Ketika Cinta Berhak Memlih

Yah di sini! Di tempat ini lagi aku bertemu dengannya. Orang itu berada tepat di hadapanku, oh Tuhan! Serasa ada yang sedang bermain drum di dalam dadaku, dag-dig-dug, brangg. Bergetar, mengalir deras darahku. Tatapan matanya bagai samurai yang mampu mematikan nyawa dengan sekali sabitan.

Advertisement

Terbesit sebuah pertanyaan konyol dalam pikirku, “Ya Allah apakah ini jawaban dari doaku barusan?”

“Mari, saya bantu!”, ucapnya dengan melemparkan senyuman manis yang sembelumnya membuat hatiku berbunga-bunga sembari mengulurkan tangannya padaku.

“Terimakasih” balasku dengan senyuman ringan.

Advertisement

“Oh ya, saya Luthfi”, mengulurkan tangan tanda awal pertemanan.

“Ulfah” jawabku singkat. “Maaf, tapi Ulfah harus segera pulang” bergegas membereskan buku-bukuku yang beserak dan segera meninggalkan tempat itu.

Advertisement

Pertemuan di halaman rumah Allah itu membuat pikiranku tak bisa lepas dari bayang-bayangnya. Senyumannya yang mampu menerobos masuk ke dalam relung hatiku. “Ya Allah,, ijinkan aku untuk berhenti memikirkannya! Karna belum tentu juga dia mengingat aku saat ini”.

Keesokan harinya.

Seperti biasa, sepulang mengajar aku mampir di sebuah masjid dekat madrasah alliah tempat aku mengajar. Namun ada yang berbeda, karna kali ini aku pulang bareng bersama sahabatku.

“Ya Allah, tuntunlah hambamu ini agar selalu berada di dekatmu. Tunjukan aku, dekatkan aku dengan jodohku.” Pintaku dalam doa yang untuk ke sekian kalinya ku ucapkan.

Asallamua’laikum” suara seorang pria dari belakang menyapa aku dan Zahra sahabatku.

Wa’alaikum salam” jawab kami serentak sambil menoleh ke arah suara itu.

Lelaki itu. Ya, dia Luthfi! Lagi-lagi aku berjumpa dengannya di tempat ini. Dia sangat tampan tak bisa rasanya pandangan ini lepas dari raut wajahnya.

Astagfirullah” ucapku spontan saat sadar dari lamunan bayang-bayangnya.

“kamu kenapa Fah?” tanya sahabatku Zahra

“Ulfah nggak apa-apa kok Ra. Eh iya Ra, Ulfah pulang duluan ya?” ucapku tergesa-gesa

“maaf ya Luthfi” ucapku, dengan sibuk membereskan perlengkapan shalat dan beranjak pergi meninggalkan mereka.

Setiba di rumah

Hari ini hari terahir aku di bandung, karna besok aku harus pulang ke tasik dan memulai aktivitas baru di sana.

“Ya ampun! Berkas-berkasnya? jangan-jangan”

Kring..kring..kring.. suara telpon mecah ingatanku. Spontan aku meraih telpon genggam di dalam tasku. “Hah, no baru?”

“Hallo, Asallamualaikum” suara laki-laki ini sepertinya sudah tak asing lagi di telingaku.

Wa’alaikum salam”.

“maaf, benar ini dengan hasna Ulfah Nur’aini?” tanyanya lagi.

“iya, betul. Ini dengan siapa ya?” kutanya balik dengan penuh tanda tanya.

“ini Luthfi Fah, tadi aku nemuin formulir kamu di halaman masjid. Barangkali ini penting buat kamu”

Ternyata Luthfi yang menemukan berkas-berkasku “iya, itu punya Ulfah, ini ulfah lagi nyariin! Jadi kapan Ulfah bisa ambil? Soalnya.”

“Soalnya apa Fah?” Tanyanya penasaran.

