Kenyataannya Iman Kita Memang Berbeda. Sudah Selayaknya Kita Tak Bisa Bersama

iman kita berbeda

Benteng begitu tinggi sulit untuk kugapai. Aku untuk kamu, kamu untuk aku. Namun semua apa mungkin iman kita yang berbeda. Tuhan memang satu, kita yang tak sama. Haruskah aku lantas pergi, meski cinta takkan bisa pergi.

Advertisement

Sepenggal lirik dari lagu Peri Cintaku yang dipopulerkan oleh Marcell ini mengingatkanku pada kenyataan yang saat ini aku alami. Ya. Dipertemukan dengan seseorang dengan latar belakang yang semua berbeda denganku. Dari status pendidikan, status sosial, dan yang paling utama adalah keyakinan.

Dia adalah salah seorang perangkat desa. Meskipun usianya seumuran denganku tapi, aku menghormatinya dengan jabatan pentingnya bagi sebuah desa. Dia adalah teman dari bos tempatku bekerja.

Hampir setiap hari, meskipun tidak sering juga, dia bersama dengan stafnya pergi ke tempatku kerja, untuk mengambil keperluan alat tulis dan photocopy keperluan desa. Awalnya tak ada sesuatu yang janggal yang terjadi, namun lambat laun entah kenapa suatu hari saat dia datang, ada sesuatu yang berbeda. Yang awalnya dia malu-malu karena sering dibecandain oleh stafnya, sekarang dia sudah terbiasa. Bahkan sesekali bercanda denganku pula.

Advertisement

Kenapa aku bisa kenal bahkan dekat dengan mereka? Ya itu tadi karena bosku adalah teman mereka, satu tempat kerja pula. Otomatis tanpa berkenalan kami bisa seakrab ini. Mungkin sampai saat ini dia belum tahu namaku. Mungkin hanya aku yang ingat namanya, saat melihat tanda nama di saku baju dinasnya. Atau mungkin dia sudah diberitahu atau tanya dengan temannya, yang jelas kami belum resmi berkenalan. Ya mengalir begitu saja sampai sekarang.

Entah kenapa aku bisa tertawa hanya dengan kalimat sederhana yang dia katakan dalam setiap pembicaraan. Tak jarang pula dia justru yang sering memulai pembicaraan. Terlebih saat dia menungguku mengcopy berkas-berkas penting. Sesekali senyumku tak dapat kutahan. Tidak menyangka saja dia bisa begitu ramahnya padaku. Kocak abis deh. Seperti tak ada pembatas di antara kami. Antara aku ini hanya sebatas karyawan toko dan dia seorang perangkat desa. Iya aku sadar akan perbedaan status sosial itu.

Advertisement

Namun yang saat ini sangat mengusik pikiranku adalah dia berbeda keyakinan denganku. Perbedaan yang jauh lebih sulit dan bahkan tidak bisa ditembus dengan kekuatan cinta sekalipun. Iya. aku sadar Tuhan tidak bisa digadaikan bahkan digantikan oleh cinta atau nafsu semata manusianya.

Aku teringat juga dengan 23 tahun lalu ibuku bercerai dengan ayah kandungku, karena iman mereka juga yang berbeda. Setelah perceraian itu, aku ikut dengan ibuku, otomatis juga dengan keyakinan ibuku. Pengalaman pernikahan ibuku menjadi cerminan bagiku, bahwa menikah beda agama salah satu dampaknya adalah ke anak. Karena dulu seingatku, waktu kecil sekali mungkin sekitar uisa 2 tahun, aku pernah dibawa oleh ibu ayah kandungku ke tempat ibadahnya, ke masjid. Mungkin saat itu aku belum tahu apa perbedaannya.

Namun lambat laun setelah dewasa ini, apalagi berurusan dengan yang namanya pasangan hidup, sangatlah tidak mudah bila bicara tentang perbedaan keyakinan. Memang banyak juga yang menikah dengan pasangannya yang berbeda agama, tetapi tidak tahu juga rintangan apa saja yang mereka harus lewati, meskipun dalam pandangan kita mereka baik-baik saja.

Setelah kurenungkan dan kutimbang-timbang, tak ada titik temu yang kudapati. Mungkin aku hanya terbawa suasana saja. Mungkin saja dia ramah seperti itu bukan hanya ke aku saja. Bukan berarti pula kenyamanana yang tercipta antara aku dan dia ini bisa disebut cinta. Apalagi alasannya hanya karena kami sering bertemu dan tertawa bersama. Tidak bisa sesederhana itu. Bagiku sendiri prinsip utama dalam memilih pasangan hidup adalah seiman. Dan itu tidak bisa diganggu gugat.

Iya. Sebagai manusia siapa sih yang tidak bahagia jika ada seseorang yang tanpa diminta tiba-tiba hadir dan memberi warna? Namun lagi-lagi dari awal sudah diputuskan memang hanya untuk berteman saja. Sebelum ada pertentangan karena agama, juga dari pihak keluarga.

Jangan sampai ketidaksabaranku menanti janji Tuhan, justru membuatku salah menentukan jalan. Bukan hanya namaku saja yang kubawa. Apalagi aku sendiri juga adalah aktivis gereja. Akan sia-sia saja apa yang kulakukan hanya karena kalah terhadap cinta yang belum pasti juga di dunia. Aku menulis ini tidak ingin menghakimi siapapun, karena ibuku dulu juga pernah menikah dalam cinta beda agama. Semua orang punya pilihan masing-masing.

Namun jangan sampai karena cinta yang hanya sementara di bumi ini membuat kita meninggalkan Tuhan atau mempermainkan-Nya. Sejenak aku berpikir, ini mungkin salah satu alat uji Tuhan terhadap kesetiaanku. Bagaimana sebenarnya Tuhan sudah mempersiapkan pilihan-Nya yang paling terbaik untukku.

Iya. Dia dan aku memang harus berteman saja.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

Bukan sekedar hobi melainkan memberi arti.

Editor

une femme libre

CLOSE