Firasat, Trauma, dan Sebuah Kenyataan

Semingu sebelumnya. Aku merasakan satu hal yang tak ingin ku sebut itu “nyata”. Rasa khawatir ku terus menjadi-jadi. Tapi ku yakinkan diri ku bahwa tidak akan terjadi hal itu. Meski ku menolak pada akhirnya semua akan kembali. Bulan Juni saat ku pulang ke rumah untuk liburan hari raya idul fitri. Aku tahu kondisi Bapak ku tidak sesehat yang dulu. Dan aku sadar itu. Aku tahu bapak sangat kesakitan menahan batuknya yang tak sembuh-sembuh. Memang, bapak adalah perokok aktif. Ku rasa sudah sangat kecanduan. Tapi, setahun belakangan ini bapak sudah berhenti merokok.

Advertisement

Hari itu, bapak tidak seperti biasanya. Tahun-tahun sebelumnya bapak paling malas kalau diajak bermain ke suatu tempat. Bapak lebih memilih duduk di gazebo bersama temannya. Tapi liburan lebaran kemarin bapak ikut ke pantai. Bahkan aku tak pernah tahu bahwa itu akan menjadi kenangan yang sangat luar biasa yang bisa bapak buat untuk kami.


Bahkan sampai detik ini, saat aku menuliskan semua ini, ada kenyataan yang kadang aku pikir ini tidak benar. Tapi ku tahu ini nyata. Ini nyata. Kalau bisa ku bilang, aku sangat bersyukur berjuta kali lipat punya bapak seperti bapak ku. Saaaangat bersyukur.


Bulan Desember 2017. Aku berniat untuk mendaftar yudisium bulan Januari di tahun 2018. Pikirku. Agar aku bisa ikut wisuda periode Februari.

Advertisement

Pak, Dira mau daftar yudisium. Dira minta tolong bapak kirimkan fotocopy ijazah,” kata ku.

Sebelumnya bapak sudah mengirimkan fotocopy ijazah ku, tapi cerobohnya aku berkas itu dimakan rayap.

Advertisement

Bapak lagi nggak enak badan Di, coba bilang sama kampus untuk kasih toleransi,” balas bapak.

Iya pak, nanti coba Dira cari berkas yang didalam lemari, siapa tahu ada fotocopy ijazah.

Telfon pun ku matikan. Selang beberapa hari sejak telfon itu ku akhiri, bapak kos mengetuk pintu kamar ku

Mbak Di, ini ada paket,” kata bapak kos

Oh iya, makasih pak,”

Pas ku lihat, ternyata bapak mengirimkan berkas yang ku minta. Aku pun langsung menghubungi bapak lewat whatshapp.

Beberapa hari kemudian adik ku mengajak video call. Handphone yang pertama kali dipegang adik ku kemudian dia berikan pada bapak. Memang, saat ku lihat wajah bapak ku, sempat aku kaget. Kalian tahu? Hari itu aku melihat wajah bapak sangat cerah, tidak seperti biasanya. Ada satu pikiran yang segeraku hilangkan. Hari itu tidak lama aku mengobrol dengan bapak. Ku rasa lima menit pun tak sampai. Adik ku pun mematikan telfon.

Aku senang. Seminggu setelah aku video call itu, aku akan ujian skripsi. Memang skripsi ku sedikit tertunda. Karena jadwal klinik yang berbarengan dengan penyusunan skripsi. Tapi ya sudahlah. Ku jalani saja. Ujian skripsi akan dilaksanakan hari Kamis 28 Desember 2017. Tahu lah ya rasanya dag-dig-dug serrrr.

Tapi ada satu hal yang nggak bisa ku bohongi dari diri ku sendiri. Saat pikiran itu melayang-layang. Percuma. Aku belajar pun rasanya tetap sama. Rasa khawatir. Rasa takut. Sejujurnya aku ingin pulang. Pulang ke rumah.

Bahkan kondisi ku pun mulai menurun. Padahal besok adalah hari kamis. Hari ujian skripsi ku dilaksanakan. Badan ku hangat. Tapi aku rasa dingin. Ku tempeli punggung ku dengan koyo. Ku pakai kaos kaki. Ku ganti baju dengan lengan panjang dan celana panjang. Hari itu aku benar benar rindu rumah. Rindu ibu yang selalu memijatku. Pijatan ibu adalah pijatan paling enak di bumi ini. Biasanya kalau ibu memijatku pakai minyak goreng yang ditambah bawang merah. Aneh sih. Tapi dengan segala keanehan itu aku pun kembali sehat. Aku juga rindu. Rindu jari tangan, jari kaki ku dibunyikan bapak. Hari itu aku benar-benar rindu pulang. Rindu rumah dan seisinya.

Waktu menunjukkan pukul setengah dua lewat. Siang itu saat aku belajar. Handphone ku berdering. Ku lihat siapa yang menghubungi ku. Ternyata mas ku. Segera ku angkat. Terdengar suara tangis yang terisak-isak. Dan pikiran ku mulai kemana-mana.


“Di, kapan kamu sidang?”

“Besok,” Jawab ku datar

“Jam berapa?”

“Jam 8 pagi, kenapa?”

Mas ku yang tadinya menangis, tiba-tiba berhenti menangis. Dia diam. Aku juga ikut diam. Sesaat kemudian mas ku bersuara.

“Bapak sudah nggak ada,” suara tangisnya semakin keras.

Tapi aku masih diam. Aku tidak menangis.

“Lalu aku harus bagaimana? Apa aku pulang?” tanya ku dengan suara bergetar

“Lah, kamu nggak mau liat jenazah bapak mu Di?”

Waktu mas ku mengatakan itu, aku langsung menangis terisak-isak. Nafas mulai terengah-engah. Dada berdegup. Tangan gemetar. Badan ikut dingin.


Ku ambil tas ransel ku. Ku masukkan apa pun yang ku lihat. Entah berapa ku bawa dalaman dan baju. Yang penting cukup masuk dalam tas ku. Air mata yang nggak berhenti-henti, tangan, dan suara yang masih gemetaran. Aku pun menuju bandara. Jalan kaliurang yang tidak pernah sepi. Semakin macet. Motor ku mulai melaju. Tiba di jalan Ringroad semakin macet. Ku lihat jam tangan. Dalam hati ku berdo’a “Semoga aku dapat tiket pulang”. Kamis 28 Desember 2017 yang seharusnya aku sidang. Buyar. Sebelumnya ku hubungi dosen pembimbing skripsi dan penguji. Ku beritahu kabar duka ini. Dan aku pun pulang. Pulang ke rumah yang ku rindukan beberapa hari terakhir ini.

Bandara yang sangat ramai. Bagi ku sepi. Sunyi. Sampai di bandara. Aku menuju loket pemesanan tiket. Ternyata hari itu tiket tujuan lombok habis. Aku semakin bingung. Kalian tahu rasanya? Ahhhh tidak bisa diungkapkan. Ku hubungi mas ku, ku beritahu kalau tiket ke lombok sudah habis. Jadi, penerbangan ke lombok dari Yogya hanya ada satu. Itu pun sore, sekitar pukul setengah enam. Dan saat itu sudah pukul lima sore.

“Mas, ini tiket ke lombok sudah habis. Aku bagaimana?”

“Di, kamu bicara dengan Ibu saja ya,” kata mas ku.

Waktu itu aku kaget. Kok bisa mas ku bersama ibu? Jadi mas ku kerja di Surabaya. Tadi waktu dia mengabari kondisi bapak, dipikiranku dia masih di Surabaya. Tapi waktu dia meminta aku bicara dengan ibu aku jadi bingung. Berarti mas ku sudah di Lombok.

“Di, Ikhlasin bapak ya.”

Nggak mauuuu,” teriak ku.

Mungkin menurut ibu, kalau aku tidak dapat tiket pulang sore itu, aku harus ikhlas untuk nggak ngelihat bapak waktu di kubur. Aku dengan rasa marah, ku teriak. Mbak yang kerja di loket hari itu tiba-tiba meminta KTP ku. Akhirnya aku dapat satu kursi tiket pesawat. Entah orang yang booking tiket sebelumnya belum bayar atau bagaimana. Aku nggak tahu. Tapi aku sangat berterima kasih.

Aku masuk ke ruang tunggu. Ku tanyai semua petugas bandara itu.

“Mas, tujuan lombok sudah masuk pesawat belum ya?”

“Belum mbak.”

“Mbak, tujuan lombok sudah masuk pesawat belum ya?” tanya ku lagi dengan yang lain.

