Darimu, Aku Belajar Mencintai dengan Ikhlas


Perasaan, siapa yang berkuasa atas ia? Perasaan memang milik kita, tapi selalu ada yang menggerakkannya, Ia lebih berkuasa. Pun tentang rasa padamu.


Advertisement

Aku memang sudah tahu kamu, tapi tidak pernah terpikir aku akan mengenalmu. Waktu itu, aku hanya melihat orang lain, mengaguminya, dan mencoba saling dekat dengannya. Aku tidak mudah tertarik dengan orang lain, begitupun aku tidak berniat untuk tertarik padamu, terlebih kamu yang sudah dikagumi terlalu banyak perempuan. Aku telah memberi pagar pada hatiku, agar tak mudah jatuh pada sembarang hati, dan kamu termasuk di dalam batas itu.

Masih terekam dengan jelas bagaimana kamu mencoba dekat denganku, mencoba mengenalku, dengan cara-cara jail dan spontanmu, sementara aku tidak pernah benar-benar melihatmu. Semakin hari, kita adalah teman, saling bicara dan bercerita seadanya, saling menjadi baik untuk masing-masing kita.

Hingga suatu waktu aku lancang membandingkan kamu dengan dia, orang yang memberi ruang untukku berharap. Aku berharap dia yang ‘seperti ini dan itu’, anehnya aku justru melihat kamu dalam bayangan itu, justru kamu yang telah melakukan dan menjadi apa yang aku inginkan dari dia. Lalu rasaku pada dia menguap entah kemana.

Advertisement


Perlahan, aku menyadari satu hal

Menyadari keberadaannya

Advertisement

Dia yang tak pernah kulihat

Adalah dia yang ternyata selalu ada


Setiap hari berjalan seperti biasa, tanpa ada rasa, seperti teman sewajarnya, hanya saja kita lebih sering bertemu karena padatnya agenda. Aku yang tak pernah mau terlihat lemah di depan orang lain entah mengapa berair mata dihadapanmu hari itu. Kata demi kata mengalir menceritakan sakit hati dan tekanan yang menyerang, sementara kamu menjadi pendengar dan menenangkan. Kamu, laki-laki pertama yang melihat airmata lemahku. Sejak hari itu kita lebih sering bercerita, aku lebih suka mendengar cerita-cerita konyolmu.

Kamu selalu berbaik hati dan ada untukku, sementara aku menjelma ingin menjadi seseorang yang kamu butuhkan. Begitulah aku saat itu, ingin segala sesuatu yang terbaik untukmu dan ingin kamu menjadi yang terbaik. Kamu masih berada dalam batas rasa yang pernah kubuat, sebelum akhirnya benar-benar runtuh pada suatu hari. Ketika kamu akhirnya pamit pulang duluan setelah menemani dan menungguiku cukup lama.

Saat itu kita tahu, kita sama-sama lelah, wajib untuk istirahat. Saat itu pula duniaku berhenti berputar, saat kamu mengusap kepalaku sambil berpesan untuk berhati-hati. Sungguh, saat itu aku ingin mencari sorot matamu. Bertanya apa artinya, lalu menyerangmu dengan pertanyaan bertubi-tubi, dan menahanmu untuk lebih lama disana. Sayangnya aku tak bisa, logikaku menahan semua egoku. Dan kubiarkan kamu pergi begitu saja.


seberapapun keras wanita mencoba terlihat kuat,

sialnya ia tetap terlihat seperti Wanita di depan hati yang dipilihnya


Aku selalu mencari alasan untuk bisa melihatmu, sementara kamu selalu bercerita tantang apapun padaku, tentang perempuan-perempuan yang mencoba menarik perhatianmu, tentang kesibukanmu, tentang rasa syukurmu pada Tuhan, tentang hobi yang kau jadikan sebagai usaha, dan tentang hal-hal sepele lainnya.

