Kecanduan Instagram dan Dampaknya

Ketika hidup tidak melulu tentang dunia maya

Instagram, sebuah fitur tempat berbagi cerita melalui foto atau gambar dan video serta membagikannya kepada rekan rekan yang dikenalinya sebagai followers. Mulanya, saya tidak berniat untuk membuat akun ini karena dia hanya membagi foto dan itu terkesan pamer. Hehe.

Advertisement

Lalu, seiring berjalannya waktu, saya pun membuat akun Instagram dengan bujukan temanku karena dianggap tidak up-to-date. Baiklah, saya buat akun. Saya mengikuti tren Instagram ini ketika saya sudah berstatus mahasiswa semester 2. Awalnya saya juga tidak tahu bagaimana menjalankan aplikasi ini pada umumnya yang hanya sekedar upload foto dengan caption atau keterangan foto tersebut.

Hingga setelah itu Instagram yang mulanya cuma bagi-bagi foto pun meng-upgrade penampilannya dengan fitur baru yaitu Instastory. Instastory adalah fitur baru Instagram yang penampilannya sempat dianggap menjiplak dari aplikasi Snapchat karena mampu membagi foto dan video berdurasi 12 detik dalam kurun waktu 24 jam.

Makna dari Instastory yang diluncurkan oleh pihak Instagram adalah membagi cerita pada hari itu, begitulah yang saya tangkap. Saya pun juga mengabadikan momentum di kala waktu senggang saya dengan mengabadikan “story” saya pada Instastory. Saya pun kerap membagikan kejadian-kejadian lucu yang saya temukan di lingkungan sekitar dengan maksud berbagi.

Advertisement

Lama-kelamaan, entah saya sadar atau tidak, saya pun terbawa arus dengan terbiasa menstory hal kecil. Ada gini sedikit, update Instastory. Ada kesalahan dikit, jadiin Instastory. Ada pencapaian sedikit, buat Instastory. Waktu itu saya sempat berpikir bahwasanya hal yang saya bagi pun kadang tidak terlalu berfaedah bagi yang melihatnya.

Saya pun mengurangi dan membatasi kegiatan Instastory saya yang tidak sesering waktu lalu. Lalu giliran saya yang melihat Instastory milik teman-teman followingku. Kebanyakan dari mereka mengisi “story” mereka dengan kejadian yang mereka alami, tidak sedikit dari mereka yang membagikannya bahkan lebih dari tiga story per hari. Saya pun tidak keberatan toh saya bisa skip story mereka.

Advertisement

Saya pun jadi sering membuka Instagram hanya untuk melihat story teman-teman. Hingga kemudian saya pun mikir sejenak dengan konten yang dibagikan dan mengorelasikan dengan pengalaman saya waktu bikin story.

Pertama ada kegiatan dengan teman-teman, misalkan reuni atau perayaan ulang tahun. Hal pertama yang biasa dilakukan adalah meng-Instastory momen itu. Baik, sampai sini diterima. Lalu, setelah membagi story apa yang terjadi dengan dunia nyatanya?

Saya juga mengalami, bahwa Instastory yang dibagikan tidak sebanding dengan “story“nya di dunia nyata indahnya. Kita pun jadi fokus pada Instastory saja, tidak ke dunia nyata, not live our life. Saya sempat merasakan keheningan di antara perkumpulan teman-teman yang sibuk dengan melihat Instastory sini situ. Akibatnya apa? Makna dari perkumpulan itu jadi meaningless, kenapa?

Karena itu semua adalah semu, hanya untuk memenuhi kebutuhan story aja, udah. Sampai akhirnya pernah kedapatan saya dan teman-teman untuk sepakat mengumpulkan gadget di tengah meja hanya untuk menghargai waktu kita, istilahnya quality time.

Setelah dijalani, ternyata hal itu sungguh bisa dikatakan sebagai “kumpul” karena kita bisa bahas ini itu, panjang lebar, ngalor ngidul tanpa gadget dan story. See, the power of quality time?  

Selain itu, kembali ke fitur pokok Instagram yakni membagi foto pun juga menjadi issue bagi saya. Sekarang, yang menjadi tolok ukur membagi foto di Instagram adalah mendapatkan like dan komentar sebanyak-banyaknya.

Tak hanya itu, caption yang mendukung pun kerap menjadi sorotan untuk mendapatkan like dan komentar yang banyak. Bermula dari caption saja bisa mikir hingga berhari-hari atau bahkan sempat searching di internet untuk mendapatkan caption yang inovatif atau bahkan membuat caption menjadi hal yang selucu itu sehingga bisa mendapatkan jackpot like dan komentar.

Bahkan mengukur jangka hari atau waktu yang tepat untuk mengupload foto terbaru agar tidak terlalu spamming. Nyatanya, hal itulah efek dari Instagram yang membuat kecanduan dan mendewakan dunia maya.

Hingga suatu ketika saya tertampar dengan omongan kekasih saya yang menyatakan bahwa saya kecanduan Instagram dilihat dari saya yang selalu membukanya meskipun ngga ngapa-ngapain. Hal itu benar-benar membuat saya sadar betapa saya tidak menghargainya yang berada disisi saya hanya karena saya terlalu fokus pada dunia maya saja. Terlena.

Tidak sampai di situ saja, saya juga menyadari satu hal yang bisa sangat merugikan saya. Membuka Instagram dan melihat Instastory teman-teman juga sangatlah menyita waktu berharga saya. Lihat saja, bagaimana tugas-tugas keleleran hanya karena waktu kamu habiskan untuk membuka, mengeksplor, dan mencari-cari sesuatu yang tidak akan ada habisnya.

Bahkan saya berani mengakui saya tidak akan bisa fokus pada tugas saya selama aplikasi Instagram masih terpasang pada gadget saya.  Saya juga sempat mecopot dan menonaktifkan akun saya selama kurang lebih satu bulan hanya untuk menyelesaikan tugas akhir saya. And it works. Saya jauh lebih fokus without that apps. Karena pada dasarnya Instagram itu seperti zat aditif yang secara tidak sadar akan menjadi kebutuhan primer sehari-hari.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

cross my heart and hope to die-

CLOSE