Karena Kebaikan Akan Selalu Terkenang, meski Dia tak Selamanya Tinggal

Kita pernah bertemu dalam keadaan baik. Hari itu yang kuingat kau mengajariku pengalaman bertransportasi umum di ibu kota. Iya, hari itu pertama kalinya aku naik busway. Kau juga memberi saran jenis kartu apa yang sebaiknya aku pilih agar bisa dipakai untuk berbagai keperluan. Hari itu saja sudah ada yang membuatku kagum padamu. Aku masih mengingatnya lekat-lekat. Saat berada dalam antrean kau tiba-tiba menggeser posisimu ke belakangku dan kau memintaku memindahkan tas ke depan tubuhku. Kau begitu waspada pada gelagat aneh seorang pria yang tadinya berdiri tepat di belakangku.

Hari itu kita hanya sekedar berjumpa dan makan di salah satu restoran cepat saji. Saat itu aku masih berstatus mempunyai pacar, tak ubahnya dirimu yang bercerita sedang menjalin hubungan dengan gadis yang menetap di kota lain, yang sering kita menyebutnya long distance relationship. Sisanya kita hanya berbicang ringan hingga waktu perpisahan tiba. Kita pulang menuju rumah masing-masing.

Tak lama berselang dari waktu perjumpaan kita ternyata komunikasi kita harus terhenti karena keegoisan seorang pria yang membuatmu merasa tersudut. Pacarku kala itu menghardik perjumpaan kita dan percakapan kita yang masih berlanjut via media sosial.

Aku ternyata pernah melewatkan kesempatan baik, memilih tetap tinggal dalam hubungan yang tidak lagi direstui orang tuaku. Berharap suatu saat akan terjadi perubahan besar, perubahan yang baik, padahal aku hanya sedang menunggu hingga dia bosan menjalani hari-hari bersamaku.

Aku berpisah dengan cara yang tidak baik, dengan momentum yang dramatikal. Seakan semuanya sudah diskenario layaknya pertunjukan bioskop. Aku menangis, tentu saja. Ada rasa sakit yang begitu menghujam seakan-akan aku tak bisa menarik napas lagi. Sepanjang malam aku membuang air mata. Hari-hari berikutnya tak sedikitpun aku berselara menghabiskan makanan yang biasanya sudah menjadi hobiku.

Aku terpuruk tetapi tidak lama. Kemudian aku membuat resolusi, aku diet, mengatur pola makan. Aku berhasil mencapai berat badan normal. Tetapi dengan naif saat itu aku ingin dia menyesal melihat perubahan fisikku. Aku sengaja melakukan itu dengan harapan dia memohon kembali padaku. Aku merasa tak akan bisa melanjutkan hidupku jika dia bersanding bukan dengan diriku. Aku sudah gila. Mata hatiku sudah buta. Tak ada Tuhan ku damba. Hanya kenikmatan dunia ku kejar. Kejinya aku, hinanya diriku, nistanya hidupku.

Suatu hari, entah kapan, aku tidak mengingatnya dengan baik, komunikasi kita kembali terjalin. Informasi yang aku peroleh kini kau sudah berganti pekerjaan dan menetap di luar kota. Alangkah jauh tempat itu. Dan entah sebab apa kita berencana bertemu saat hari lebaran nanti. Sekali lagi aku kagum padamu. Aku anggap kau berhasil dalam karir. Sebab menjadi pegawai negeri sipil itu tak mudah. Pasti banyak perjuangan yang telah kau lakukan. Aku pernah menyaksikan perjuangan ibuku untuk mendapatkan hal yang sama. Aku tau itu penuh tantangan.

Malam saat pertemuan kita kala libur lebaran lebih banyak berbincang tentang pengalamanmu di kota itu. Berbagai hal yang berbanding terbalik dengan ibu kota bahkan kota kelahiran kita. Seberapa mahal tiket yang harus kau bayar demi berkumpul dengan keluarga. Kondisi teman-temanmu yang ditempatkan di luar pulau Jawa. Aku hanya menyimak dengan seksama. Sesekali kuperhatikan badanmu yang mulai membengkak. Kau gemuk. Kau bilang itu bukti kalau kau makmur. Itu kepuasanmu sepertinya.

