia dulu bertransaksi sebelum mengenal uang.

Dulu, masyarakat sering menggunakan emas berbentuk kerikil sebagai alat bertransaksi dengan pedagang. Seiring berjalannya waktu, negara-negara yang menjajah Indonesia mulai mengeluarkan mata uang, seperti Belanda yang mengeluarkan dua mata uang sekaligus, yaitu uang De Javasche Bank dan uang Pemerintah Hindia Belanda. Tidak hanya Belanda, namun Jepang sebagai salah satu negara penjajah juga mengeluarkan dua mata uang, salah satunya adalah uang NICA yang diterbitkan oleh pemerintah Jepang. Anehnya, militer Jepang juga menerbitkan mata uang untuk kebutuhan transaksi di Indonesia, menjadikan ini mata uang kedua yang diterbitkan oleh negara Jepang.

Setelah menelusuri aula sejarah pra-Bank Indonesia, saya terus berjalan mengelilingi area museum, niat saya adalah mengelilingi museum untuk 1 putaran penuh. Namun, sangat disayangkan bahwa sebagian area dari Museum BI sedang ditutup untuk renovasi. Saat saya berjalan untuk memasuki aula selanjutnya, saya ditahan oleh papan besar yang tertulis “Dilarang Masuk”. Hati saya langsung kecewa, niat saya untuk mengelilingi museum untuk 1 putaran terpaksa saya batalkan dan terpaksa saya lewati berbagai area museum yang menurut saya menarik. Singkat cerita, saya kembali menuju aula utama untuk mengelilingi area museum lainnya yang masih dibuka untuk umum, seperti ruang numismatik dan ruang emas moneter.

Sesungguhnya, mengunjungi Museum BI merupakan salah satu tujuan yang harus dikunjungi oleh masyarakat Indonesia, terutama warga Jakarta. Tidak hanya untuk bertamasya, namun pengunjung juga dapat merasakan sejarah berdirinya mata uang Rupiah mulai dari masa sebelum penjajahan hingga sekarang. Sebagai warga Indonesia, seharusnya kita bangga menggunakan Rupiah dalam kehidupan sehari-hari.


Tidak hanya untuk bertransaksi, tetapi kita juga dapat menggagumi perjuangan Bank Indonesia yang berperan dalam sejarah bangsa agar Indonesia dapat terus maju.


Oleh karena itu, ayo kita gunakan rupiah sebagai mata uang kita!

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini