Hyper Reality, Realitas ‘Semu’ yang Tidak Disadari Banyak Orang

Handphone yang saat ini ngetrennya disebut sebagai ponsel pintar merupakan perangkat ponsel yang multifungsi

Perkembangan teknologi dan informasi saat ini menjadi hal yang paling menarik dan ditunggu-tunggu oleh semua orang. Banyak perusahaan di dunia berlomba-lomba menciptakan pembaharuan alat-alat canggih yang menunjang hajat hidup orang banyak. Salah satunya media perangkat telepon. Jika dulu kita masih harus menggantungkan asa pada surat pos atau telepon umum untuk sekadar saling berkabar dengan orang terdekat, saat ini semua hal rasanya dapat kita lakukan hanya melalui perangkat berbentuk persegi panjang yang mudah digenggam dan dibawa kemana saja.

Handphone atau yang saat ini ngetrennya disebut sebagai ponsel pintar merupakan perangkat ponsel yang memiliki banyak kegunaan alias multifungsi. Ponsel pintar pertama kali diluncurkan pada tahun 1994 oleh perusahaan IBM. Ponsel ini terbilang cukup berat dengan bobot 500 gram dan dibanderol dengan harga kisaran 12-14 juta rupiah. Setelahnya perkembangan ponsel pintar semakin berkembang setelah perusahaan seperti Nokia dan BlackBerry muncul dan menjadi tren di kalangan para pengguna ponsel pintar.

Pada tahun 2005 ponsel pintar trennya semakin naik di pasaran tatkala hadirnya Android yang merupakan sistem operasi berbasis Linux dikembangkan oleh Android Inc yang kemudian dibeli Google. Sejalan dengan hal tersebut, Steve Jobs juga mulai memperkenalkan Iphone yang merupakan gabungan dari 3 produk perusahaan Apple yaitu: iPod, telepon seluler, dan perangkat komunikasi internet. Dan sampai dengan hari ini baik Android maupun Iphone terus bersaing dalam menarik konsumen. Hampir seluruh masyarakat di dunia saat ini memiliki ponsel pintar yang seolah menjadi bahan kebutuhan pokok selain papan, pangan, dan sandang.

Hal tersebut lantas membuat kita tanpa disadari menjadi begitu ketergantungan dengan hadirnya handphone. Seolah jika tidak mengecek perangkat elektronik tersebut kita akan merasa gelisah dan was-was, padahal tidak ada notifikasi penting yang muncul. Atau jika tidak memiliki akun media sosial di zaman sekarang dapat dilabeli sebagai orang yang ketinggalan zaman. Media sosial tumbuh dan berkembang secara pesat menjadikan banyak penggunanya semakin berbondong-bondong menjadi yang terdepan. Rasanya jika tidak mengecek akun media sosial satu jam saja, kita merasa seolah sudah ketinggalan banyak informasi. Kondisi ketergantungan itulah yang disebut dengan hyper reality.  

Jean Baudrillard, salah satu ahli kebudayaan dan sosiologi mengemukakan pandangannya mengenai hyper reality. Pandangannya ini ia adaptasi dari pemikiran McLuhan. Ia percaya bahwa perkembangan teknologi informasi yang semakin mutakhir saat ini tidak hanya mampu memudahkan aktivitas manusia tetapi lebih hebatnya mampu menciptakan fantasi atau fiksi ilmiah menjadi kenyataan, mampu mereproduksi masa lalu, atau bahkan ‘melipat’ dunia sehingga tidak lebih dari sebuah layar kaca, disket, atau memory card.

Saat ini kita terjebak dalam kondisi hyper reality yang membuat stigma dalam pikiran kita bahwa dunia online lebih indah dan bermakna. Realitas tersebut dibangun berdasarkan kemampuan teknologi dan dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan dan pandangan di sekitarnya yang didesain secara sengaja oleh para pelaku agenda setting.

Misalnya dalam konteks kapitalisme, secara tidak sadar manusia saat ini telah dikontrol oleh sistem komiditi (seperti kecantikan, barang elektronik, hingga shopping malls online) yang menyebabkan manusia kehilangan kesadarannya dan memiliki gairah konsumsi yang begitu tinggi.

Dalam bidang kecantikan saat ini, standar bahwa seorang wanita akan dianggap cantik apabila memiliki kulit putih bersih dan tubuh langsing seperti yang selama ini ditampilkan oleh berbagai media. Membuat banyak wanita berbondong-bondong melakukan segala cara untuk menjadi ‘cantik’. Mereka dengan getol kemudian membeli segala jenis produk kecantikan, skincare, obat pelangsing, dsb. Hal itu disebabkan, mindset mereka telah terbentuk bahwa wanita akan dianggap cantik jika memenuhi standar tersebut.

Gaya hidup, citra, dan pembentukan personalitas yang selama ini ditampilkan lewat media sosial dan internet dipandang begitu indah oleh para penggunanya. Padahal kenyataannya tidak semua yang ditampilkan tersebut merupakan realitas yang sebenarnya. Bukan sebuah kesalahan atau dosa besar apabila kita terjebak dalam kondisi hyper reality. Tetapi kemudian tergantung dari bagaimana cara kita menghadapinya. Namun sekali lagi, tidak semua orang mampu melakukan hal tersebut.

Seseorang menjadi terkenal, memiliki ribuan penggemar dan pengikut di media sosial, yang selalu memuji-muji akan merasa sangat nyaman dan tanpa sadar telah terjebak lebih dalam pada kondisi hyper reality. Kenyamanan yang diperoleh dalam dunia maya tersebut ternyata berbanding terbalik dengan kondisinya di dunia nyata. Akibatnya ia akan lebih memilih kehidupan di dunia mayanya ketimbang kehidupan sosialnya.

Orang-orang kini lebih percaya diri tampil di media sosial karena hadirnya aplikasi yang dapat mempercantik wajah dengan berbagai macam fiturnya. Hal itu disebabkan karena mereka mampu menunjukkan eksistensi mereka yang seperti tanpa celah, cantik/tampan, baik hati, bijak, dan disegani. Rasanya kita semakin jauh untuk tampil apa adanya demi mencapai kesempurnaan ‘semu’ tersebut. Segala keindahan tersebut membuat mereka menjadi enggan untuk hidup secara nyata dalam kehidupan sosial mereka yang sebenarnya. Padahal segala kesempurnaan itu tidak akan berlaku untuk selamanya. Rasanya kini kita semakin tidak sulit untuk membedakan mana kebenaran dan kebohongan pada apa yang ditampilkan dalam dunia maya. 

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Hasna Fadhilah merupakan mahasiswi Ilmu Komunikasi yang mengambil konsentrasi Public Relations, namun juga menggeluti bidang jurnalistik dan senang menulis dan menonton film.