Ketika Ibuku Mulai Menua

Aku tau, di dunia ini tidak ada yang selamanya menetap, tidak ada yang selamanya bertatap, bahkan tidak semua yang dirasakan akan terucap. Seperti aku yang sekarang tinggal jauh dari ibuku. Setiap detik yang aku rasakan bersama ibu menjadi sangat berarti, setiap jarak yang aku rasakan tanpa ibu menjadi amat kubenci. Ibu, iya ibu. Malaikat tanpa sayap yang selalu menyediakan pundaknya untukku.

Wanita paruh baya yang sudah sangat sibuk menyadari bahwa dirinya sudah menua. Malaikat tanpa sayap yang akan menua dengan cantik di mata ayah dan anak-anaknya. Wanita paruh baya yang masih giat mencari uang untuk keluarga, menyeka keringat saat letih mendera, dan menahan air mata untuk menguatkan putrinya yang lemah. Seharusnya ibu marah ketika aku belum menuntaskan tugas-tugasku, seharusnya ibu marah ketika ayah tak memprioritaskan keluarga, seharusnya ibu marah ketika kakak dan adik bahkan pergi tanpa seizin ibu. Tapi, apa yang ibu lakukan sangatlah lembut di mataku. Ibu adalah wanita paling sabar yang pernah aku tau.

Sampai pada suatu hari, apa yang aku tau tentang ibu semakin bertambah. Sore itu, ketika aku dan ibu sedang pergi bersama, aku semakin menyadari bahwa ibuku sudah menua. Ketika aku memandang ibu, aku melihat kerutan yang semakin bertambah di wajahnya, kerutan penuaan yang selama ini ia keluhkan kepadaku. Ketika aku berjalan di belakang ibu, aku melihat rambut ibu yang semakin memutih. Ketika aku disamping ibu, aku menyadari derap langkahnya yang semakin pelan sampai aku tak sadar bahwa aku sudah berjalan jauh dari ibu. Aku kembali menggandeng tangan ibu sambil berceletuk,

“Ibu, ayo! Nanti ditinggal pesawat”. Celetukan itu yang selalu ibu katakan semasa aku kecil, pertanda bahwa aku berjalan dengan lambat.

Sekarang masa itu sudah berganti, waktunya aku menjaga ibu. Meskipun begitu, aku sadar bahwa aku belum bisa memberikan yang terbaik untuk ibu. Aku ingat betapa cerewetnya ibu ketika aku belum makan, betapa sedihnya ibu ketika aku sakit, betapa kecewanya ibu ketika aku bahkan tidak perduli dengan kesehatanku sendiri. Namun, sekali lagi, ibu begitu lembut.

Aku ingat betapa kerasnya ia melindungiku ketika orang lain mencoba menyakiti perjuanganku. Aku ingat saat ibu bercekcok dengan orang lain yang berani mengatakan bahwa aku ini bodoh, aku ini tidak memilih jalan yang benar untuk masa depan. Saat itu aku langsung pergi, kemudian ibu menemuiku di kamar dengan mata yang nanar.

“Nak, nggak apa-apa? Tidak ada yang bodoh, kamu berhak berjuang dengan pilihan mu. Belajar yang benar, tunjukkan bahwa kamu bisa. Ibu doain kamu terus.” Endingnya, kami berpelukan seperti teletubbies.

Ada yang bilang, “ketika kamu berhasil, maka satu doa ibumu telah terwujud”. Aku percaya itu, aku percaya ibu selalu mendoakan yang terbaik untuk anaknya. Apapun yang terjadi, aku yakin ibu akan selalu memikirkan kita. Luangkan waktu mu sejenak, doakan ibumu dimanapun ia berada, sejauh apapun jarak yang terbentang di antara kalian, sesibuk apapun pekerjaanmu, sesulit apapun keadaanmu, ingatlah ridho Allah adalah ridho orangtua.

Sayangi ibumu, sayangi ayahmu, sayangi keluargamu selagi masih ada kesempatan. At last, ibu adalah wanita paling sabar yang pernah aku tau. Bu, izinkan aku mengisi hari-hari indah di masa tuamu, aku sayang ibu.

Artikel Bermanfaat dan Menghibur Lainnya

“Artikel ini merupakan kiriman dari pembaca hipwee, isi artikel sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.”

Berikan Komentar

Tim Dalam Artikel Ini