Cerita tentang Seekor Tupai dan Kapitalisme Rambutan

Banyak orang berkata bahwa hutan adalah tempat yang paling menyenangkan.

Banyak orang berkata bahwa hutan adalah tempat yang paling menyenangkan. Dedaunan berayun perlahan tertiup angin. Siulan rumpun bambu yang merdu di pinggir sungai berbatu, berpadu dengan kicauan burung nuri dan berbagai macam burung lainnya mengiringi tarian itu. Monyet berlarian kesana kemari, saling mengganggu dan mengejar. Melompat dan memanjat, meninggalkan mereka yang lambat

Di antara hewan-hewan yang sedang bergembira itu, seekor tupai sedang duduk tercenung di muka pohon rambutan tempat tinggalnya. Rambutnya kusut tak terawat. Pipinya kisut dan tulangnya terlihat jelas.

Ketika itu, lewatlah Prenjak sahabatnya. Prenjak turun dan menyapa Tupai.

“Hai Tupai, bagaimana kabarmu?”

“Tak baik. Tiga hari aku belum makan”  

“Mengapa?”

“Aku belum makan sejak kemarin lusa. Sebabnya, pohonku ini telah tua dan tak lagi berbuah. Pernah pada suatu hari aku mencoba untuk makan buah ara. Waktu itu, seekor monyet menyerangku. Beruntung aku dapat meloloskan diri setelah ia mengira aku telah mati.”

“Lalu, apa yang terjadi?”

“Aku pergi dan merawat luka-lukaku yang parah. Empat puluh hari aku  harus bersembunyi. Setelah itu, aku mau pindah pohon. Tapi, semua pohon rambutan telah dimiliki monyet..”

“Lalu kau memutuskan untuk tetap bersama pohon tua ini?” Tanya Prenjak.

“Bisa apa lagi aku.?” keluh Tupai.

“Begini, sahabatku…Kalau kau menginginkan kelimpahan, kau harus menguasai alam. Lihatlah manusia. Mereka bisa makan rambutan kapanpun mereka mau, karena mereka menguasai alam dengan sangat baik. Mereka memberi makanan kepada pohon-pohon itu, dan mengambil buahnya sebagai gantinya. Kudengar, itulah yang mereka sebut sebagai investasi.”

“Maksudmu aku harus memelihara alam agar alam mau bekerja untukku?”

“Eee… Anu.. Ya, kurang lebihnya seperti itu. Alam harus bekerja untukmu agar kamu bisa mendapatkan kelimpahan”

“Dari mana aku bisa memulai?”

“Mungkin dari memiliki pohon rambutanmu sendiri” jawab Prenjak. “Aku pergi dulu, ya. Sampai nanti, Sobat!”

“Hati-hati, Prenjak!” jawab Tupai.

Tupai pun berpikir

“Sekarang, apa yang akan kulakukan?”

Tupai pergi untuk mencari rambutan. Ia merantau. Tatapan Harimau ia diamkan saja. Ia membayangkan bagaimana hidupnya kelak, dikelilingi buah rambutan sepanjang tahun. Harimau mendekat. ‘Ngobrol sebelum makan sepertinya boleh dicoba’ pikirnya. Maka, iapun menyapa Tupai.

“Hai Tupai, sedang apa kau siang-siang begini?

“Ah, iya. Aku sedang berjalan-jalan, bukankah udara di sini sangat menyenangkan?” jawab Tupai

“Tentu saja. Udara di sini memang sangat segar. Makanya aku betah tinggal di sini. Bagaimana dengan kau?”

“Andai saja ada pohon rambutan yang rindang dan lebat buahnya, pasti aku sudah menetap di sini” jawab tupai

“Kau mencari pohon rambutan? Ha-ha-ha… kau datang ke hewan yang tepat, Bung! Aku, Harimau, adalah raja di hutan ini. Aku tahu semua tempat di sini. Akan kutunjukkan kepadamu.”

“Sungguh?” Tupai melongo. ‘masa sih, raja hutan dekil begini?’

“Baiklah, aku ikut denganmu.”

“Naiklah ke pundakku..“

Harimau membawa tupai pergi melewati jalan setapak yang rindang. Beberapa kali mereka melewati perdu rotan yang menjuntai. Sepanjang jalan, mereka bercerita panjang lebar.

“Jadi kau terusir dari rumahmu sendiri?” Tanya Harimau

“Sebenarnya lebih tepat dikatakan aku mencari makanan yang tak membuatku harus bertaruh nyawa. Aku tak mau jika harus berhadapan lagi dengan monyet-monyet itu. Bisa digeprek aku sama mereka.”

 “Kau harus menggunakan siasat.”

“Maksudmu?”