“Soalnya besok ulfah harus pulang ke Tasik, berkas-berkas itu penting buat ulfah”

Tiba-tiba telponnya terputus. “Sayang sekali, padahal Ulfah masih ingin berbicara dengan Luthfi” sesalku dalam hati

Tudt.. tudt.. tudt.. suara getar handphoneku, perlahan ku buka dengan santai. Rupanya sebuah pesan singkat dari nya yang berisikan “Maaf ya Ulfah, tadi pulsanya abis. Besok luthfi antarkan berkas-berkasnya ke tempat Ulfah ya? Tapi Ulfah smsin alamatnya”.

Dengan cepat aku membalas pesan darinya “iya Luthfi, makasih ya? ini alamatnya.”

Pagi yang cerah, luthfi mengantarkan berkas-berkasku tepat waktu. Kami pun berbincang-bincang dan di akhiri dengan kata terimakasih yang terucap dari mulutku dan kami pun saling berpamitan.

Seiring bergantinya waktu ke waktu

Hari demi hari, semakin erat tali silaturahmiku dengannya. Komunikasi antara aku dan dia pun tak pernah putus. Semakin lama semakin dalam mengenal satu sama lain.

Ternyata Luthfi lebih dewasa dari aku, umur kita terpaut 3 tahun mungkin tidak jadi masalah! Dan sejak itu aku memutuskan untuk memanggilnya kakak dan dia memanggilku adik.

Banyak hal yang saling kita ceritakan. Hingga suatu hari, Luthfi menceritakan alasannya pergi dari makasar (tempat kelahiranya) ke bandung. Ternyata selain masalah pekeraan dia juga telah berjanji pada orangtuanya akan segera mengenalkan calon istriinya pada mereka.

Akupun sangat terkejut, kaget sekaget-kagetnya mungkin di ibaratkan serasa mendengar petir yang amat kencang.

Lewat telpon dia berkata “Ulfah.. kitakan sudah saling mengenal lebih dekat, Kita juga sudah saling berpikir dewasa. Apa kamu bersedia menjadi pendamping aku?” ucapnya dengan nada yang sangat lembut.

“Ulfah ragu kak, bukan ragu karna kakak! Tapi Ulfah ragu sama keluarga ulfah dan keluarga kakak. Apa mereka mau merestui kita?” jawab ku bimbang

“Besok kakak ke Tasik, ke rumah Ulfah. Biar kakak bicara langsung dengan keluarga Ulfah” tuturnya dengan penuh kepastian.

Matahari telah memancarkan sinarnya, Ternyata dia tidak main-main dengan ucapannya, dia benar-benar datang untuk berbicara pada orangtuaku.

“Sudah adzan ashar dek, bagaimana kalau kita shalat berjamaah dulu di masjid” ucapnya saat adzan berkumandang.

“Iya kak, kebetulan rumah ulfah nggak terlalu jauh dari masjid itu” sambil berjalan menuju masjid.

Setiba di rumah, orangtuaku menyambutnya dengan baik. “Mangga jang calik” ucap umi mempersilahkan kak Luthfi untuk duduk.

“Maaf kak, maksud umi ulfah silahkan kakak duduk.” Akupun bergegas ke belakang untuk menyiapkan minuman.

“Namanya siapa nak?” tanya abi

“Muhamad Luthfi Palalo pak.” Jawab kak luthfi dengan nada yang sangat sopan

“Ulfah kenal kak Luthfi di bandung abi”. Ucapku sembari membawa nampan yang jadi penumpu gelas-gelas minuman.

“Saya kesini selain bersilaturahmi juga bermaksud untuk meminta restu bapak dan ibu, saya ingin menjadikan ulfah sebagai pendamping saya pak, bu” terangnya, tanpa sedikitpun terlihat rasa gugup di sorot matanya.

Tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu yang memenggal pembicaaan kami, akupun segera berjalan menghampirinya. Seorang wanita yang berpakaian sangat minim spontan saja memaki dan mendorongku dengan tangannya.

“Kamu siapa? Kenapa kamu marah sama Ulfah? Salah Ulfah apa?” tanyaku dengan penuh kebingungan.

Mendengar keributan di luar, umi, abi dan kak luthfi berlari untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Kak Luthfi membangunkanku yang terjatuh akibat di dorong wanita itu.

“Maria?” sebuah nama keluar dari mulut kak luthfi yang bertuju pada wanita itu.