Hariku sudah terbiasa dengan hadirmu. Lalu pada suatu hari kamu pergi, ke pulau sebrang, lama sekali. Hariku menjadi sepi, aku butuh teman, aku bilang aku rindu kawan-kawanku yang mulai jarang bertemu, kamu menggoda bahwa sebenarnya kamu yang kurindu, aku menyangkalnya, hingga kamu benar-benar datang seolah membawa kepingan hati yang sempat hilang, saat itu aku sadar selama ini aku memang rindu.


dalam alur yang berujung pengakuan itu, tersisa aku yang bertanya

'apakah kita sedang terjebak dalam kepura-puraan? Tapi kepura-puraan yang mana?'


Mereka bilang kita lebih dekat, aku bilang biasa saja. Suatu waktu kamu bertanya padaku adakah rasa untukmu, di depan mereka. Pertanyaan yang sebenarnya mematikanku meskipun aku terlihat santai menanggapi pertanyaan konyol yang beranak pinak pada pertanyaan menyudutkan lainnya.

Dalam alur pertanyaan konyol antara kita, muncul pengakuan yang tak pernah terduga, pun bagi mereka. Kamu bilang sayang padaku di depan mereka, sementara aku tenggelam dalam pertanyaan ‘apakah kita sedang terjebak dalam kepura-puraan? Tapi kepura-puraan yang mana?


Aku memang tidak mengerti rasaku, aku hanya menyangkal setiap kemungkinan,

sementara kamu terus saja bertanya apakah aku sayang padamu.


Sahabatmu, juga sahabatku datang membawa pertanyaan yang lebih mirip pernyataan tentang aku yang sayang padamu. Aku tetap mengelak, tapi justru membuatku berpikir. Jika yang mereka lihat adalah rasa sayang, maka aku mungkin memang sayang, hanya saja aku tidak pernah menyadarinya. Mereka bilang aku tak boleh dekat denganmu, mereka bilang tak ingin melihatku sakit hati, mereka meminta agar aku berhenti, kubilang mereka hanya tak tahu bahwa aku sudah lebih dulu mengatakan itu pada diriku, nyatanya hatiku tetap berjalan sendiri.

Bukan aku tak tahu tentang wanita-wanita yang ada dalam duniamu, bukan juga aku yang tak mau tahu tentang dirimu, hanya saja ada benang tak terlihat yang membuatku terikat padamu, benang yang juga menceritakan padaku tentang semua sisi dirimu yang tak pernah mereka lihat. Aku tidak bisa membuat rasaku berhenti, yang ku bisa hanya mencoba biasa saja, tak ada apa-apa.

Aku masih tertawa mendengar cerita mereka tentang kamu dan perempuan-perempuan yang mengidolakanmu, sementara kamu masih manyaksikan sikap cuekku pada mereka yang terang-terangan mendekat padaku.


mereka meminta agar aku berhenti, kubilang mereka hanya tak tahu bahwa aku sudah lebih dulu mengatakan itu pada diriku, nyatanya hatiku tetap berjalan sendiri


Antara aku dan kamu, masih abu-abu. Kamu sudah tahu tentang rasaku, tapi tetaplah seperti ini, menjadi kawanku, menjadi orang yang selalu hadir saat lemahku, agar aku tetap dekat denganmu tanpa beban perasaan. Aku tak tahu bagaimana kamu padaku, yang ku tahu aku mencintaimu.

Rasaku padamu itu urusanku, bagaimana kamu padaku itu urusanmu, karena perasaan tak seharusnya menjadi beban. Kelak, beri tahu aku ketika rasamu sudah sama dengan rasaku. Tapi jika rasaku dan rasamu tak juga sama, jangan memintaku untuk berhenti, karena aku hanya bisa melakukan yang ku bisa, mencintaimu.


Rasaku padamu itu urusanku, bagaimana kamu padaku itu urusanmu, karena perasaan tak seharusnya menjadi beban, biarkan aku mencintaimu


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

CLOSE