Cerita Tentang Tunas

Sedih sekaligus sesak menyeruap dalam diri, tatkala seringkali idaman ini hanya dipandang sebagai formalitas. Tentunya tak seluruh khalayak, namun hanya dari mereka kalangan atas. Yang haus akan sanjungan, hanya untuk ajang penaik kelas, lebih lebih untuk pembelaan atau sekedar identitas agar tak ditindas. Hirau, serta abai mereka keras seakan tangguhnya karang ditengahnya biru.

Advertisement

Tak peduli keadaan yang kontras, hanya mereka dan diri mereka sendiri. Tak sadar dengan tampang melas itu, berjuang untuk keadaan diri bukan sekedar tuntutan. Suara memelas itu jelas, kalau saja kau tak berpura tuli. Napasnya semakin cemas, pikiran tak kunjung berumah. Jelas sudah sebabnya, ketidakpastian itu. Ketidakpastian akan nasib yang mereka impikan sedari menjadi tunas. 

Seakan telah diramal oleh sang pujangga, Chairil Anwar dalam salah satu untaian kata indahnya,

“Kami tidak tau, kami tidak lagi bisa berkata

Advertisement

  Kaulah sekarang yang berkata

  Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi

Advertisement

  Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak”, Kerawang-Bekasi, Chairil Anwar.

Tunas itu termenung, bingung, linglung. Masih terlalu muda untuk berontak. Namun mereka merasa, rasa itu peka, selayaknya hasrat yang baru saja tumbuh, lemah, mudah patah. Malangnya, walau sepeka itu raganya, yang dinanti masih belum merasa. Bisa kau bayangkan bagaimana rasa mereka? Sesak yang mendalam, mereka sudah tahu obatnya, namun empu obatnya ini selalu hirau.

Masihkah kau pertahankan perilakumu itu? Tidakkah kau malu atau paling tidak risih dengar rengekan mereka. Ku rasa jawabmu sudah pasti. Risih. Namun ego dan gengsi yang menyeruap dalam tubuhmu mengalahkan rasa itu. Apa sebenarnya yang kau nanti, sampai mereka berhenti merengek? Sampai mereka tak sanggup lagi bersua? Atau mungkin tak ada itikat dalam lubukmu itu?

Entahlah, semakin banyak dugaan yang ada, semakin membuat mereka pupus. Kau yang masih bisa berlenggak, dan mereka yang masih harus merangkak. Kau yang semakin mengudara di langit, dan mereka semakin terperosok ke dalam jurang. Ironi, memang begini nyatanya, yang satu bertambah jaya yang lain semakin teraniaya.

Sembari menanti lekasnya pesan berbalas, bolehkah mereka tertawa? Setidaknya bersama suka cita yang menemani mereka. Entah cita yang akan menjadi nyata atau hanya harapan semu, untuk sedetik ini mereka tidak peduli. Tetapi, ingat kami akan terus bersuka dan berjuang, akankah formalitas kalian menjadi kualitas kami?

 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE