[CERPEN] Cinta Bukan Berarti Tanpa Pertengkaran

Sebuah kisah dari pengantin baru. Aku dan kamu yang sama-sama sedang berusaha saling mengerti

Sabtu malam itu, aku selesai kuliah lebih awal. Biasanya sampai pukul 8 malam, ketika itu pukul 5.40 sudah selesai. Aku sudah membayangkan akhirnya bisa bermalam minggu dengan suami. Dia yang suka sekali jalan-jalan dan aku yang selalu bersedia menemaninya selelah apapun. Malam itu, aku berencana menjadi seseorang yang mengajak. sekali-kali… 

Advertisement

Ketika perkuliahan selesai, aku buru-buru keluar gedung  dan senyumku merekah begitu melihatnya menungguku di atas motor. Aku berlari ke arahnya, mengambil tangannya untuk kucium. Dengan semangat menaiki motor lalu berkata “Abi sholat dulu aja abis itu kita jalan-jalan yuk…”

“Saya harus menemani para siswa malam ini…” katanya.

Aku pun langsung terdiam. Sedikit kecewa dan sedih tapi tak bisa melarangnya. Kami bekerja di sebuah institusi pendidikan yang menyediakan asrama untuk anak-anak. Ada saat-saat dimana suamiku merelakan malam-malamnya bersama mereka ataupun untuk kegiatan-kegiatan lain. Tidak apa-apa. Aku bisa mengerti.

Advertisement

“Besok aja ya kita ke Water Blaster.” bujuknya.

Aku pun kembali girang. “Beneran?”

Advertisement

“Iya…. sama anak-anak juga.” 

Whatttt????? “Sama anak-anak? Anak-anak cowok? yang bener aja bi? masa aku ikut..”

“Emangnya kenapa?”

“Mereka semua udah besar. Anak SMP. udah ABG. masa saya ikutan. Perempuan sendiri.”

“Ya nanti terpisah.. Mereka di tempat sendiri kita di tempat yang lain. Tapi saya sambil cek keadaan mereka.”

“Emangnya disana ada berapa kolam?”

“Emmm kurang tau juga sih”

Aku terdiam lagi. Tak ingin menambah debat berkepanjangan. Sudah jelas aku tak mungkin ikut. Jika pun ikut, aku tahu Abi malah akan repot karena harus memikirkanku padahal posisinya harus mengawasi anak-anak. Aku tahu dia tidak enak meninggalkanku tapi punya kewajiban untuk mendampingi anak-anak. Aku tak mau jadi beban yang merepotkan.

Entah malam itu apa yang terjadi dengan hatiku. Aku tidak ikhlas membiarkannya pergi. Lelah fisik, pikiran, dan hatiku membuatku tak bisa sendiri…. Memasuki rumah yang tak terurus, berantakan… Istri macam apa aku ini… Tapi terlalu lelah untuk mulai merapikan. Diam-diam, perasaan gelisah dan marah merasuki pikiranku. Aku merebahkan diri di kasur dan air mata mengalir.

Menangis lagi!

Betapa cengengnya…

Emosi-emosi yang tertahan di dalam hati tak bisa kubendung lagi, meluruh dan meluap bersama butiran air mata yang membasahi pipiku. Malam mingguku bersama air mata, dan rasa tak karuan yang bercampur.

Aku pun tertidur. Pukul 8 malam dia pulang. Mengecek kondisiku, dan mengira aku sakit. “Baby, satenya belum dimakan? makan dulu yuk..” Aku menggeleng. “Baby sakit ya? Makan dulu yuk sebentar. Atau sini minum dulu.” Aku tetap menggeleng. Aku kira dia akan memelukku dan menemaniku. Tapi kemudian aku sadar, tak ada lagi suara apapun. Kembali hening… Apakah dia pergi lagi?

