#Jarakmengajarkanku Bahwa Waktu Berkualitas Tak Harus Selalu Bersama Setiap Saat

Jarak dan ruang sendiri yang memberi kita makna sebenarnya tentang rindu

“Jadi, hari ini kita resmi jadian ya?” tanyanya kepadaku. Memastikan kembali jawaban ambigu yang baru saja terucap olehku. Aku mengangguk tanda setuju.

Advertisement

Aku senang, sekaligus masih tak menyangka. Orang di hadapan ku ini adalah pacarku sekarang, padahal baru 2 minggu aku mengenalnya secara intens. Tahu tentangnya, sifatnya dan seluk-beluk hidupnya saja masih abu-abu. Entah hal apa yang membuatku yakin untuk memilihnya.

“Tapi, besok aku udah harus pergi. Aku dimutasi kerja ke tempat yang hampir nggak ada sinyal, nggak bisa chat sama video call, cuma bisa telepon dan sms. Kamu gapapa ya?”

Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku bisa mengenal lebih jauh tentangnya kalau untuk berkabar saja masih ada batasan seperti itu?

Advertisement

“Kamu nggak usah khawatir, aku pasti selalu ngasih kabar kapan pun aku ada waktu luang.”

“Iya, aku percaya kamu.”

Advertisement

Hanya itu yang mampu aku ucapkan dibalik segala kekhawatiran ku. Baru d iawal saja sudah dihadapkan dengan cobaan seperti ini, bagaimana nantinya? Huh.

***

“Halo, aku baru sampai nih, setelah perjalanan panjang menuju ke sini. Kamu tau, ternyata area kerjaku tempatnya masih hutan, pantes aja jaringan sulit. Di sini juga hampir nggak ada cewek selain petugas catering sama laundry, kamu nggak usah khawatir soal itu ya hehe. Dan di sini juga….”

Dia kemudian bercerita panjang lebar tentang keadaan di sana. Detail. Hingga aku mampu membayangkan apa saja yang dilihatnya dan dilaluinya selama di sana. Selama mendengar ia bercerita, aku tak hentinya menyunggingkan senyum meski hanya melalui telepon.

Begitu pun dengan hari hari selanjutnya, kami hanya bertukar cerita di malam hari. Saat ia ada waktu senggang. Meski begitu aku tak merasa keberatan, entah kenapa dengan cara seperti itu aku jadi merasa mengenalnya dengan sangat dekat.

Ia bercerita semua tentang seluk-beluk dirinya, tentang keluarganya, masa lalunya, pergaulannya, dan yang menurutku terbaik adalah saat ia membicarakan tentang masa depan. Mungkin masih terlalu dini, tapi ia sudah berkomitmen untuk menjadikanku bagian dari salah satu hal yang harus dicapainya di masa depan. Mendengar itu, rasanya perutku seperti dipenuhi ribuan kupu-kupu. Demi apa pun, aku bahagia.

Sepertinya masa LDR ini akan indah. Berjalan mulus seperti apa yang diharapkan.

Sampai waktu memberikan cobaan pertama pada kami.

Malam itu seperti biasa kami menghabiskan waktu via telepon, untuk pertama kali, aku melihat sisi menjengkelkan dari dirinya. Dia menjadi orang yang sangat berbeda bila sudah bersama teman-temannya. Dia bersikap tak hangat lagi denganku, dia jadi orang yang sangat menyenangkan bagi mereka. Dan mengabaikan aku.

Malam itu juga obrolan kami jadi terasa hambar. Aku lebih banyak diam dan uring-uringan, tapi ia malah menyalahkan aku karena tak memahami situasi. Ia menggertak dan mematikan telepon. Tanpa salam dan tanpa kata manis seperti malam malam sebelumnya. Aku benci ini.

Malam berikutnya, ia tak mengabariku. Tak menelpon atau mengirim pesan singkat. Oke, jika ia ingin bermain seperti ini, aku ikuti permainannya.

Sudah tiga hari berlalu sejak kejadian itu, ia tak menghubungiku sama sekali. Sebegitu marah kah ia? Menurutku masalah kami itu sangat sepele, tega sekali mengabaikanku sampai seperti ini. Aku jadi seperti itu juga karena dia. Bukan ulahku sepenuhnya.

Esok paginya, aku menerima sebuah pesan singkat.

“Jaringan di sini sedang buruk sekali. Sedang ada perbaikan tower jaringan, akses telepon pribadi dibatasi. Aku nggak tau kapan ini akan selesai, tapi semoga kamu ngerti ya. Aku sayang kamu, secepatnya kalo jaringan udah lancar lagi aku telepon kamu ya.  Love u.”

Aku kaget dong.

Saat itu juga aku nyesel karena udah suudzon duluan sama dia. Aku langsung coba nelpon, memastikan apa yang ditulisnya itu benar. Kenyataannya setiap kali aku telepon, sambungan teleponnya selalu terputus sendiri. Begitu seterusnya.

Untuk sementara, kami hanya bisa bertukar kabar melalui pesan singkat. Itu membutuhkan kesabaran yang tinggi sekali. Bagaimana tidak, kalau hari ini aku ngirim pesan, pesan ku itu baru terkirim besoknya. Pun sebaliknya. Tapi mau bagaimana lagi, inilah kenyataan yang harus kuhadapi selama beberapa hari ke depan.

Di sini aku menyesal karena ego yang masih belum bisa bertoleransi, percakapan terakhir kami malah jadi yang terburuk.

Selain rasa menyesal, aku juga rindu. Sangat rindu.

Selama masa menunggu itu aku coba mengisinya dengan hal-hal yang bermanfaat, agar saat ia sudah bisa menghubungiku lagi, aku punya banyak cerita untuk ku ceritakan padanya.

Hingga suatu hari, teleponku berdering. Aku melonjak kegirangan begitu melihat namanya yang muncul di layar HP. Aku tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Begitu suaranya terdengar, aku langsung meluapkan rasa yang sudah terbendung selama ini. Rindu sekali.

Begitulah jarak memberi kita kesempatan untuk merasakan rindu. Dan tentang waktu berkualitas itu tak selalu dengan menghabiskan waktu bersama setiap saat, melainkan seberapa berkualitas isi obrolan itu sendiri.

Jarak juga lah yang mengajarkan untuk memberi ruang sendiri agar kita menyadari bahwa ia berharga.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

INFJ's girl

CLOSE