Ketika Cuek Adalah Pilihan

Kita tak selalu harus peduli pada segala hal

Malam yang dingin ini ternyata mempengaruhi semua yang ada di otak dan pikiranku, tepatnya mempengaruhi gerakku yang biasanya lebih aktif dari biasanya. Baiklah, nampaknya tidur itu lebih baik di atas segalanya, bahkan ketika aroma makanan menggoda dari dapur. Kuraih ponsel dan akan kumatikan, tapi kulihat notifikasi di layar ponsel mengusikku untuk membukanya.
Ah, dia lagi! Tanganku mulai mengetik untuk membalas pesan singkat darinya, tapi…

"Kenapa, Sha?"
"Aku ini benci banget dengan keluarganya mas Aryo, tahu nggak sih? Aku ini habis lahiran, bukannya dibawain apa kek gitu?"
"Jadi kamu mengharap?"
"Maksudmu?", suara Marsha dari jauh sana seperti mau menerkamku.
"Ya, memangnya ini baru pertama kamu alami? Kamu nggak ingat ini udah kali ke berapa?"
"Iya sih, udah nggak terhitung ini kejadian yang keberapa Feb, tapi kan kok begini banget sih?"
"Sha, jadi kamu masih mikirin?"
"Jadi kamu nggak mau dicurhatin lagi? Aku ngerepotin kamu?"
"Nggak Sha, gini lho…"

Tut…tut…tut, lalu tak terdengar lagi suaranya Marsha terdengar.
Pasti dan bukan salah lagi kalau dia pasti sudah marah besar padaku.
Hari berlalu dan aku pun belum sempat mendatangi Marsha setelah dia marah besar dan melahirkan anak keduanya, sampai akhirnya sahabatku dari jaman kami masih main perosotan bersama itu yang malah mendatangiku duluan.

"Hai wanita jahat nan keji, teganya kamu belum datang jenguk aku juga?" suaranya memecah konsentrasiku yang lagi memikirkan alur dalam bukuku selanjutnya. Pelukannya memberiku sinyal bahwa dia tak marah padaku lagi. Kami larut dalam obrolan panjang, dari yang serius sampai yang kadang tak berfaedah sama sekali. Sampai akhirnya dia harus lekas pulang karena bayi nya pasti sudah menunggunya.

"Jadi gimana? masih merasa kesal?"
"Sama kamu? Kan kita udah baikan." Aku menggelengkan kepalaku.
"Oh, sama mereka? Ah, aku kemarin terbawa emosi saja, apalagi pengaruh hormon pasca melahirkan."
"Jadi intinya udah akrab nih?"
Aku sengaja memancingnya untuk bercerita, walaupun aku tahu pasti dia akan marah besar kalau sudah kubahas soal ini.

"Gimana ya jelasinnya, intinya aku nggak akrab dengan mereka dan nggak tahu bisa akrab apa nggak? Soalnya kamu udah tahu sendiri kan? Dulu aku udah berusaha akrab dengan mereka? Tapi apa? Aku malah dimanfatkan sebesar-besarnya, memang benar sih mereka juga keluargaku, bahkan sebelum aku menikah dengan mas Aryo, tapi aku juga harus tahu dan menjaga perasaanku sendiri."

"Kok kamu yang harus tahu bagaimana perasaanmu?" Aku menyeruput tehku tanpa memalingkan muka darinya.
"Masak kamu lupa? Aku belajar banyak dari kamu. Saat semua orang menghakimimu dulu karena postinganmu tentang buku keduamu yang menurut mereka sangat kurang baik dibanding yang pertama? Semua orang menghujat, sampai capek mataku ini lihat kata-kata jelek, nggak berbobot, penulis amatir. Ah! pokoknya semua tulisan yang menjatuhkanmu."
"Ah, itu nggak ada apa-apanya Sha, ini kan beda."
"Beda gimana? Sama saja Feb, pembaca itu ibaratnya keluarga mas Aryo, mereka nggak akan bisa kita hindari sama sekali karena mereka akan selalu ada di hidup kita, kecuali kamu berhenti jadi penulis dan aku bukan istri mas Aryo lagi. Mereka nggak bertanggungjawab dengan hati kita, dan nggak berhak, walaupun hati kita sakit, bahkan sampai berdarah-darah. Karena apa? Kita nggak bisa mengontrol orang harus berbuat apa sama kita, harus bagaimana berkata-kata? Sama kayak kamu, mana mungkin kamu bisa atur mereka harus bilang apa saat kamu posting tentang tulisanmu?" Marsha menghela nafas panjang sambil membetulkan jaketnya.

"Jadi intinya kita yang harus tahu hati kita, kalau nggak nyaman ya jangan dilakuin, jangan merasa nggak enak, jangan merasa pura-pura bahagia hanya karena itu pembacamu, hanya karena itu suamiku?"
"Mantap, kamu keren sekali sha, nggak nyangka aku." Aku mengacungkan kedua jempolku.
"Kurang kalau dua jempol buatku, nih lihat." Marsha menunjukkan facebook, instagram dan whatsapp miliknya. Mataku terbelalak melihatnya, aku tak menyangka Marsha begitu lugasnya mengambil tindakan itu.
"Jadi kamu hapus semua pertemananmu dengan mereka di semua akun sosial mediamu?"

Marsha mengangguk mantap dan tersenyum lebar. "Feb, kan aku udah bilang ke kamu, yang berhak tahu dan bertanggungjawab tentang perasaan kita, siapa lagi kalau bukan kita sendiri? Aku mungkin bisa tersinggung dan kecewa atas perlakuan keluarganya mas Aryo ke aku. Tapi untuk apa dilanjutkan terus menerus? Yang ada malah luka batin, aku nggak mau anakku hidup bersama dengan ibu yang mendendam terus menerus."
"Jadi ini langkah final yang kamu ambil ya sha?"
"Yes! Aku nggak akan emosi lagi karena hal semacam ini."
"Kamu yakin, Sha?"
"Yakin banget, mentok-mentok yang paling gampang walau kejam nanti yang aku lakukan adalah, aku anggap aja mas Aryo nggak punya keluarga."

Aku tertawa terbahak-bahak, ya, mungkin bagi orang yang tak tahu bagaimana kisah Marsha menghadapi keluarga suami yang sangat dicintainya akan menganggap ibu dua anak itu berlebihan, tapi bagiku sahabatnya dari jaman kami kecil yang masih sangat senang bermain di sawah, itu bukan tindakan kejam, tapi tindakan terbaik dan ini puncak dari kekesalannya, namun dia mengakhiri dengan keren.
Tak ada luka batin, tak boleh tersinggung,

Jangan beri ruang dan kesempatan orang lain menyakiti hati kita.
Karena hanya kita yang memiliki remote untuk memilih channel yang akan kita pilih, jangan tanya pilihan kami?

Ibarat channel, kami akan pilih channel komedi saja.
Pemerannya harus tetap bahagia walaupun kadang hati bersedih bahkan berdarah-darah.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini

Penulis

mamak-mamak yang kalo bikin lampu sein ke kanan, ya belok kanan kok.