Aku benci ini. Air mata kembali mengalir. Aku tak bisa membuatnya berhenti. Aku menangis dan menangis. Hingga aku lelah, dan memutuskan untuk bangun. Sudah cukup!

Aku lapar… Aku pun makan, dengan mata yang sangat sangat sembap!

Dan Abi pulang…. Aku tak berani menatapnya. Tapi akhirnya dia melihat mataku yang sembap. “Nangis ya? Masih tentang pekerjaan ya?” tanyanya.

Aku menggeleng dengan lemah. Malam itu, aku tidak bisa menceritakan apapun. Aku tak tahu bagaimana menjabarkan perasaan yang campur aduk itu…

Malam itu, sampai akhirnya kita memutuskan untuk tidur, dan melanjutkan aktivitas esok hari. Esok hari yang ternyata tak kalah sedihnya…

Pagi itu kami terbangun, dan suamiku kembali membujuk untuk ikut ke Water Blaster. “I’m in my period.” Kataku.

“Ga boleh ya?”

“Ga boleh…”

Dia terdiam… “Mikirin apa”? Tanyaku padanya yang sedang terlihat seperti menerawang.

“Tadi malam nangis kenapa?”

“I don’t really know.”

“Tentang pekerjaan kah? Ada kejadian apa di sekolah?”

“Engga ada apa-apa. Cuma many things to think. Dan masuk ke rumah, melihatnya berantakan semua, lumayan bikin stres.”

“Gapapa, rumah kecil bersihin sebentar udah beres.” hiburnya.

“I’m really sorry. Abi kasihan banget dapat istri kayak aku.” kataku lemah. Dia mempererat pelukannya.

“Don’t say that way. We’re learning together about everything. Menyesal boleh, tapi kalau berlebihan jadi ga baik. I love you.”

Hangat peluknya, membuatku ingin menangis lagi… I love you too! hatiku berteriak. 

Kulihat matanya, menerawang lagi. “Mikirin apa?” tanyaku.

“Sebenernya aku stres kalau lihat baby nangis.”

“Oya? stres gimana”

“Iya… Stres banget. Bingung harus gimana. Ngrasa aku ga perhatian banget ya kayaknya.”

“Emang iya kan?” kataku jahil. :D

Menyiapkan sarapan berdua, dan makan berdua!

Pagi itu, kami berdua menikmati waktu pagi yang indah. Sampai pada saatnya Abi harus berangkat. Pukul 8 tepat, dia berangkat dan berkata “Beneran ga mau ikut?” Melihatku menggeleng, dia melanjutkan “Nanti kalau mau ikut nyusul aja ya.” Akupun mengangguk, tanpa berniat untuk melakukannya.

Dia menengok lagi. “Saya mungkin sampai dhuhur, Baby.” katanya.

“Hah?!” Aku melotot kaget. “Lama amat…” kataku lemah.

“Iya, sampai puas.” katanya tersenyum lebar.

Aku cemberut, menutup pintu di depannya. Agak kurang sopan, tapi emosiku berkecamuk lagi.

Pagi itu, aku menghabiskan waktu untuk merapikan rumah. Setelah semuanya selesai, aku menghibur diri dengan menonton youtube. Kemudian tiba-tiba berpikir untuk mendaftar CPNS. Hari itu adalah hari terakhir pendaftaran. Dengan lemah, aku mulai membuka akun pendaftaran. Aku lelah disini. Jauh dari keluarga, dan tidak tahu ke depannya bagaimana. Rumah disini begitu mahal, dan ketika aku punya anak nanti, aku akan kerepotan. Akan lebih mudah untuk tinggal dengan Bapak-Ibu. Kemarin kami sempat membahas ini, dan abi bilang jika aku nantinya diterima PNS di Pekalongan, maka kami akan berjauhan dan mungkin bertemu sekali sebulan.

Aku tidak peduli lagi. Aku memutuskan untuk mendaftar.

