[CERPEN] Renjani dan Psikotik Senja

Ketika senja curangi langit biru, gelapnya malam akan membalaskan dendam.

Langit sedang murka, warna darah yang menakutkan tanpa ampun mencabik keindahan langit biru. Siluet mesra dua insan tergambar jelas di bibir pantai. Keduanya saling peluk, cium, dan bergenggaman tangan. Adu tawa dan senyum mereka pertontonkan kepada senja.

Advertisement

Hati bahagia Renjani jauh dari ekspektasi. Cekung di kedua pipi chubby-nya berubah menjadi nestapa walau cincin emas bermata putih tetap menghias jari manisnya.

"Diam sejenak agar aku bisa menikmati sore bersamamu. Jangan bergerak barang sejengkalpun! Tetaplah disana!"

Cairan bening mengalir dari sudut-sudut netra Renjani. Bibirnya bungkam. Seluruh tubuhnya beku. Tiap rintih senyap malah menjadi bumerang baginya.

Advertisement

"Kehadiranku tak pernah ada yang mengharapkan. Termasuk kamu."

Suara parau seorang pria ditambah bebunyian lonceng yang menguar dari balik pintu merah di sudut ruangan menambah kengerian. Birunya langit mendadak sirna. Hangatnya matahari perlahan pudar. Sejuk angin berubah dingin.

Advertisement

"Renjani, kau berjanji padaku akan menjemputku ketika malam menjelang, memelukku hingga pulas kala itu."

Hening. Hembusan angin meriuhkan setiap helai rambut Renjani. Bibirnya dibungkam perasaannya yang palsu. Hatinya lama terpasung oleh dunia.

"Kau harus menepati janjimu, Renjani. Senja hampir selesai, mulailah hitung mundur waktumu!"

Tawa riuh menggema di seisi ruangan bernuansa putih yang sempit. Di dalamnya terdapat sebuah kasur yang berada di tengah ruangan, tempat Renjani terbaring, sebuah meja berkaki besi yang akan berderit ketika tergeser walau semili, di atasnya segelas air yang tersisa setengah, sebuah pintu merah di ujung ruang, dan sebuah jendela bertirai kemerahan dimana pria itu bersandar menatap nanar mentari.

Renjani meringkuk memeluk lututnya di atas kasur. Tubuhnya bergetar dan gemerutuk gigi beradu semakin kencang. Hitungannya hampir selesai. Dadanya semakin sesak ditagih janji.

"Danar." bisik Renjani lirih.

Sekuat tenaga ia membuka kedua matanya. Jemarinya berusaha menjangkau pria tersebut. "Maaf." tambah Renjani. Kali ini suaranya hampir tak terdengar.

Pria tersebut membalik badannya. Tubuhnya yang bermandi cahaya keemasan senja, semakin mendekati tubuh Renjani. Dingin sikapnya bahkan tak lebih beku dari perlakuan Renjani padanya di masa lampau.

Tangan Danar, menyibakan rambut Renjani perlahan. Ia menyeka pipi Renjani lembut. Tak lupa ia bernostalgia dengan kebiasaan lamanya. Ia membelai ujung kepala Renjani dengan penuh kasih.

"Sudah terlambat, sayangku Renjani. Semua kata maafmu sudah terlambat." bisik Danar dengan suara paraunya, "Aku telah kau antar pulang. Sewinduku merindumu percuma. Kamu yang aku anggap rumah tetap menjadi anganku."

Renjani terisak. Kini semakin menjadi. Ia ditampar dengan kenyataan yang ada. Pahatan kecewa di hati Danar terlanjur dalam. Ruang hatinya sudah tertutup.

"Sayangku, Renjani." Danar kembali mengusap pipi Renjani dengan punggung tangannya. "Cerdik siasatmu curangi perasaanku. Sandiwaramu harus segera berakhir seperti ceritaku ini, sayangku."

Renjani bersikeras melepas cekikan tangan Danar. Teriakannya terasa percuma. Waktunya memang harus selesai karena sisa dosa yang harus ia tanggung.

"Renjani, Renjani?" seorang wanita berpakaian serba putih masuk ke ruangan tersebut. Di belakangnya dibuntuti oleh seorang lagi dengan stetoskop di lehernya. Seorang memeriksa selang infus Renjani yang menjuntai dan seorang lagi membenarkan posisi tidur Renjani.

"Tepat pukul 17.17 kesadaran pasien menurun lebih buruk dari kemarin. Tambah dosis penenangnya!" suruh salah seorang wanita ke wanita yang satunya sebelum mereka berdua meninggalkan Renjani sendirian.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

trying to be a better 'cungpret'

CLOSE