[CERPEN] Menjadi Budak Cinta di Usia 25

Saya sudah lama kepincut sama pesona Alden. Tapi tidak pernah sedetik pun saya menyangka, kalau dia akan menyatakan perasaannya

Teman seangkatan saya, yang menjuluki dirinya sebagai 'budak cinta', berulang tahun yang ke-25. Atas undangannya sendiri, saya datang ke rumahnya. Di sana, saya malah khusyuk mendengar curahan hatinya.

Advertisement

Katanya, dia sebal dengan kisah cintanya. Menurutnya, dia selalu jatuh cinta pada orang yang salah.

“Orang itu tampan, berkecukupan, berasal dari keluarga baik-baik, dan perilakunya manis, Yus,” teman saya menelan ludah “Tapi kesalahan orang itu adalah … dia enggak jadi kekasih saya!"

Saya tertawa karena teman saya juga tertawa.

Advertisement

“Lebih menyebalkan lagi ketika ada orang lain yang mendekat, Yus. Orang itu enggak tampan, enggak berkecukupan, berasal dari keluarga yang enggak dikenal, dan perilakunya hambar,” lanjut teman saya “Tapi kesalahan orang itu adalah … dia malah tertarik jadi kekasih saya!”

Lagi-lagi kami tertawa. Teman saya menertawakan dirinya sendiri. Sedangkan saya menertawakan cara tawanya.

Advertisement

Pada waktu itu, saya tidak menginterupsi ocehannya. Saya mendengarkan saja sampai mulutnya nyaris berbusa karena sudah kebanyakan bicara. Sederhananya, masalah pertama selesai dengan cara merelakan. Masalah kedua selesai dengan cara menolaknya secara lembut.

Kini, sama-sama di usia ke-25, giliran saya yang merasa sebal. Sebab, saya tidak punya keberanian dan kepercayaan untuk curhat juga. Saya memang payah dalam hal berkata-kata. Padahal sekarang saya juga sedang menghadapi masalah percintaan yang tidak gampang.

“Aku sebenernya cinta sama kamu, Yusi,” tutur Alden, sang gebetan satu angkatan, yang membuat saya mabuk kepayang ”Mau, enggak, kamu jadi pacar aku?”

Alden menyerang saya bertubi-tubi. Dada saya masih kembang-kempis karena pengakuan cintanya. Ditambah dengan pertanyaan rumitnya, yang membuat hati dan otak saya seperti mogok bergerak.

Saya sudah lama kepincut sama pesona Alden. Tapi tidak pernah sedetik pun saya menyangka, kalau dia akan menyatakan perasaannya. Bagaimana pun, Alden seperti magnet. Ketika diam, orang-orang akan mengerubunginya. Ketika berjalan, orang-orang menyapa dan menyalaminya. Ketika di rumah pun, orang-orang akan mengirimkan aneka undangan padanya.

Normalnya, saya tinggal menerima dan mengiyakan saja ajakan Alden. Tapi pikiran kumuh saya malah bertanya-tanya: Dari sekian tubuh berjiwa yang Alden kenal, kenapa dia nembak saya? Ada konspirasi apa?

Siapalah saya, mahasiswi yang dikenalnya secara tidak sengaja. Saya masih ingat, waktu itu matahari datang terlambat. Rintik hujan seperti sedang berdemonstrasi pada bumi.

Karena dosen tidak kunjung datang, saya pun pergi ke perpustakaan. Kalau sedang tenggelam dalam novel romansa, saya tidak akan mengacuhkan apa-apa. Termasuk pertanyaan ‘aku boleh duduk di sini kan?’ dari Alden. Ketika dia mencubit lengan saya sambil tertawa, barulah saya mendarat lagi di bumi. Dari sana, kami mulai berinteraksi. Itu pun saya hanya mengandalkan skill sebagai pendengar.

Jiwa bucin saya berkata, kalau Alden adalah jelmaan pangeran yang selama ini ada dalam imaji. Tapi otak overthinking saya berbisik, kalau Alden bisa jadi sedang ikut taruhan untuk mendapatkan ganjaran dan perhatian. Saya hanya akan menjadi korban olok-olok yang penuh kepiluan.

“Aku ngerti, Yusi. Enggak apa-apa, kok!” suara Alden menyudahi pengembaraan pikiran saya “Tapi meski pun kamu nolak, kita tetap temenan, ya?”

“Aku enggak nolak, Den,”

“Tapi kamu ragu-ragu,”

“Tahu dari mana?”

“Dari jeda yang super lama,”

Saya bergeleng-geleng dan tersenyum simpul, menyamarkan rasa canggung.

“Besok ketemuan lagi, ya, Den? Di sini,”

~

Hari ini, momen yang membuat saya tertarik sekaligus panik. Saya kembali duduk berhadapan dengan Alden di areal taman. Raga kami dipisahkan oleh meja beton bundar.

“Ini jawaban yang kemarin, Den,” saya menyerahkan secarik kertas binder tanpa menatapnya.

“Ih kamu lucu, deh!” Alden mengulurkan tangan untuk mengambilnya “Tersipu-sipu begitu,”

Cengar-cengir Alden menular pada saya. Bedanya, pipi saya langsung memerah dan memanas. Apalagi ketika Alden mulai membaca tulisan tangan saya.

Surat terbuka untuk pasangan masa depan.

Sampai berusia 25 seperti sekarang, saya masih menyimpulkan diri sebagai perempuan introvert. Saya mendambakan hubungan yang serius dan untuk jangka panjang. Kalau sekadar pacaran kasual dan mengisi status saja, saya mundur.

Tentu saja saya tidak akan membahas soal tunangan, pernikahan, dan apalagi nama anak di hari pertama kita kencan. Hanya ingin menegaskan saja, kalau saya butuh partner hidup. Bukan teman untuk main-main.

Saya bukan tipikal perempuan yang mudah mengekspresikan diri. Saya sulit percaya dan terbuka. Jadi saya minta waktu untuk menunjukkan jati diri ini yang sebenarnya. Saya tidak mau diterima karena kelebihannya saja. Saya ingin diterima karena kekurangannya juga. Saya punya sisi gila dan gelap juga.

Pikiran saya rutin mengadakan konser. Berisik. Aneh. Sulit dimengerti. Saya butuh pasangan yang memastikan, apa pun yang terjadi, komunikasi tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan. Saya ingin kamu terbuka. Saya siap mendengarnya. Saya juga ingin saya terbuka. Saya juga ingin kamu siap mendengarnya.

Sesekali saya akan "ngidam spasi". Saya akan butuh waktu sendiri. Mohon untuk tidak tersinggung. Kasih saja saya waktu sementara. Saya janji, hubungan kita tetap baik-baik saja.

Oh, iya. Saya tahu. Menjalin hubungan apa pun dengan saya bukanlah hal mudah. Sudah saya tebak, pasangan masa depan saya akan cukup kerepotan. Tapi saya janji akan mengerahkan kemampuan terbaik. Saya ingin kita jadi tim yang solid.

Jadi, tunggu dirimu yakin dulu. Tunggu diriku mantap dulu. Apa mau menunggu?

Suara Alden terhenti. Saya langsung menunduk ketika menyadari pergerakan kepalanya. Dia sudah tidak lagi menatap kertas, melainkan ke arah saya.

“Jadi …” Alden meletakkan kertas, “Kamu bisa menerima cintaku, tapi dengan syarat dan ketentuan berlaku, gitu?”

“Duh!” Saya menepuk jidat, “Kamu kok blak-blakan banget sih, Den?”

“Ya karena aku sudah tahu apa yang aku mau, Yusi,” Alden mendaratkan kedua sikunya pada meja sambil tersenyum, “Aku enggak perlu bertele-tele dulu,”

“Ya aku pikir kamu bisa menanggapinya dengan romantis, gitu?” Saya bersungut-sungut.

"Dasar bucin!" Alden terpingkal-pingkal.

Saya tidak menirunya, melainkan memonyongkan mulut saja.

“Oke oke, intinya sih menunggu dulu 'kan, ya?” tanya Alden retorik, sesaat setelah tawanya reda, "Terus nanti kita ketemuan lagi buat mastiin, 'kan?"

"Iya."

“Hmm … kalau aku bukan tipe laki-laki yang romantis, bagaimana?”

“Ya enggak apa-apa,” Saya mengedip-ngedipkan mata dengan cepat, tidak menyangka akan ditodong pertanyaan demikian, “Aku sendiri tipe perempuan yang rumit, penuh pertimbangan, dan bertele-tele. Bagaimana?”

“Ya enggak apa-apa juga,” Alden mengubah posisi jadi duduk tegak, “Kita akan jadi tim, Yusi. Kita sama-sama enggak mau diterima karena kelebihannya saja. Kita sama-sama pengin diterima karena kekurangannya juga, bukan?”

Pertanyaan Alden membuat bibir saya otomatis tersenyum siput dan leher saya otomatis mengangguk-angguk. #RD



*cerpen ini sudah dipublikasikan dalam blog pribadi https://www.rosediana.net/cerpen-menjadi-budak-cinta-di-usia-25/

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Penulis Konten. Blogger Amatiran. Tertarik menulis dan membaca tentang Introvert dan Broken Home.

CLOSE