Proses pendaftaran berlangsung lama karena aku belum menyiapkan apapun. Hingga tiba pukul 11 siang, aku memutuskan untuk print yang kubutuhkan. Aku berpikir, ‘Aku harus buru-buru. ini sudah jam 11, Abi akan pulang sebentar lagi. Tunggu, aku harus siapkan makanan apa ya. Ah tapi abi sama anak-anak. pasti akan ajak mereka makan siang juga.’ Dan akupun memutuskan untuk membeli makan siangku sendiri.

Kembali ke rumah, pukul 11.40. Melanjutkan proses pendaftaran, lanjut makan siang.. Hingga jam 12.50… Abi belum pulang juga. Mungkin sebentar lagi… pikirku.

Pukul 13.30. Belum pulang juga… Mungkin sebentar lagi… Aku kembali menunggunya, sampai tertidur pukul 14.00.

Terbangun pukul 15.30, aku mencoba mencari tanda kehidupan orang lain. Satu sosok yang mungkinsudah kembali pulang. hening…. Madih belum ada siapa-siapa. Aku cek handphone ku. Ada pesan darinya.

“Hi, baby… lagi ngapain?” pesannya terkirim pada 15.13.

“Waiting for someone.” balasku, yang kulanjutkan dengan, “Abi ga ngrasa udah keterlaluan? Bilangnya sampai jam 12 tapi jam segini belum balik? dan baru ngubungin jam 3?” luapku emosi.

“Sabar..” katanya. “Boleh jemput sayang? Anak-anak sudah pulang, tiba-tiba Rian datang… Jadi saya temani dia. Ini mau pulang. Bisa jemput?” jelasnya panjang lebar.

And you know what?! AKU GA PEDULI! Memangnya kalau ada Rian jadi ga bisa kasih kabar? Kemana aja dari tadi??? Baru ngubungin pas butuh aja gitu ya! dan Rian ini kenapa ga tau diri amat sih! Datangnya telat, ga ngehargain waktu orang lain! Emangnya gurunya ga ada kerjaan lain selain nemenin siswanya renang-renang gitu! AKU BENCI!

Tapi dengan lemahnya, aku membalas “Iya. Saya tunggu depan gerbang.”

“Ya…” balasnya.

Aku bersiap-siap lalu berangkat dengan hati membara. Amarah yang kutahu tak pantas karena amat sepele. Logika ku sangat dewasa dan logis. Tidak ingin hal macam ini menjadi perusak hubungan. Dia tidak salah. Dia terlalu baik. Aku tidak sepantasnya marah. Tapi hatiku berkata, dia tidak peduli padaku. Pernahkah dia memikirkan perasaanku ketika memutuskan sesuatu? Tidak bisakah dia mengingatku yang dari tadi gelisah menunggunya? Lupakah dia bahwa berkali-kali aku bilang, aku tidak suka menunggu! Padahal dia berjanji untuk silaturahmi ke rumah temanku sore ini. Dan bahkan dia tidak merasa bersalah! Tidak ada kata maaf terketik. Apa dai menganggap ini hal remeh yang tak perlu diungkit?! Sekecil apapun kesalahan itu, bukankah tetap butuh kata maaf? Satu kata maaf yang bisa memperbaiki hati yang tersakiti. Salah satu kata ajaib yang bisa meluruhkan rasa kecewa di hati.

Aku mendatanginya dengan muka masam. Tersenyum kecut ketika dia membuat candaan, dan menghindari kontak mata.

Dia menyadari suasana dingin ini. Tapi tetap stay cool dan berusaha bersikap biasa saja. ‘Tidak merasa berbuat salah ya?’ batinku.

“Nanti saya mau jenguk Ms. Feni di RS. Dia sakit. Ikut ga?” kataku lirih.

“Yuk… di RS mana?

“Hermina.” Jawabku sambil menyiapkan dokumen-dokumen yang harus ku scan. 

“Jadinya daftar PNS?”