“Kau harus menggunakan kelemahanmu sebagai kelebihan.”

“Sebagai contoh, tubuhku besar. Aku tak bisa memanjat pohon. Tapi, dengan tubuh besar dan kuatku, aku bisa berlari dengan cepat dan langkahku lebih panjang. Aku bisa menangkap buruanku sebelum ia mendekati pohon.”

“Oh, ya ya. Aku mulai paham.” Tupai mengangguk

‘Tubuhku kecil, yang artinya aku bisa memanjat pohon dengan mudah. Tapi, apa yang bisa kulakukan dengan memanjat pohon, jika aku harus bertarung?’ Tupai bingung

“Nah, kita sudah sampai!” seruan Harimau membuyarkan lamunan Tupai.

Di depan mereka, terhampar pohon rambutan yang amat banyak. Buahnya lebat dan merah, Di bawah pohon itu, ilalang tumbuh dengan subur.. Sungguh, indah sekali.

Di antara ilalang itu, Badak memandangi pohon rambutan dengan tatapan sayu. Betapa ia ingin memakan buah-buahan itu, namun ia tak dapat memanjat. Sambil mengunyah ilalang, ia bergumam

“Rambutan.. mengapa aku tak bisa menggapaimu?”

Disaat Tupai sedang memandangi hamparan pohon itu, Harimau tiba-tiba menggoncangkan tubuhnya,

“Hentikan! Apa yang kau lakukan, hai Harimau?” Tupai panik

“Mau makan”

“Hey!!” Tupai berteriak

‘Sekarang apa yang harus kulakukan?’ Tupai berpikir keras

Disaat ia sedang berpikir, ia melihat Badak yang menatap pohon rambutan dengan putus asa

‘AHA!’ Tupai berkelit menghindari mulut Harimau. Ia berlari dengan rute berputar kearah Badak.

“Badak! Tolong aku, Harimau sedang berusaha untuk membunuhku!”

“Apa urusanku denganmu, makhluk kecil?”

“Rambutan. Aku akan memberimu rambutan setiap hari kalau kau mau menjagaku”

“Rambutan? Nikmat apa lagi yang kau dustakan, hm! Deal!” Badak bersorak kegirangan

Harimau kaget melihat apa yang terjadi di depannya. Badak berlari  hendak menabraknya. Tentu saja ia kabur, ‘Boleh juga tupai tadi’ pikir Harimau.

“Terima kasih, Badak. Ini tanda jadi buatmu” Tupai menyerahkan lima buah rambutan kepada Badak

“Ini yang kubicarakan!” Badak bersorak

“Terima kasih!” sambungnya

Tupai mulai memetik rambutan satu demi satu. Ia menanam dan merawat rambutan itu. Ia juga memberi rambutan kepada Badak tiap hari. Badak senang dan dengan setia menjaga Tupai di situ. ‘Sekarang, aku bekerja lebih keras dari biasanya. Capek’ Tupai merenung.

‘Tapi, inilah investasi! Habis ini, aku duduk ayunan makan rambutan. Ayo, kerja lagi!’ Tupai menyemangati dirinya sendiri dalam pikirannya.

Dua tahun berlalu dan Tupai mulai renta. Ia masih bekerja keras, tetapi rambutan yang ditanamnya belum berbuah juga. Sementara pohon-pohonnya juga mulai tua bersamaan.

“Heran aku, mengapa bisa pohon-pohon ini tua bersamaan? Seakan-akna ada yang telah menanamnya. Apabila iya, siapa dia?” Tupai bertanya kepada dirinya sendiri. Tiba-tiba Badak berteriak dari bawah, “Siapapun dia, yang jelas buahnya manis dan segar!”

“Ha-ha-ha, tentu saja Dak! Kau suka?”

“Mengapa pula aku kata tidak? Kalau bukan karena itu, aku tak menjagamu di sini.”

“Ah, kau ini. Ini, makanlah satu lagi!” Tupai memberikan sebuah lagi kepada Badak

“Terima kasih!” Badak melahapnya dengan girang.

Dua tahun kemudian, rambutan yang ditanam Tupai telah berbuah.. Sedangkan pohon-pohon tua itu telah tak berbuah lagi.

Sementara itu, Tupai sedang berbincang-bincang dengan kawan barunya, juga seekor tupai. Tetapi, Tupai ini jauh lebih tua darinya.

“Jadi kau melakukan itu juga?” Tanya Tupai Tua

“Ya. Lalu itulah yang terjadi” jawab Tupai

“Rupanya benar kata orang. Sejarah tak akan berulang, tetapi polanya selalu terulang” Tupai Tua tersenyum simpul.

“Sekarang, siapa berikutnya?” Tupai menengok kebawah dari langit.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini