Cinta Terindah

Pagi itu, langit tampak biru dengan sedikit awan putih di langit. Hari ini adalah awal tahun ajaran baru. Seperti biasanya, untuk membuka tahun ajaran baru setiap Sekolah Menengah Atas (SMA) mengadakan Masa Orientasi Siswa (MOS). Demikian juga di sekolahku.

Advertisement

MOS kali ini adalah suatu kesempatan yang sangat berharga bagiku. Ini merupakan kesempatan yang sangat langka. Ya, sebagai ketua kepribadian dan budi pekerti luhur dalam Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), aku memiliki kesempatan sebagai salah satu anggota panitia MOS kali ini. Menjadi panitia MOS adalah kesempatan yang sangat berharga bagiku. Mungkin dan dan memang pasti demikian bahwa ini adalah kesempatan pertama dan terakhir bagiku menjadi paniatia MOS. Sebentar lagi aku akan tamat dan meninggalkan sekolah ini.

Hari ini aku mendapat giliran menangani para murid baru yang ganteng dan cantik-cantik. Aku diberi kesempatan untuk membawakan program bina mental serta menanamkan nilai-nilai budi pekerti luhur kepada siswa-siswi baru. Dalam pemaparan tersebut, entah mengapa tiba-tiba mataku berpapasan dengan sesosok tubuh indah dengan paras cantik yang menempati salah satu kursi di barisan paling belakang. Jujur, saat itu aku merasakan sesuatu yang berbeda. “Apakah aku jatuh cinta?” aku bertanya demikian dalam hatiku. Mmm…, entahlah.

Seminggu telah berlalu dan MOS pun telah berakhir. Kegiatan belajar mengajar di kelaspun sudah berjalan normal sebagaimana biasanya. Tidak sedikitpun aku melupakan tatapan matanya waktu itu. Setiap hari aku berusaha mencari tahuu dimana kelas gadis itu dan siapa namanya. Setelah bertanya-tanya, tenyata gadis manis itu adalah Dewi murid kelas 10 A. Dewi memang cantik dan mengagumkan bagiku. Aku telah jatuh hati kepadanya. Aku berusaha bagaimana cara mendapatkan cintanya.

Advertisement

Cinta memang aneh, datang tak kenal waktu. Aku hanya bisa merasakan kapan cinta itu datang dan kapan pula perginya. Saat cinta bersemi, semuanya akan menjadi indah dan merubah segalanya menjadi rindu. Ya, aku merindukannya saat ini. Tetapi aku tidak tahu bagaimana cara mendapatkan cintanya.

Dewi…, Oh, kenapa aku jadi terus teringat kepadanya? Akhirnya aku mengambil secarik kertas dan mulai menuluskan segala perasaan hatiku pada Dewi sang kekasih impian hatiku:

Advertisement

Dear Dewi:

Dewi, pertama sekali maafkanlah aku jika kedatangan suratku ini mengganggu konsentrasi belajar kamu. Aku harus jujur padamu bahwa selama ini aku telah berusaha untuk tidak mengatakan apa yang aku rasakan. Jujur, memendam perasaan itu adalah siksaan bagiku. Namun semakin lama perasaan itu tak sanggup aku bendung lagi. Sehingga dengan berani aku menulis surat ini…

Semenjak hari pertama MOS, wajahmu yang cantik menawan hati itu tak sekejap pun hilang dari ingatanku. Aku telah terlanjur jatuh cinta padamu Dewi. Kamu adalah pilihan hatiku dan tidak ada yang lain lagi selain kamu seorang. Di mana aku memandang, seakan kamu ada di sana. Inikah yang dinamakan cinta? Aku tidak tahu Dewi. Yang ku rasakan hanyalah bahwa aku selalu merindukanmu dan ingin sekali bertemu dan berbagi cerita bersamamu selalu.

Bagiku, kamu adalah bintang kejora yang ku impikan selama ini. Di mana saat aku bertemu denganmu, di sekolah atau di manapun itu yang ku rasakan hanyalah bahagia. Tetapi aku tidak tahu harus dengan cara apa aku mengungkapkan perasaanku ini padamu. Namun aaku tidak tahu apakah bintang kejora yang kuimpikan itu masih bebas di langit malam nan biru? Belum ada yang memiliki? Jika memang sudah ada yang memiliki hatimu, aku mohon maaf karena sudah dengan lancang menulis surat ini. Semoga kamu mengerti akan perasaan hatiku. Rian.

Beberapa hari berlalu, surat yang kutuliskan telah dibaca oleh Dewi. Ternyata Dewi menerima cintaku. Namu aku belum puas dengan jawaban itu. Aku ingin memastikannya sendiri bahwa Dewi benar-benar mencintai aku. Maka aku memutuskan untuk menemui Dewi secara langsung.

Suatu hari setelah pulang sekolah, aku memberanikan diri untuk mrnemui Dewi. aku mengutarakan maksudnya dan mengajak Dewi ‘ketemuan’ di Kebun Binatang besok setelah pulang sekolah.

Sepulang sekolah, Dewi langsung meluncur ke arah Kebun Binatang dimana aku memintanya untuk menemuinya di sana. Dewi buru-buru, karena ia tak mau mengecewakan calon kekasih hatiku. Namun rupanya Dewi sudah tiba lebih dahulu di sana sebelum aku datang. Aku baru muncul setelah Dewi menunggu hampir lima belas menit.

“Dewi…”! seru ku begitu melihat Dewi yang glisah mencari-cari sesuatu. Dewi berpaling ke arah datangnya suara. Dewi tersenyum ketika melihat aku datang. “Sudah lama menunggu?” tanya ku. “Ah, Tidak. Dari sekolah aku langsung kemari. Aku takut kamu kelamaan menunggu aku”. “nyatanya, justru kamu yang malah menunggu aku” sahut ku sambil tersenyum. “ah, tidak apa-apa kok” balas Dewi.

“kita cari tempat untuk ngobrol, yuk?” ajak ku. Dewi menurut. Maka kami pun melangkah beriringan menuju sebuah café di tengah-tengah taman itu. Sambil menunggu pesanan datang, kami pun ngobrol diselingi canda Dewi yang penuh dengan daya pikat tersendiri.

“dewi…”

“ya?”

“Aku benar-benar merasa bahagia saat ini”.

“Kenapa?”

“Karena akhiranya aku bisa mendapatkan bintang kejora yang ku impikan selama ini”.

“Aku juga…”

“Kenapa..?”

“Karena akhirnya aku pun menemukan matahari kehidupan yang selama ini ku dambakan. Yang jelas, setelah pertama kali kita bertemu, tidak sesaat pun aku melupakanmu”. “O, ya? aku juga…” balas ku denga perasaan senang. Setiap aku dan Dewi lalui bersama penuh canda dan tawa.

Hari berlalu, bulan berganti, akhirnya tibalah saatnya bagi kami untuk mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN). Ujian akhirnya kami laksanakan dengan baik dan kini saatnya bagi aku dan Dewi untuk menentukan ke perguruan tinggi mana mereka harus melanjutkan pendidikan. Ini juga berarti bahwa aku dan Dewi harus berpisah.

Hari ini adalah perpisahan sekolah. Suatu momen yang sangat berat bagiku maupun Dewi.

“dewi…” Aku memecah kesunyian di antara mereka.

“Ya..”

“Kamu ingin melanjutkan ke mana setelah dari sini…?”

“Yah, belum tahu juga Rian, yang jelas aku ingin ke Semarang.

“Kalau kamu…??”

aku terdiam sejenak.

“Dewi..”.

“Ya…”.

“Aku telah memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di sini saja. Ini adalah keputusan saya dan kedua orang tuaku juga mendukungnya”.

“Kamu serius…?” tanya Dewi dengan suara sedikit gemetar.

“Ya…, kamu merelakan aku pergi kan…???” tanya Dewi kepadaku.

“Dewi, kemanapun kamu melanjut itu adalah pilihanku juga, dan apa yang menjadi kebahagiaanmu aku juga ikut berbahagia. Pergilah! Aku merelakanmu. Namun aku yakin jika Tuhan berkehendak lain, kita pasti akan bersama-sama lagi. Jangan lupa SMS atau menelepon aku”, lanjut Dewi.

“sayang, nomorku tidak akan pernah aku ganti, sebab nomor itu memiliki kenagan tersendiri bersamamu. Percayalah, walaupun dipisahkan oleh jarak dan waktu namun hati kita selalu dekat”. Balasku meyakinkan Dewi.

Dengan berlalunya waktu akhirnya saat yang tak aku sangka-sangka datang juga. Siang itu aku sangat lelah sehingga aku ketiduran sehingga tidak sadar jam telah menunjukkan pukul 14.04. Dalam keadaan setengah sadar aku mendengar hand phone ku berdering. Dengan cepat aku mengambilnya dari meja di samping tempat tidurku dan mulai membukanya. Aku kaget dan tidak percaya ketika membaca pesan itu. Dalam pesan tersebut Dewi memintaku menjemputmu di pintu gerbag rumahku. “Ah…, kamu hanya bercanda saja” demikian pikirku dalam hati. Akhirnya dengan berat hati aku mengikuti perintah Dewi. Aku keluar dan mengambil sepeda kecilku dari gudang, lalu dengan segera aku menuju ke gerbang untuk membuktikan apakah yang Dewi katakan itu benar atau hanya sebuah kebohongan belaka. Waktu itu ada dua pikiran dalam benakku. Pertama, jika itu hannya canda belaka, tidak mengapa. Sebab, aku telah berencana akan pergi dengan sepeda kecilku ke mana saja aku mau. Dan itu telah aku beritahukan kepada Dea adikku. Yang kedua, jika itu benar maka aku akan memeluknya dan mengatan betapa aku merindukan kehadirannya.

Dengan sepeda kecilku aku melaju dari atas. Aku menghentikan sepedaku dengan tiba-tiba sehingga ban belakangnya terseret panjang. Aku tersentak kaget ketika melihat seseorang dengan sosok tubuh begitu indah berdiri mebelakangi arah dimana aku datang. Aku tidak percaya. Aku tidak tahu dengan kata apa harus ku ungkapkan kebahagiaanku saat itu ketika aku mengetahui dan melihat dengan jelas bahwa itu adalah Dewi. Karena perasaan haru dan bahagia yang luar biasa saat itu, aku kehilangan kata-kata. Aku tidak tahu mau mengatakan apa kepadanya saat itu. Yang aku rasakan hanyalah kebahagiaan yang luar biasa.

Akhirnya dengan langkah santai aku menuntun Dewi menuju ke rumahku. Ya, rumah dimana kami berbagi cerita di saat Dewi masih di sini. Jujur, saat itu aku sangat bahagia karena Dewi masih mengingatku dan mengunjungi aku. Aku juga tahu bahwa masih banyak keluarga yang harus Dewi kunjungi selama liburanmu kali ini. aku juga tahu bahwa waktu liburan Dewi sangat singkat, namun aku bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena Dewi masih mengingat aku. Dewi telah berkorban banyak untukku. Korban waktu, korban tenaga dan segalanya demi aku. Lebih lagi, semua itu karena Dewi masih mencintai dan menyayangiku seperti yang dulu. Jika tidak, Dewi tidak akan datang melihat aku di sini.

”Sayang, aku tidak tahu dengan apa aku harus mebalasnya kepadamu. Yang aku miliki hanyalah cinta dan perhatian. Aku yakin kamu tidak akan menuntut lebih daripadaku selain kedua hal itu. Maka sebelum kamu pergi, sekali lagi ingin kukatakan bahwa aku sayang padamu. Aku akan selalu menjagamu sampai kapanpun. Walau dari tempat yang jauh ini. Bahkan bila aku mati, ku kan berdoa pada yang ilahi, agar kita bisa bersama lagi di surga nanti. Aku akan mengingat dan merindukanmu setiap saat”. Inilah kata terakhir dariku sebelum Dewi kembali lagi ke Semarang.

Hari berlalu, tahunpun berganti. Setiap hari aku dan Dewi saling bertanya tentang kabar masing-masing. Kisah itu masih aku ingat dengan jelas. Aku ingat saat itu Dewi mengatakan kepadaku untuk tetap dan selalu menjadi sahabat terbaiknya selamanya. Aku juga ingat ketika Dewi bertanya apakah aku selalu kangen dengannya. Aku mengatakan bahwa itu benar. Aku selalu merindukanmu di setiap langkah hidupku. Tahukah kamu apa yang ku minta di setiap doa sepanjang hariku? Aku selalu meminta kepada Tuhan agar kamu selalu dilindungi. Sekali lagi aku katakan bahwa aku tidak akan pernah berhenti mencintai dan menyayangimu sampai kapan pun. Aku tidak akan menuntut lebih dari kamu. Aku hanya ingin agar kamu tetap menjadi sahabat terbaikku selamanya. Engkaulah sang Dewi ku. Tinggallah bersamaku selamanya.

Namun sayang…, semua tidak seperti yang aku bayangkan. Ya…, ia telah berubah. Ia tidak seperti Dewi yang aku kenal dulu. Semenjak Dewi berkenalan dengan kekasihnya yang baru itu, aku semakin di lupakan. Memang aku sadar bahwa aku bukan pilihan hatimu dan aku juga tidak pantas untukmu. Maka aku harus pergi…, Ya. Mungkin inilah waktunya. Namun sebelum aku berlalu… aku ingin mengatakan bahwa apa yang pernah aku katakan kepadamu dulu, akan selalu hidup di hatiku. Semoga kamu bahagia bersamannya… lebih bahagia dari yang pernah aku berikan untukmu. Akhir kata: “HASTA LA VISTA, BABY….”.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

TENTANG PENULIS=> Nama lengkap: Frederikus Mikhael Sila Nama panggilan: Erick Sila TTL: Sallu, 05 Februari 1987 Email: ericksevensix@gmail.com atau ericksila@yahoo.co.id Saya, Erick M. Sila merupakan anak ke-4 dari enam bersaudara. Saya lahir di Seoam/Sallu, Kec. Miomaffo Barat, Kab. Timor Tengah Utara, Timor-NTT pada 05 Februari 1987. Menempuh pendidikannya di SD Negeri Impres Lemon, SMPN 2 Kefamenanu, SMAN 1 Miomafo Barat. Tahun 2009 melanjutkan pendidikannya di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Santo Thomas Medan-Sumatera Utara dan pada tahun 2013 berhasil meraih gelar sarjana. Saya juga adalah alumni dari Indonesia Menulis angkatan ke-52, asuhan bapa Budi Sutedjo Dharma Oetomo dan Ibu Maria Heryani. Minat menulis mulai muncul ketika masih di bangku kuliah, namun hal ini berangsur-angsur hilang karena tidak adanya dorongan dan motivasi dari orang lain. Motivasi menulis menjadi bangkit kembali berkat INDONESIA MENULIS asuhan bapa Budi Sutedjo Dharma Oetomo dan Ibu Maria Heryani. Akhirnya saya mulai bersemangat untuk menjadi seorang penulis yang handal dan berkualitas.

CLOSE