“Iya.”

“Di Pekalongan?”

“Iya.”

Hening… dan terdengar suara ngorok. Abi tertidur! terang saja lelah setelah renang seharian!

Ketika aku siap untuk berangkat, Abi terbangun. “Udah siap? Yuk berangkat..”

“Abi capek, tidur aja.” dan aku pun keluar rumah, mengambil motor dan siap berangkat tanpa salim padanya ataupun menatap matanya. Dia berdiri di depan pintu, mata menerawang. Aku berhenti di depan rumah, pura-pura mengecek HP, memberinya kesempatan jika benar-benar ingin mengantarku. 10 detik, 20 detik… hingga satu menit. Dia tetap diam dan tak satu katapun yang keluar dari bibirnya. Aku pun melaju.

Perjalanan pulang dari rumah sakit pukul 6.15, aku melihat wa story nya yang menunjukkan bahwa dia di asrama siswa. Aku sengaja mampir membeli buah untuknya, dan membeli ayam geprek untuknya maka malam. 

Pesan darinya masuk,”Baby, pulang jam berapa?”

Emosiku terpancing. Aku lelah pura-pura selalu baik-baik saja. “Peduli tho?” balasku. Pendek, tapi cukup menohok.

Berbagai imajinasi tentang balasan apa yang akan kuterima melayang-layang. Dan kemudian, “What do you want sih sebenernya?”

What????? ARE YOU KIDDING ME???? You’re the one who made mistake, without any sorry, then when I’m angry dengan mudahnya kamu tanya mauku apa! Air mataku meluruh. Lagi! 

Aku ingin membalas pesannya dengan marah. Tapi kemudian aku kembali menengok hatiku. Ya, sebenarnya apa mauku? 

“I wanna angry but you didnt like it

I wanna cry but dont want make you stress

I wanna tell us to talk about many things but you dont like "keribetan"

And I need someone to share about my mind but you seem dont too care about what I think or my feeling

I really try my best to not doing what you dont like. But I think I'm not too strong, my inside is really sick now. I dont want to make you stress… dont want you to see me cry anymore, but I need it now…”

Akhirnya aku mengetahui apa yang salah dari kami. Selama ini aku selalu memendam kecamuk dalam hatiku. Karena logikaku berjalan dengan sangat baik. Aku pun bisa menahan amarah dengan begitu rapi. Tapi hatiku kacau balau. Deep inside of my heart banyak luapan yang seharusnya tersalurkan. Aku menyalurkannya dengan menangis, tapi seharian ini tangisku tak bisa pecah setelah mendengar pengakuannya pagi tadi bahwa dia stres melihatku menangis.

Aku tak pernah marah, karena pertama aku memang seseorang yang tak bisa marah-marah, dan dia pun tak menyukai amarah. Aku menahan seluruh emosi yang dengan pasti akhirnya bisa tumpah dengan 1 cara. Tangis.

Tapi dia tidak mengerti, aku juga butuh luapan cerita yang seringkali tidak dia perhatikan. Hubungan rumah tangga yang tanpa pandangan tentang masa depan, dan ketidakteraturan ini juga membuatku merasa kacau.

Terakhir, aku mampir di fotokopian untuk men-scan dokumen-dokumen. Disana, aku membuka pesan dan melihat Abi membalas dengan penuh emot heart dan mengajak makan!

Santai sekali dia! Masih ga merasa salah ya! Heran deh…

“I need time, it’s really hurt…” balasku.

Walaupun berkata begitu, aku tak tega. Selesai scan, aku langsung pulang. 

Sampai di rumah, dia tersenyum. Aku masih belum bisa menatapnya. Dia berusaha memelukku. Aku menghindar. Aku belum bisa. Aku butuh waktu.

Dengan gerakan gesit kusiapkan makan malam, buah, dan minuman. Suraku lemah, “Yuk makan…” tanpa menatapnya.