Kita hanya sekedar teman. Kita berjumpa memang hanya untuk menjalin silaturrahmi. Kita kenal karena satu alumni SMA. Saat semasa SMA kita bahkan tak seakrab ini. Tapi aku pernah berharap kita lebih mudah dekat karena kau tetangga nenekku. Tetapi masa putih abu-abuku hanya kuhabiskan untuk hal sia-sia. Sekedar mengikuti pelajaran di kelas, mengerjakan PR, dan sisanya hanya untuk pacaran. Tak sempat aku memperhatikan dirimu dari dekat, hanya sekedar tahu. Tak banyak teman kelas lain juga yang ku kenal. Pergaulanku hanya terbatas dengan pacarku saat itu.

Suatu hari aku sedang mengalami masalah. Sahabatku berusaha membantu tapi belum jua menunjukkan hasil. Lalu aku teringat padamu, keahlianmu, jurusan yang kau ambil saat kuliah. Aku berharap kau bisa membantu. Tetapi aku terus mempertimbangkannya, mengingat ini adalah hal yang privasi. Sementara aku terus merasa diancam hingga diperas. Meskipun aku merasa ragu aku tetap mencoba meminta bantuanmu.

Aku memintamu untuk berusaha mengambil alih sebuah akun email, yang tentu kamu mengenalnya. Mengenai tanggapanmu awalnya tak meyakinkan. Kau terus memaksa aku menyatakan alasan yang kuat kenapa itu harus dilakukan. Berat rasanya mengungkapkan semua secara gamblang. Terlalu sungkan diri ini mengutarakannya. Tapi aku sudah terlanjur mengawali, kalau begini hanya akan membuatmu semakin penasaran saja. Akhirnya aku beranikan diri menceritakan alasan mendasarnya. Kau bersedia membantuku tanpa mau menerima imbalan yang kutawarkan. Ternyata prosesnya berlangsung lama dan aku tidak sabaran.

Aku memperoleh saran dari seorang sahabat, "biarkan saja dia menyimpan semua kenangan masa lalu itu, kalau ingin benar-benar move on harusnya kamu nggak usah lagi ngurusin yang ada kaitannya sama dia." kalimat ini ada benarnya. Kaupun pernah mengutarakan negara kita negara hukum, bisa saja kita laporkan ke pihak berwajib jika terus berlanjut.

Selapas aku mengatakan kalau aku berubah pikiran dan tidak lagi menghendaki untuk mengambil alih email itu, percakapan kita tetap berlanjut. Berawal dari curhatanku dan selanjutnya aku tahu sekarang kau sedang sendiri. Kau sedang mendamba seorang istri.

Percakapan kita semakin sering dan semakin akrab. Aku mulai khawatir. Aku takut terlena dan jatuh cinta. Aku takut lupa siapa aku sebenarnya. Seberapa pantas diri ini mendambakan seorang pria sebaik dirimu.

Sepanjang percapakan kita sejak hari itu banyak hal baik kubaca dari apa yang kau ungkapkan. Aku masih saja merasa rendah diri tetapi nasehatmu bisa mengangkat rasa percaya diriku. Tibalah satu hari bersejarah bagiku. Hari dimana aku mulai merasa malu, hari dimana aku mulai mendambakanmu, hari dimana perasaan membuncah setiap membaca pesanmu.

Hari itu kau hendak menyampaikan suatu nasehat, begitu santun awal kalimatmu hingga hatiku benar-benar tersentuh. Aku sempat meminta saran dari beberapa sahabat dan aku memutuskan untuk melakukannya. Hijrah. Mungkin di awal ini niatanku masih salah, karena aku ingin engkau melihatnya, namun seiring doa yang terus kupanjatkan aku semakin yakin melangkah menuju jalan yang dirodhoiNya.

Aku masih senang dipuji kala itu, sungguh senang saat kau mulai mengirimkan pesan dengan karakter kagum. Berbunga-bunga rasa hati ini. Aku mulai merasakan debaran kebahagiaan. Aku bahkam hampir lupa dengan hantaman awal tahun lalu.

Walaupun saat ini aku merasa bahagia aku kemudian tersadar, kenapa aku begitu mempercaimu, kenapa aku sungguh mendambakanmu. Akhirnya dengan nada bercanda aku mengutarakan keraguanku, tetapi tanggapanmu sungguh di luar dugaanku. Kau bilang kau serius. Kita berencana, Allah yang mentukan. Dimulailah hari dimana aku berani menyebut namamu dalam sujudku.

Kita mendapat satu kesempatan lagi untuk bertemu. Aku begitu kikuk, seolah ini kencan pertamaku. Aku berusaha mengatur detak jantung yang sungguh tak beraturan. Taukah kamu, mas, begitu banyak hal yang ingin aku ungkapkan, begitu bayak pertanyaan berkecamuk di pikiran, tetapi tak satupun teuraikan karena otakku sudah dipenuhi luapan endorfin. Banyak hal tak terduga juga dari dirimu yang baru aku ketahui hari itu. Keseriusanmu tergambar lewat semua sikapmu hari itu, namun hatiku masih saja meragu, akalku masih menimbang. Bahkan setelah pertemuan itu aku masih berusaha memintamu untuk meyakinkanku.

Beberapa minggu telah terlewati sejak perjumpaan itu. Aku tidak bisa memungkuri rasa yang kutujukan padamu. Entah apa itu namanya, mungkin aku jatuh cinta. Aku menantikan setiap pesan yang akan datang, selalu menunggu sapaaanmu. Tetapi, semakin jelas maksud dan tujuanmu aku malah semakin takut. Aku sungguh-sungguh takut. Keraguan kembali melanda, seolah aku harus bangun dari mimpi yang kudamba sendiri, seolah aku harus meruntuhkan asa yang ku bangun sendiri.

Aku beranikan diri, ini sudah kuniatkan. Lebih cepat lebih baik. Harus aku akhiri saat ini. Sebelum semua kenangan semakin menjerat. Sebelum hati terbuai lebih jauh lagi. Aku harus tetap sadar. Aku harus bangun. Aku sudah menyadarinya sejak awal, akan sulit membina hubungan baru saat kau mengetahui kondisiku yang sebenarnya. Kau punya hak memilih. Maka kau akan memilih yang terbaik.

Apapun yang telah kulakukan di masa lalu itulah kebodohanku. Segala dosaku di masa lalu masih ku mohonkan ampunanNya. Tetapi ada hal yang membuatku tak lagi sama. Aku paham betul keadaan ini. Hanya saja bertemu denganmu seperti ini setidaknya aku ingin punya kenangan yang indah dan manis. Setelah segala kepahitan hidup yang kulalui karena perbuatanku sendiri. Aku pernah menceritakannya, otak kita tidak diprogram untuk melupakan sesuatu melainkan mengingat. Sekarang aku punya ingatan baik untuk tetap kukenang.

Untukmu yang masih meminta waktu untuk mempertimbangkan hal ini, sepertinya aku sudah tau jawabanmu. Hanya saja kau masih menyampaikannya dengan santun. Sekali lagi aku kagum padamu. Hingga saat sujudku hari itu aku ucapkan doa terbaik untukmu. Ku mohonkan agar engkau bertemu dengan wanita yang sepadan. Wanita yang pantas.

Aku pernah bertemu dengan seorang pria dengan pribadi sebaik dirimu, sesantun caramu menjaga perasanku, setegas sikapmu saat menolak hal yang tak kau suka. Tetaplah istiqomah menapaki jalan kehidupan dalam ridhoNya. Cukupkan cerita kita. Terima kasih untuk semua nasehatmu. Aku bersyukur untuk hari-hari penantian berjumpa denganmu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

16 Comments

  1. Inaya Hasanah berkata:

    Silent is golden

  2. ED Exsanja berkata:

    Silet is golden :v :v :v

  3. Karunia Permatayoni kok mirip awakmu gambare kui?? ???