“Apa maksud dari semua ini!” ucap abi murka. Tentu saja abi marah melihat seorang wanita yang berdiri di depan pintu itu. Jelas karena abi tak suka dengan wanita yang berpakaian tidak sopan, terlebih-lebih dia memperlakukan aku dengan kasar.

“Sudah bi, sebaiknya kita semua masuk dan membicarakannya di dalam.” Umi berusaha untuk menenangkan abi. “Ayo masuk…” ajak umi dengan lembut pada wanita itu.

Kami semuapun masuk untuk membicarakan masalah yang terjadi, di ruang tamu.

“Sebaiknya kita pulang sekarang sayang, kamu harus segera melakukan acara mappuce-puce! Karna aku ingin segera massuro”. pinta wanita itu dengan nada yg sangat manja.

Betapa sakit, hancur, remuk rasanya hatiku mendengar ucapan wanita itu. Hingga tak tersadari air mataku mengalir begitu saja.

“Ulfah, kak Luthfi bisa jelaskan semuanya”

“Sebaiknya kalian berdua keluar dari sini..!!” abi mengusir mereka dengan nada yang sangat tinggi. “Ulfah, kamu tau kan abi ini siapa? Apa kata tetangga jika melihat abi mempersilahkan masuk wanita yang berpakaian seperti itu! Kamu juga tau kan abi yang selalu berusaha keras untuk mengenalkan pada orang-orang kalau tasikmalaya itu kota santri, tapi kamu” kata-kata abi membuatku merasa bersalah.

Keadaan semakin memanas, abi marah dan umi terus berusaha menenangkan abi. Sedangkan aku terlihat seperti wanita lemah yang hanya terdiam dengan air mata mengalir tak bisa tertahan.

Aku berusaha untuk menjadi wanita yang tegar. Dengan berani aku berkata pada abi “ulfah sayang ka luthfi bi, ulfah mau memulai kehidupan baru ulfah dengan ka luthfi..! ijinkan ka luthfi untuk memilih antara ulfah dan wanita itu. Ulfah nggak mau mengalah bi…!”

“Tentu saja aku lebih memilih kamu dek, Cuma kamu yang pantas untuk menjadi pendamping aku.” Sahut kak luthfi.

Wanita itu marah pada kak luthfi. Entah apa yang d ucapkan wanita itu, mungkin bahasa makassar yang tak aku mengerti sedikitpun.

“Maria, cinta itu berhak untuk memilih! Dan kak luthfi lebih memilih aku.” Ujar ku pada wanita itu.

“Tapi…”

“Aku mengerti perasaan kamu, mungkin suatu saat nanti kamu akan mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari aku. Yang bisa mencintai dan membahagiakan kamu” sahut kak luthfi.

Suasana menjadi haru, mariapun mulai mengerti dan meminta maaf kepadaku.

“Tolong restui niatan kami..” dengan nada memelas kak luthfi memohon.

“Mungkin memang Ulfah dan kak Luthfi berbeda pulau, berbeda suku, berbeda budaya, tapi kitakan masih seiman bi… apa salah bi ulfah perjuangin masa depan ulfah..”

Abi hanya terdiam, Mungkin abi sedang memikirkan hal yang terbaik untuk putrinya. “baik, abi restui kalian! Tapi ingat, jaga putri abi baik-baik”. Kata-kata abi seolah mengubah suasana saat itu.

“Makasih abi..” sahut kami serentak.

Akhirnya orangtuaku merestui hubungan kami, dan mengijinkan aku ikut bersama kak luthfi pergi ke makassar untuk meminta restu dari orangtua kak luthfi.

Terkadang mungkin tidak harus terus mengalah, terkadang mungkin tidak harus pasrah. Takdir itu harus diubah menjadi lebih baik. Dan aku putuskan untuk memperjuangkannya. Cinta bukan hanya membicarakan apa yang kita inginkan, tapi cinta juga memikirkan apa yang nanti akan kita dapatkan. Karna cinta berhak untuk memilih.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

Advertisement

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

nama ku cucu rokayah, mahasiswi sastra indonesia semester 6 yang hobby nya main game dan menulis.

CLOSE