Dahulukan yang Tidak Menyakitimu Daripada yang Harus Membahagiakanmu

Selamat datang di kehidupan yang baru. Selamat datang pria yang kini labil dengan pilihannya. Aku bahagia memilikimu, rasanya aku ingin menghadiahimu jutaan pelukan. Di luar dari rasa bersalahku, aku berdoa semoga tuhan tak memisahkan kita. Aku kembali bernarasi, tentang kita dan dia yang kembali hadir. Mengakui kesalahan dan menawarkan cinta yang lebih pasti. Lalu aku kembali dibuat labil, tentang kenyataan yang selama ini ia sembunyikan. Tentang bagaimana ia menyimpannya semua sendiri. Tentang bagaimana ia terus mempertahankanku meski aku terus berusaha melepaskan.

Jika hidup adalah sebuah perjalanan, maka kini lagkahku terhenti. Lalu aku menangis sejadi-jadinya, kepada diri sendiri yang tak memberikan solusi. Aku bernarasi tentang dua pria sekarang. Aahh…nampak tidak adil. Aku hanya kembali dibuat labil dengan keadaan ini. Keadaan yang tidak pernah aku minta.

Pahitnya menunggu yang telah tergantikan dengan dapat utuh memiliki, ternyata tidak seberapa, karena kenyataan yang akhirnya terungkap lebih mengiris hati. Masih berhakkah dia? Berhakkah aku? Dan bagaimana dengan dia yang telah aku sambut bahagia atas kedatangannya setelah telah lama aku semogakan.

Mendua tapi tak menduakan. Mungkin kira-kira seperti itu asumsi yang menguap. Terlalu naif jika alasan mereka menyemogakanku karena paras, ketika paras wanita yang lebih dulu bersamanya jauh lebih menawan. Semua berawal dari rasa nyaman yang tak terelakkan.

Sungguh aku telah menentukan pilihan. Menahan pada apa yang baru saja datang. Tapi sanggupkah aku melepaskan setelah kenyataan yang akhirnya terungkap kembali cukup menguak rasa iba?

Ternyata menuggu selama ini belum seberapa, ada rasa perih pada kata "dia" atau "dia". Kepada jodohku di masa depan. Berbahagialah, aku mungkin tak secantik paras idolamu atau mungkin tak seanggun ibumu. Namun aku tahu caranya membuatmu jadi prioritas, benar-benar prioritas hingga sampai aku tutup usia. Aku pernah ada di kisah pelik ini, tulisan ini buktinya. Aku tahu rasanya terabaikan kemudian diperjuangkan mati-matian, bukan sebaliknya.

Kepada hatiku yang labil. Mungkin saat ini tertawa adalah kepura-puraan yang nyata untuk menyembunyikan rasa. Tidaklah penting pilihan mana yang membahagiakanmu, tapi pilihan mana yang tidak menyakiti hati. Segeralah sembuh dari sakitnya memilih, menemukan jawaban yang tidak memilukan hati.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

One Comments

  1. Suci Fathul Ismi berkata:

    Usiaku 22 tahun