“Belum mbak.”

Aku Dira. Dira yang kalau perjalanan darat akan mabuk parah. Hari itu aku sama sekali nggak mabuk. Perjalanan lancar. Pesawat yang biasanya delay, hari itu berangkat tepat waktu. Biasanya aku tiba di lombok sekitar jam 9 malam bahkan bisa jam 10 malam. Hari itu aku sampai di lombok jam 8 lewat. Aku sudah menghubungi taxi waktu aku masih di bandara Adisucipto. Ku masuk ke dalam taxi. Ku pejamkan mata. Mobil melaju tanpa aku sadar sudah tiba di pelabuhan kayangan.

Dulu, bapak adalah orang yang nggak bakal biarin aku berangkat ke Yogya sendirian. Bapak adalah orang yang nggak bakal biarin aku pulang ke Sumbawa sendirian. Dulu, bapak pasti jemput aku di Bandara International Lombok. Tapi, hari itu. Bapak sudah nggak ada. Nggak ada yang nungguin aku di depan pintu kedatangan. Nggak ada lagi pelukan hangat yang menyambut anak rantaunya. Nggak ada. Iya, hari itu pengalaman pertama kali aku pulang sendiri. Benar-benar sendiri.


Dulu aku pernah bilang “Pengen deh pulang nggak bawa koper, nggak bawa yang berat-berat.” dan hari itu aku benar-benar pulang hanya dengan ransel di punggung ku.


Di pelabuhan Tano aku di jemput oleh sepupu ku. Ku melangkah keluar kapal. Sepupu ku segera mendatangi ku. Aku di ranggkul. Selama di jalan aku bayangkan “Apa yang akan aku lakukan saat aku lihat jenazah bapak? Apa?” Pikiran itu yang berputar putar di otak ku. Aku harus berbuat apa?

Rumah ku sedikit masuk gang. Tapi tidak jauh dari jalan utama. Tibalah aku di rumah. Pagar rumah yang baru saja jadi saat lebaran kemarin. Bapak sangat senang waktu mengirimkan foto pagar rumah itu via whatshapp. Aku selalu senang lihat bapak cerita apa yang ia suka. Ahhhh sesak.

Aku benar-benar lemah Tuhan. Nggak ada orang yang bisa ku kenali malam itu. Aku tiba di rumah sekitar pukul dua malam. Aku lihat kain batik yang menutupi semua badan bapak. Jenazah bapak di tempatkan di ruang keluarga di depan televisi. Ku duduk disampingnya. Aku lihat badan yang tidak lagi bernyawa itu. Bapak yang selalu membela ku waktu aku diomeli Ibu. Bapak yang selalu antar aku sekolah dari TK sampai SMA kelas 1. Bapak yang selalu sms kalau sudah kirim uang setiap minggunya. “Bapaaaaaaakkkkkkkk. Dira kangen. Kangen semua hal yang pernah bapak lakukan buat Dira.

Setiap yang bernyawa pasti mati. Pasti. Penutup tahun yang nggak bakal aku lupakan. “Pak pasti bapak sekarang nggak sekakitan lagi kan pak? Bapak nggak batuk lagi.”

Rabu 27 Desember 2017. Hari yang buat aku sadar. Bahwa kematian itu dekat. Firasat yang aku rasakan beberapa minggu sebelumnya buat aku trauma. Trauma memikirkan ha-hal buruk. Aku takut. Takut kalau yang aku pikirkan terjadi.


Pak satu hari lagi Dira bakal jadi sarjana”. Sayang, bapak nggak sempat ngelihat anaknya jadi sarjana. Terima kasih untuk 22 tahun yang sangat luar biasa ini pak. Bapak yang merantau dari Boyolali harus dimakamkan di tanah rantau bapak. Sumbawa. Bapak yang tetap medok dengan logat Jawa tapi doyan makanan sumbawa. Bapak yang selama bulan puasa kemarin minta ibu buatkan sepat. Kita yang tanpa mas buka puasa bareng. Makan di satu meja yang sama. Tahun ini 2018 sudah nggak ada lagi semua itu. Kalau bisa ku bilang “Terlalu cepat pak. Ku akhiri tulisan ini dengan “Al-Fatihah”.


Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Si Pesek yang Doyan Tidur

CLOSE