Kami makan dalam hening. Dia bertanya tentang kondisi Ms. Feni. Ku jawab sesingkat mungkin dengan suara lirih. Masih tanpa memandangnya. Kuambil laptop, dan kemudian mulai upload dokumen-dokumen. Sambil makan. 

“Setelah ini saya ke sekolah ya.” kataku. Kamu tau bi? Aku berencana ke sekolah tadi siang. Bersamamu. Butuh seseorang yang menemaniku sambil lembur. Tapi lihatlah, sekarang sudah hampir jam 8 malam dan mana tega aku memintamu untuk menemaniku?

“Ngapain?” tanyanya.

“Menyiapkan untuk hari guru besok.”

“Iya. Pulang jam berapa?”

“Belum tahu. Kalau selesai, baru pulang.”

“Butuh ditemani?”

“Abi capek, istirahat aja…”

Dan aku pun berangkat.

Aku pulang pukul 11 malam. Abi sudah tidur.

Aku tidur di sampingnya.Tidak sanggup menatapnya, aku pun keluar. Bersama bantal, guling, dan selimut aku ke ruang tamu bersiap tidur. Balik kanan balik kiri, aku masih saja terjaga. Lalu Abi terbangun. Ke toilet, kemudian menghampiriku. “Baby, ayo tidur di kamar.” Katanya dengan suara berat. Aku setengah berharap dia akan menggendongku ke kamar. Karena beberapa kali dia melakukannya. Tapi dia berlalu dan kembali ke kamar.

Setelah itu, kudengar suara-suara kegelisahan…

Abi terdengar tak bisa tidur. Dia gelisah. Aku pun gelisah. 5 menit, 10 menit… Terdengar kegelisahannya belum usai. Tak tega, aku pun berdiri dan berjalan menuju kamar. Berbaring di sampingnya. Abi langsung sadar. Dan meraihku dalam pelukannya. Aku tidak menolak kali ini. Pasrah dalam eratnya pelukan suami. Semakin erat dia memelukku, mengusap-usap punggungku. Aku merasakan detak jantunya berdegup, dan rasa rindu yang meluap…

“Abi kenapa?” tanyaku lembut.

Matanya tetap terpejam, tapi tangannya erat memeluk. Panas… Aku berpindah posisi, dan dia tetap mencari cara agar aku tetap di pelukannya. Keringat mengalir di tubuhnya. Di musim kemarau ini, Semarang terasa amat panas. Biasanya, dia akan melepas pelukannya untuk mendinginkan badan. Tapi malam itu, pelukannya tetap erat.

“Do you miss me? tanyaku lagi. Pertanyaan yang tak butuh jawaban.

Dia hanya membalas dengan pelukan yang semakin erat, menghujaniku dengan ciuman. Hangat, nyaman, aku pun merindukannya teramat sangat.

“Don’t leave me..” Bisiknya.

“I’m here…” kataku, sambil memeluknya erat, dan menghujaninya dengan ciuman.

Ya rabb, aku sangat menyayangi orang ini. Jaga dia selalu…

Malam itu pelukannya tak lepas. Membuatku tak bisa tidur. kepanasan. Hingga dia akhirnya bangun pukul 2 malam untuk sholat tahajud. Lalu aku terlelap…

Pagi itu, kantuk menggelayut. Abi membangunkanku, menggenggam tanganku, dan menarikku hingga berdiri. Aku bangun dengan nyawa setengah, kupeluk erat dirinya. Lupa bahwa kemarin aku teramat kesal padanya.

Perjalanan ke sekolah pagi itu, Abi berkata, “Nanti kalau baby diterima PNS, aku jadi pengusaha di Pekalongan ya.” katanya. Aku tersenyum, seingatku kemarin dia bilang kami akan bertemu sebulan sekali. Aku memeluknya pinggangnya lebih erat. Teringat kata-katanya semalam, “Don’t leave me.” Never.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE