Hukum, Adat, Stigma dan Hak Perempuan di Indonesia

Diskriminasi Hak Perempuan oleh Tradisi, Hukum Adat, dan Stigma Sosial

Zaman terus berkembang dan umat manusia semakin cerdas. Tidak hanya kemajuan teknologi, umat manusia juga mengalami kemajuan moral. Sayangnya tidak semua wilayah di Indonesia terpapar akan kemajuan tersebut. Indonesia memang pantas bangga dengan tradisi dan budaya yang dimiliki, dan bangsa Indonesia memang harus melestarikannya. Namun, tidak semua tradisi tersebut pantas untuk dilakukan. Banyak tradisi yang tidak etis, melanggar HAM, serta membahayakan kesehatan. Terutama HAM yang menyangkut perempuan.

Advertisement

Sudah saatnya bangsa Indonesia mulai kritis dalam memilah tradisi warisan budaya sendiri disamping berkoar mengenai invasi campur tangan budaya asing. Mirisnya, terkadang supremasi hak-hak individual itu ditentang dengan alasan bahwa hal tersebut adalah bawaan barat. Kesetaraan gender yang saat ini sangat marak di perjuangkan sayangnya hanya mengenai selapis kaum terpelajar di Indonesia. Hukum adat dan bahkan peraturan di perkotaan, yang seharusnya lebih maju dan terbuka, masih banyak yang menjadi penghalang terwujudnya HAM bagi wanita.

Banyak wanita dipelosok yang tertindas hukum adat. Namun, tidak banyak tindakan yang dilakukan untuk mereka. Salah satu contohnya adalah pada tradisi sifon di NTT. Tradisi tersebut berupa rangkaian sunat untuk laki laki yang dilakukan menggunakan bambu. Setelah proses sunat selesai dilakukan, sang lelaki kemudian harus berbuhungan seksual dengan seorang wanita yang telah dipilih dengan tujuan untuk menyembuhkan luka dan membuang kesialan.

Perempuan tersebut merupakan orang yang tidak memiliki kekerabatan dengan sang pria dan selanjutnya pria tersebut tidak boleh berhubungan dengan wanita tersebut seumur hidupnya. Wanita disini jelas berperan sebagai objek demi sebuah tradisi adat turun menurun yang bisa dikatakan tidak memiliki dasar pasti.

Advertisement

Masih di NTT, kita kembali menemukan tradisi sei dan tatobi yaitu ritual yang dilakukan selama masa nifas 40 hari. Ibu dan bayinya diharuskan untuk tinggal didalam rumah yang diasapi menggunakan kayu bakar. Tujuannya untuk memanaskan bagian luar jalan lahir, mengeringkan luka pasca melahirkan, serta mengambalikan kembali bentuk tubuh ibu. Hal tersebut seakan-akan tidak menghargai perempuan yang juga merupakan manusia dan bukan hanya objek keindahan. Tidak hanyak melanggar HAM, tradisi ini juga membahayakan kesehatan ibu dan bayinya yang terancam mengalami ISPA.

Tradisi lain yang dapat menjadi contoh yaitu ritual potong jari yang dilakukan oleh Suku Dani di Papua. Tradisi tersebut dilakukan sebagai bentuk kehilangan apabila ada anggota keluarga yang meninggal, namun yang wajib melakukan tradisi ini hanyalah wanita. Jari dipotong menggunakan kapak dan bahkan ada yang memotongnya melalui gigitan.Sungguh sakit yang tidak bisa dibayangkan. Tanpa ditinjau dari unsur HAM pun tradisi ini tetap tidak memiliki keuntungan sama sekali.

Advertisement

Tentunya contoh-contoh diatas hanya sebagian kecil dari banyaknya tradisi menindas kaum wanita. Terlepas dari hukum-hukum adat di daerah, di perkotaan pun HAM wanita masih sering terlecehkan. Contohnya lagi adalah pemeriksaan keperawanan yang menjadi syarat dalam seleksi polwan. Tes ini merupakan suatu bentuk diskriminasi blak-blakan dan sangatlah tidak adil maupun etis. Keperawanan sendiri bukanlah jaminan kinerja yang baik maupun perilaku terpuji dari wanita.

Memberlakukan tes ini sama saja seperti mengatakan bahwa keperawanan adalah tolak ukur kemampuan wanita. Apakah itu masuk akal? Tentu tidak. Kemampuan seseorang, terlepas dari jenis kelaminnya, hanya dapat diukur dari kerja keras, kecerdasan, dan tekad yang ia miliki. Perempuan adalah makhluk yang kuat dan memiliki sejuta potensi. Melihat hal-hal seperti ini yang masih saja terjadi membuat perjuangan Ibu Kartini dahulu seperti tidak dihargai.

Perempuan yang memiliki jabatan sebagai pemimpin juga masih jarang ditemui di Indonesia. Jangankan di lingkungan kerja, di sekolah dan kampus-kampus pun masih sulit ditemukan perempuan yang memegang jabatan tertinggi. Bahkan masih banyak kaum perempuan sendiri yang meragukan kemampuan sesamanya dan memilih untuk lebih mendukung gender sebelah.

Stigma-stigma kuno bahwa tugas wanita yang utama adalah mengurus keluarganya, memasak, serta membersihkan rumah diakui atau tidak masih melekat di benak masyarakat Indonesia. Perempuan masih sering direndahkan dan itu berpengaruh terhadap pola pikir kaum hawa sendiri. Apabila masyarakat Indonesia lebih menaruh keyakinan akan potensi wanita, mungkin bisa saja saat ini kita sudah memiliki presiden wanita kedua selain Ibu Megawati.

Sudah saatnya bangsa kita lebih menghargai kaum hawa sebagai manusia dengan hak-hak yang setara dengan siapapun. Hapuskanlah tradisi-tradisi yang memang tidak etis dan pikirkan kembali mengenai hal-hal kecil yang dapat melukai HAM wanita. Kaum hawa sendiri juga perlu menyadari kekuatan yang kita miliki dan jangan menyianyiakan perjuangan banyak pahlawan wanita hebat seperti Ibu Kartini.

Kita adalah makhluk yang kuat, jangan takut untuk menyuarakan pendapatmu, suaramu sama berartinya dengan suara-suara lelaki di luar sana, jangan takut akan tindasan stigma sosial yang ada, buktikanlah kalau itu salah. Contoh-contoh diatas hanyalah sebagian kecil dari diskriminasi terhadap perempuan yang masih terjadi di Indonesia, baik oleh suku-suku pedalaman hingga di perkotaan. Hal ini juga menunjukkan sulitnya posisi wanita di Indonesia yang masih terkekang dan tertindas stigma sosial, hukum adat, maupun peraturan pemerintah dan tentunya dapat menjadi renungan.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

CLOSE