Hidup di Tempat Baru, Mengajarkanku Harmonisnya Kerukunan Beragama

Sudah enam bulan lebih aku bekerja di sini, jauh dari rumah, jauh dari orang tua dan orang-orang tersayang. Akan tetapi mungkin ini cara Tuhan agar aku lebih mendekatkan diri kepada-Nya. Di rumahku pergaulan sangat buruk, lingkungan sangat tidak mendukung untuk menjadi manusia yang lebih baik dan bermartabat.

Advertisement

Maka Tuhan mengasingkanku ke negeri ini. Negeri dengan penduduk muslim sebagai minoritas.

Hal berlawanan justru aku temui di sini. Meski pergaulan di sini juga tidak ada bedanya dengan di rumah, tetapi paling tidak, di sini aku tak mengenal siapa pun dalam artian kenal secara dekat. Sehingga aku tidak bergaul dengan bebas dan tidak ada ajakan atau pengaruh dari lingkungan sekitar untuk berbuat buruk atau tercela.

Setelah beberapa lama mencari tempat kos, dan kebanyakan mereka berkata, “sudah penuh.” Pada akhirnya Tuhan menempatkanku di sebuah rumah kos dengan tetangga-tetangga yang baik.

Advertisement

Aku memulai hidup baru di sini dengan awal dan niatan yang baik juga.

Aku mendapat dua teman lelaki di kantor dan mereka adalah non muslim, karena memang kebanyakan karyawan di sini adalah non muslim. Diantara seratus karyawan, hanya tiga yang muslim. Begitu perbandingannya. Dan hanya aku satu-satunya lelaki yang muslim di perusahaan ini.

Advertisement

Aku diajak kedua teman ini untuk jalan-jalan menggunakan mobil. “Ke mana?” tanyaku karena memang belum tahu banyak tentang daerah sini.

“Sudah, naik saja!” ajaknya.

Aku pun naik. Mobil melintas di jalan sekitar pantai. Oh ya, daerah tempatku bekerja memang adalah daerah pesisir.

Mereka masuk ke sebuah gaba-gaba menuju pantai. Baru kali ini aku mengetahui daerah ini. “Lumayan untuk tambahan pengetahuan supaya pas ada nantinya temanku yang berkunjung ke sini, aku dengan mudah dan irit untuk mengajaknya ke sini karena lokasinya tidak jauh dari perusahaan dan tempat tinggalku.

Kami disambut pemandangan rindangnya pohon kelapa yang berjejer merata dan taman hijau menghampar luas bak karpet dengan rumput pendeknya. Tapi tunggu dulu, ada yang membuat pemandanganku ganjil.

“Itu masjid?” tanyaku dalam hati.

Kedua temanku terus berjalan ke arah masjid. “Saatnya shalat Ashar!” katanya.

“Oh, okay.” Aku mengangguk masih agak bingung.

Banyak juga jamaah di sini, memang tidak jauh dari masjid itu terdapat perkampungan muslim yang baru hari ini aku mengetahuinya. Kampung muslim memang mulai berkembang di sini.

Sepertinya ada acara pengajian di masjid tersebut, mungkin sampai waktu asar tiba pengajian baru selesai. Teman-temanku ini rupanya sudah terbiasa dengan masjid. Ia mengambil kopiah yang tergantung dan tersedia di masjid tersebut lalu memakainya. Setelah itu, mereka berdua duduk bersila di antara para jemaah, dengan hikmat mendengarkan ceramah.

Aku duduk tidak jauh dari temanku ini, hanya berjarak dua orang saja. Dan temanku yang lainnya duduk jauh di dekat daun pintu terlihat masih sungkan untuk masuk.

Sesaat ketika khatib hendak mengakhiri ceramahnya, satu orang temanku yang berada tidak jauh dariku menyelonong keluar. Yang lain menunggu di dekat daun pintu untuk keluar.

Aku ingin mengejar mereka namun sedikit terhalang dengan dua orang di dekatku. Setelah berjuang untuk keluar, aku mendapati mereka tengah menyapu halaman masjid. Mereka menyapu halaman masjid itu layaknya panitia masjid yang sudah terbiasa di sana.

Aku merasa aneh, mengapa orang-orang membiarkan mereka pergi begitu saja dari masjid, malah membukakannya jalan. Seharusnya akan ada tatapan sinis ketika melihat jamaah keluar dari masjid.

Rupanya para jamaah bukan tidak tahu bahwa temanku ini adalah orang non muslim, karena itu mereka membukakannya jalan untuk keluar. Dan membiarkan mereka masuk asal tidak mengganggu.

Imbasnya, teman-temanku yang non muslim ini, dengan ikhlas menyapu masjid tanpa disuruh atau karena keinginan mereka sendiri.

Betapa besar kerukunan di daerah ini. Betapa bijak orang-orang yang berada di sini. Islam sebagai minoritas mampu menselaraskan dirinya di tengah-tengah warga non muslim sebagai minoritas dan warga mayoritas non muslim menghormati agama minoritas seperti Islam.

Karena tujuan agama di dunia sama, menggapai rahmat Tuhan dan kerukunan antar sesama manusia di bumi.

Hari ini aku bukan hanya mendapat indahnya pemandangan pantai dengan sejuknya semilir angin serta segarnya mata dengan pemandangan hijau rerumputan ditambah teduhnya pepohonan. Bukan hanya mendapat damai dan tenangnya religiusitas. Akan tetapi juga mendapatkan betapa indah, sejuk, tenang dan damainya sebuah kerukunan antar sesama manusia tanpa menyinggung SARA (Suku, Agama, Ras dan Antargolongan).

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Dari sebuah desa terpencil di pulau yang juga kecil. Pulau Lombok— Pulau dengan level kepedasan paling tinggi dari pada pulau-pulau yang lainnya di Indonesia.

CLOSE