Hanya Kematian yang Dapat Memisahkan Kita

Aku melihatnya bersama perempuan lain, tanpa sengaja. Aku diam. Tetap diam. Aku biarkan kau bersenang-senang dengannya. Aku tak ingin mengganggu dengan bertingkah seperti anak kecil, mendatangimu, merengek, dan memaki. Tidak, aku akan membiarkannya.

Ia pun kembali ke rumah seperti hari kemarin. "Sayang, aku pulang,"

Beraktinglah seperti tidak terjadi apa-apa. "Hai sayang! Bagaimana harimu? Melelahkan?" tanyaku dan menyandarkan kepalaku di pundaknya.

"Tidak terlalu. Kamu masak apa sayang hari ini?" jawabnya dan melepaskan sepatunya.

Aku segera merapikan sepatunya. Aku pindahkan ke rak sepatu. Aku baik-baik saja. "Aku masak makanan kesukaanmu. Kamu lapar?"

"Ya, aku lapar."

"Kamu mandi dan gantilah baju. Aku akan menunggu di meja makan,"

Aneh. Baru dua jam lalu, ia makan di restoran bersama perempuan lain. Jam segini sudah lapar kembali. Ah, biarlah! Kita sama-sama berpura-pura, kita sama-sama bersandiwara.

Beberapa menit kemudian, ia pun datang ke ruang makan. Aku menyendokkan makanan kesukaannya, rendang daging dan nasi.

"Makanlah," ucapku.

Ia pun segera makan. Melahap semuanya sampai habis. Ia terlihat kelaparan. Ah, mungkin karena aku masak makanan kesukaannya! Bersikaplah tak ada yang terjadi, tak ada yang kulihat dua jam yang lalu. Tidak ada pemandangan dia mencumbu perempuan lain di restoran. Tidak ada pengkhiatan yang terjadi.

"Kau tidak makan?" tanyanya.

Aku tersenyum. "Aku sudah makan tadi sebelum kau pulang. Apa kau ingin tambah?"

"Tidak, ini sudah cukup. Aku harus tidur sekarang. Besok pagi-pagi, aku ada meeting," ucapnya lalu mencium keningku. Ia pun pergi menuju kamar.

Bayangan itu terus hadir. Semakin aku coba lupakan, semakin menyesakkan. Apa salahku? Apa? Apa aku kurang baik sebagai istri? Apa aku melakukan kesalahan sehingga ia begitu mudah berpaling dariku? Dan sejak kapan ia melakukannya?

Setelah 3 bulan, aku melihatnya kembali dengan perempuan yang sama. Di tempat berbeda. Kali ini, di restoran favorit kami berdua. Hancur sudah. Tahan, aku adalah wanita dewasa. Aku tidak akan melakukannya. Aku tidak akan melabrak mereka. Aku tidak akan. Tapi bagaimana bisa? Sudah berapa lama ini semua terjadi? Aku benar-benar merasa gagal menjadi seorang istri. Aku tak berdaya. Aku tak dapat berbuat apa-apa. Aku hanya bisa berupaya untuk mempertahankan semuanya. Ya, mempertahankan rumah tangga kami yang sudah kami bina sejak lama walaupun terkadang kami merasa ada yang kurang tanpa kehadiran seorang anak.

Malam itu, ia menelpon. Ia mengatakan bahwa ia tidak pulang sebab ia harus lembur di kantor. Lembur katanya? Lembur dengan perempuan itu? Sudahlah, lebih baik aku diam dan memendam.

Esok malamnya, ia pulang dengan keadaan sedikit kacau. Ia sedikit mabuk. Ia meracau.

"Sayang, maaf aku berkhianat! Aku tak bermaksud melakukannya! Aku khilaf!" ia memelukku.

Aku pura-pura tidak tahu "Apa maksudmu?"

"Maafkan aku, sayang,"

Aku sudah tidak tahan lagi. Aku sudah tidak kuat membendung semuanya. "Aku tahu akan hal itu,"

Ia pun bersimpuh, "Bagaimana kau bisa menahan semuanya? Bagaimana kau tahu? Apakah kau pernah melihatnya?"

Aku menariknya untuk duduk di sampingku "Aku menahan semuanya karena aku tidak ingin rumah tangga kita, rusak begitu saja. Ya tentu saja aku pernah melihatmu dengannya. Dua kali," jawabku.

"Kenapa kau tak menghampiriku saat itu?"

"Aku bukan anak kecil. Setiap orang dewasa melakukan hal-hal tertentu pasti ada alasannya, begitu pun dirimu. Sudahlah, lupakan saja! Anggap saja tidak pernah ada yang terjadi antara kau dan dia," aku menjawab dengan lugas.

Ia menunduk, "Aku tidak bermaksud mengkhianati dirimu. Hanya saja aku merasa aku bukanlah pria yang tepat untukmu,"

Aku tidak tahu dengan apa yang ia katakan. Benar-benar tidak tahu. "Bagaimana kau tahu kau bukanlah pria yang tepat untukku? Aku bahagia dengan rumah tangga kita. Sangat bahagia. Namun aku merasa seperti orang bodoh ketika kau berselingkuh, aku merasa bahwa aku gagal menjadi seorang istri,"

Ia menyodorkan sebuah kertas dari rumahsakit. Aku membuka lipatannya. Membacanya. Inikah alasannya beberapa bulan ini, ia menjadi seorang peselingkuh? Aku diam. Aku tak bicara. Biar dia saja yang menerangkan. Aku tak ingin menjudge dirinya. Aku tak ingin merusak suasana. Aku tak ingin malam ini menjadi lebih kacau.

"Kau sudah membacanya?" ia bertanya.

Aku hanya mengangguk.

Ia memelukku erat. "Aku tidak bisa memberikanmu seorang anak. Aku mandul. Aku frustasi. Aku tahu kau melihatku dengan perempuan lain. Aku sengaja melakukannya agar kau pergi meninggalkanku. Tapi kau tak juga pergi. Marah pun tidak."

Aku mengusap pundaknya saat posisi kami masih berpelukan "Sayang, apakah kau tahu ada atau tidak adanya anak di dalam rumah ini. Tidak akan mengubah perasaanku terhadapmu. Lagi pula kita masih memiliki cara lain untuk tetap memiliki anak,"

"Maksudmu mengadopsi?"

Aku mengangguk.

"Sayang, asal kau tahu sesungguhnya aku tak benar-benar mengkhianatimu. Aku hanya berakting. Perempuan itu aku bayar untuk melakukan hal itu. Aku merencanakan ini semuanya agar…"

Aku menutup mulutnya dengan telunjukku, "Husttt, aku percaya kepadamu! Sudahlah kita lupakan semuanya. Jika kau sangat inginkan anak, mari kita mengadopsi. Di luar sana, ada anak-anak yang tidak beruntung, yang ditinggalkan orangtuanya. Kita dapat memiliki salahsatu dari mereka," aku tersenyum dan mencium pipinya.

"Kau yang terbaik. Aku tidak salah memilihmu sebagai pasangan hidupku. Tetaplah disampingku sampai maut memisahkan kita,"

Kami pun mengakhiri perbincangan malam itu dan mengambil keputusan untuk mengadopsi seorang anak dari panti asuhan.

Aku tidak peduli sekalipun ia tidak bisa memberikanku keturunan. Rumah tangga ini dibina dengan cinta. Kami bersatu karena Tuhan ijinkan. Jika kami harus berpisah suatu hari nanti, itu karena kematian bukan hal lain. Apalagi perselingkuhan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Love yourself!